Minggu, 30 Oktober 2011

Papua dan “Pasar Kekerasan”


Papua dan “Pasar Kekerasan”
Manuel Kaisiepo, ANGGOTA DPR DARI FRAKSI PDIP
Sumber : KOMPAS, 29 Oktober 2011




Rangkaian konflik disertai tindak kekerasan yang terus bereskalasi di Papua seakan melanggengkan label Papua sebagai ”zona konflik”. Zona ini memberlakukan hukum ”pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang ”diperjualbelikan” untuk berbagai kepentingan yang tidak jelas.

Konflik dan rangkaian kekerasan yang terus terjadi—apa pun motif dan tujuannya, terjadi begitu saja atau by design—mengindikasikan ketidakmampuan pemerintah (pusat dan daerah) dalam menangani masalah Papua secara konsisten, komprehensif, adil, dan bermartabat.

Sungguh ironis, konflik berlarut-larut disertai tindak kekerasan di Papua itu terjadi justru setelah Papua dideklarasikan sebagai ”Tanah Damai”.

Ironis, sebab konflik disertai kekerasan itu terus terjadi setelah lebih dari satu dekade diberlakukannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Papua (UU Otsus Papua). UU ini lahir sebagai suatu konsensus politik sekaligus upaya win-win solution guna mengakhiri konflik politik dan kekerasan selama 30 tahun pemerintahan Orde Baru serta untuk meningkatkan kesejahteraan, harkat, dan martabat rakyat Papua.

Melalui UU Otsus Papua, pemerintah mendelegasikan kewenangan yang besar kepada pemerintah daerah disertai kucuran dana yang juga sangat besar. Dana puluhan triliun rupiah ini di luar dana lain seperti APBD dan dekonsentrasi.

Pemerintah juga baru saja mencanangkan kebijakan khusus untuk Papua melalui dua peraturan presiden (perpres) yang ditandatangani 20 September 2011. Pertama, Perpres Nomor 65 Tahun 2011 tentang Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Kedua, Perpres Nomor 66 Tahun 2011 tentang Unit Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Papua Barat. Perpres itu dilengkapi dokumen rinci berjudul Rencana Aksi yang Bersifat Cepat Terwujud Percepatan Pembangunan Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat Tahun 2011-2012.

Mengapa komitmen pemerintah terhadap proses pembangunan di Papua melalui UU Otsus Papua, dua perpres, rangkaian kebijakan lainnya, dan disertai kucuran dana triliunan rupiah belum mampu meningkatkan kualitas hidup serta harkat dan martabat rakyat asli Papua?

Pertanyaan semacam ini menjadi relevan karena tingkat kesejahteraan ekonomi dan keadilan sosial suatu masyarakat berkorelasi dengan tingkat ketertiban dan keamanan dalam masyarakat.

Stigma separatis

Sejarah mencatat, dalam jangka waktu yang lama rakyat Papua hidup dalam suasana ketegangan, ketakutan akibat kekerasan, kecurigaan, dan saling tidak percaya (distrust). Faktor saling tidak percaya ini kelihatan sepele, tetapi justru menjadi penghambat upaya dialog antara Papua dan Jakarta. Ketidakpercayaan ini akhirnya melahirkan dua cara pandang yang bisa bertolak belakang.

Di mata pemerintah, semua dinamika rakyat Papua langsung dicap sebagai tindakan separatis. Stigma separatis ini terus dipertahankan hingga kini sebagai pembenaran untuk mempertahankan pendekatan sekuriti di Papua. Padahal, sekuritisasi terbukti tidak menyelesaikan masalah, justru semakin mendorong lahirnya kekerasan-kekerasan baru.

Sebaliknya, di mata rakyat Papua, pemerintah pusat tidak sungguh-sungguh menghargai eksistensi mereka secara kultural, sosial-ekonomi, dan politik. Kekayaan alam Papua dieksploitasi besar-besaran, sementara rakyatnya tetap hidup dalam kemiskinan. Lebih dari itu, mereka terus hidup dalam ketakutan akibat pengalaman represif masa lalu dan kini berhadapan dengan pendekatan sekuritas. Maka dampaknya adalah ketidakpercayaan kepada pemerintah.

Pergantian kepemimpinan politik di Indonesia—dari rezim represif Orde Baru ke suatu pemerintahan yang demokratis sejak awal reformasi 1998—telah menjadi momentum baru yang memberikan harapan bahwa masalah Papua dalam konteks keindonesiaan dapat diselesaikan secara damai dan bermartabat.

Di bawah Presiden BJ Habibie, proses dialog Jakarta-Papua dibuka kembali dan melahirkan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (Tap MPR) Nomor IV Tahun 1999 yang mengamanatkan status otonomi khusus bagi Papua. Spirit dari tap MPR ini adalah mempertahankan integritas NKRI sekaligus menghargai eksistensi rakyat Papua di dalamnya.

Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memulihkan kepercayaan rakyat Papua kepada pemerintah pusat. Di bawah Gus Dur, tercipta trust-building dan kemudian rekonsiliasi antara Papua dan Jakarta. Gus Dur adalah presiden RI yang secara terbuka meminta maaf kepada rakyat Papua atas berbagai kesalahan pemerintah pada masa lalu sekaligus menawarkan alternatif penyelesaian masalah Papua melalui dialog yang tulus.

Faktor kepercayaan ini menjadi landasan untuk melanjutkan dialog dari hati ke hati antara Jakarta dan Papua. Hasilnya adalah dipercepatnya pembahasan RUU Otsus Papua, yang kemudian disahkan sebagai UU Nomor 21 Tahun 2001 pada era Presiden Megawati Soekarnoputri.

UU Otsus Papua adalah suatu kompromi politik dengan prinsip win-win solution sebagai solusi untuk menyelesaikan masalah Papua secara menyeluruh, adil, dan bermartabat. UU ini bersifat lex specialis. Roh dari UU lex specialis adalah keberpihakan (affirmative), dalam hal ini kepada rakyat asli Papua.

Namun, setelah 10 tahun UU Otsus diterapkan dengan dukungan dana yang sangat besar, tingkat kesejahteraan rakyat asli Papua tidak meningkat. Sebaliknya data Badan Pusat Statistik menunjukkan angka penduduk miskin di Papua justru meningkat menjadi 38 persen tahun 2009, tertinggi di Indonesia.

Hingga saat ini mayoritas rakyat Papua masih dalam kondisi yang memprihatinkan. Indeks Pembangunan Manusia (HDI) Papua juga rendah (60 persen, padahal produk domestik regional bruto di atas Rp 20 triliun). Penelitian Universitas Cenderawasih tahun 2001 memperlihatkan, 74 persen penduduk Papua hidup di daerah terisolasi serta tidak memiliki akses sarana dan prasarana transportasi ke pusat pelayanan pemerintahan, sosial, dan ekonomi.

Mayoritas rakyat asli Papua, terutama yang tinggal di pedesaan, masih hidup dalam taraf ekonomi subsisten. Bahkan, sebagian lagi masih dalam taraf food gathering complex. Kondisi ini membuat mereka tidak mampu berkompetisi dalam sistem ekonomi pasar yang telah dikuasai para pendatang sehingga semakin termarjinalisasi di tanah sendiri.

”Pasar kekerasan”

Berbagai aksi kekerasan yang menimbulkan korban jiwa di Papua hendaknya dikritisi karena tidak semua aksi kekerasan itu muncul begitu saja. Kasus-kasus tertentu justru memperlihatkan adanya by design untuk kepentingan ekonomi politik pihak-pihak lain, sama sekali tidak terkait dengan kepentingan rakyat Papua.

Penembakan yang memakan korban jiwa di sekitar wilayah PT Freeport Indonesia (PT FI) di Timika, bersamaan dengan aksi mogok oleh ribuan pekerja PT FI baru-baru ini, masih meninggalkan tanda tanya besar: siapa sesungguhnya pelaku yang sedemikian profesional sehingga mampu menembak secara jitu di areal yang penjagaannya begitu ketat?

Aksi penembakan pertama di Mil 62-63 jalur Timika-Tembagapura dalam area PT FI terjadi Agustus 2002. Pelakunya ditangkap dan kasusnya sudah diselesaikan secara hukum, tetapi tetap menyisakan tanda tanya karena masih saja terjadi penembakan di areal PT FI.

Rentetan peristiwa itu seakan mengukuhkan Papua sebagai ”zona konflik”, bahkan sebagai ”pasar kekerasan” di mana kekerasan menjadi komoditas yang bisa diperjualbelikan. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar