Minggu, 30 Oktober 2011

Deradikalisasi Berbasis Ideologi


Deradikalisasi Berbasis Ideologi
Hasibullah Satrawi, ALUMNUS AL AZHAR, KAIRO, MESIR
Sumber : KOMPAS, 29 Oktober 2011




Pelbagai aksi terorisme yang terus berlangsung di republik ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi belum efektif. Upaya deradikalisasi ternyata belum menyentuh aspek indoktrinasi yang kerap menjadi pembenaran aksi kekerasan.

Hal terjauh yang pernah dilakukan di Indonesia adalah program deradikalisasi berbasis insentif ekonomi. Ini dilakukan terhadap mantan tokoh Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (DI/NII) tahun 1960-an.
Program di atas gagal karena insentif ekonomi yang diberikan justru dimanfaatkan para mantan tokoh DI/NII untuk menghimpun kekuatan. Tahun 1977 aparat yang mengendus kebangkitan DI/NII telah menangkap tokoh-tokoh mereka (Solahudin, NII sampai JI, 2011: 83-102).

Deradikalisasi di Mesir

Di sinilah pentingnya belajar dari program deradikalisasi yang pernah terjadi di Mesir, salah satu negara berpenduduk Muslim yang kerap menjadi sasaran terorisme. Aksi teror terakhir di Mesir terjadi pada malam pergantian tahun 2011 di sebuah gereja di Alexandria. Sedikitnya 21 orang meninggal dan puluhan orang luka-luka.

Namun, aksi teror di Mesir dalam beberapa waktu terakhir relatif jauh menurun daripada tahun 1960-1980-an. Pada periode itu, aksi teror yang terjadi kerap didalangi gerakan keagamaan militan bernama Jamaah Islamiyah (JI) Mesir yang menyalahpahami beberapa ajaran keagamaan. Pembunuhan mantan Presiden Mesir Anwar Sadat, pada tahun 1981, juga disinyalir melibatkan kelompok JI Mesir.

Di luar dugaan banyak pihak, tokoh-tokoh utama JI Mesir yang masih berada dalam penjara mengeluarkan yang dikenal dengan istilah al-mubadarah liwaqfil unfi tahun 1997, bisa dimaknai sebagai proposal penghentian aksi kekerasan.

Pada tahap awal, proposal tersebut dijadikan komitmen sekaligus maklumat deradikalisasi oleh JI Mesir. Tahun 1999, JI Mesir mengeluarkan maklumat kedua untuk memperkuat maklumat pertama tahun 1997. Selanjutnya proposal dijadikan buku utuh.

Ada lima buku yang diterbitkan JI Mesir terkait dengan pembongkaran ulang atas sejumlah ajaran yang kerap disalahpahami oleh para teroris. Buku-buku itu adalah Al-Mubadarah Liwaqfil Unfi (Maklumat Deradikalisasi), Hurmatul Ghuluw fi Ad-din wa Takfiril Muslimin (Pengharaman Radikalisme Keagamaan dan Pengafiran Sesama Umat Islam), Tasliythul Adhwa` ’Ala ma Waqa’a fi Al-Jihad min Akhta` (Mengungkap Kesalahan dalam Memahami Jihad), An-Nushuh wa At-Tabyin fi Tashihi Mafahimi Al-Muhtasibin (Nasihat Deradikalisasi dalam Penegakan Amar Makruf dan Nahi Mungkar), serta Iydlahul Jawab ’an Su`alati Ahli Al-Kitab (Jawaban atas Pernyataan tentang Agama-agama Samawi).

Semua buku di atas membawa satu semangat, yaitu membongkar ulang pemahaman atas sejumlah doktrin keagamaan yang kerap dijadikan pembenaran aksi kekerasan dan terorisme. Semua buku di atas ditulis tokoh-tokoh utama JI Mesir yang memiliki otoritas keilmuan.

Adalah benar bahwa aksi terorisme masih terjadi di Mesir pasca-pertobatan JI Mesir. Namun, setidaknya ancaman terorisme di Mesir relatif lebih ringan. Bahkan, JI Mesir saat ini menjadi salah satu kekuatan utama di barisan terdepan untuk melawan jaringan terorisme, mulai dari jaringan terorisme lokal di Mesir hingga jaringan terorisme global yang pernah dikomandani Osama bin Laden.

Tiga kekuatan

Setidaknya ada tiga kekuatan yang membuat deradikalisasi berbasis ideologi di Mesir berjalan efektif. Pertama, deradikalisasi menyentuh aspek doktrin keagamaan. Para tokoh JI Mesir memahami, sejumlah ajaran keagamaan telah disalahpahami oleh kelompok teroris-anarkis dan menjadi ”pegangan” mereka dalam menjalankan aksi berdarah tanpa merasa bersalah. Dalam konteks ini, deradikalisasi berbasis ideologi berhasil menghancurkan kekuatan utama kelompok teroris-anarkis.

Kedua, deradikalisasi mempunyai kekuatan struktural, khususnya di internal JI Mesir. Ini mengingat deradikalisasi diprakarsai dan dilakukan oleh tokoh-tokoh spiritual JI, seperti Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, dan Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz.

Deradikalisasi berjalan efektif karena melibatkan orang-orang yang menempati posisi puncak dalam struktur organisasi JI Mesir. Kekuatan struktural inilah yang mampu membawa gerbong JI Mesir untuk berjalan konsisten dengan isi maklumat deradikalisasi.

Ketiga, otoritas ilmu keislaman. Sheikh Najih Ibrahim Abdullah, Sheikh Ali Syarif, Sheikh Usamah Ibrahim Hafiz, dan lainnya disegani karena mereka adalah tokoh dengan ilmu keislaman mumpuni, baik di internal JI maupun dalam konteks publik Mesir secara umum.

Kekuatan inilah yang mampu membuat publik Mesir, khususnya internal JI, percaya terhadap yang disampaikan oleh para tokohnya. Bahwa yang mereka lakukan telah sesuai dengan Al Quran dan Hadis sebagaimana dipahami dan dijalankan oleh generasi Islam awal. Bahwa apa yang mereka lakukan semata-mata demi kemaslahatan kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara. Bahwa yang mereka lakukan tidak semata-mata demi keuntungan duniawi.

Konteks Indonesia

Inilah yang tidak terjadi dengan program deradikalisasi di Indonesia. Adalah benar ada sebagian mantan teroris di Indonesia yang mencoba melakukan peran deradikalisasi seperti Nasir Abbas dan kawan-kawan. Namun, upaya ini tidak maksimal.

Di satu sisi, Nasir Abbas dan kawan-kawan tidak sempat menempati posisi yang sangat strategis dalam jaringan terorisme di Indonesia.

Di sisi lain, mereka juga dianggap tidak mempunyai otoritas ilmu keislaman untuk membongkar ulang sejumlah ajaran yang disalahpahami kaum teroris. Akibatnya, para mantan teroris di Indonesia pun gagal menarik gerbong terorisme untuk melakukan ”pertobatan massal” seperti yang terjadi di Mesir.

Adalah benar bahwa selama ini ada beberapa tokoh dan ulama yang mencoba membongkar ulang sejumlah ajaran keagamaan yang disalahpahami tersebut. Hal ini terlihat jelas dari pernyataan para ulama dari ormas-ormas besar di Indonesia (seperti MUI, NU, dan Muhammadiyah) yang mengecam tindakan para teroris.

Namun, upaya pelurusan paham keagamaan itu juga tidak menimbulkan dampak yang efektif di kalangan para teroris. Bukan semata-mata karena para ulama tersebut diragukan otoritas ilmu keislamannya, melainkan karena mereka tidak berasal dari ”tokoh-tokoh teroris” dengan posisi struktural yang sangat strategis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar