Senin, 31 Oktober 2011

Winnetou


Winnetou
M Sobary, ESAIS
Sumber : SINDO, 31 Oktober 2011



Winnetou prajurit gagah berani. Kita tahu dia kepala suku Apache yang adil dan bijaksana. Namanya harum bagai aroma kembang-kembang di padang luas bernama preire.
Musuh-musuh takut,tapi juga menaruh rasa hormat dan kekaguman yang tak mereka Sembunyikan. Seperti telah menjadi tradisi agung suku-suku Indian yang telah berhasil mengembangkan peradaban tinggi yang tak bisa kita pahami,Winnetou pun ke mana-mana membawa tembakau, alat pemantik api, dan pipa termasyhur: pipa perdamaian. Kesatria besar dari Apache ini sering diserang diam-diam oleh musuh, tapi sendirian, dengan kekuatan tangan dan kecerdikan otak, ia bisa membebaskan diri dan mengusir musuh seperti singa mengusir kelinci.

Suku-suku sering baku tembak jika terjadi salah paham dan permusuhan.Tapi apa pun yang terjadi, ketika akhirnya saling pengertian terbangun, mereka berdamai. Dalam tradisi mereka, semua duduk melingkar dan berhadap- hadapan. Kepala suku mengeluarkan tembakau, batu pemantik api, dan pipa perdamaian itu.Ketika “rokok”itu disulut, sang kepala suku, dengan segenap keanggunan yang memesona dan terasa sakral, mengembuskan asap ke langit, kemudian ke segala penjuru, dengan khidmat.

Dia lalu berkata: “Winnetou, kepala suku Apache yang besar,telah menerima saudara-saudaranya kulit putih sebagai keluarga suku Apache sendiri.Ouw....” Kata pendek itu khas ucapan Winnetou, tanda ia bersumpah atau mengakhiri ucapan karena takadalagiyangperludisampaikan. Ini sebuah ketegasan dari seorang “panglima” yang kemudian menjadi ciri identitasnya. Kemudian dia menyerahkan pipa perdamaian itu kepada “saudara” barunya.

Dan orang kulit putih itu pun menirukan apa yang tadi dilakukan Winneou: mengembuskan asap “rokok” ke langit, kepada Manitow—Tuhan mereka—dan kepada empat penjuru angin,ke dunia, agar damai merata di kalangan umat manusia. Tradisi ini mati.Abang saya, sahabat saya, yang dokter tapi sangat paham akan kebudayaan, berpendapat mati ya mati. Biarkan saja mati.Kenapa harus ditangisi. Saya lain. Ini bukan mati tapi dibantai dengan kejam.Tradisi itu dibantai? Bagi mereka yang tak peduli, mungkin masih akan berkilah: tak ada pembantaian tradisi.

Secara harfiah, saya setuju memang betul. Tapi kalau dilihat bahwa suku-suku Indian yang tersebar di perkampungan- perkampungan dan menjadi pemilik seluruh preiri yang luas tak terbatas itu dibantai, para pendukung dan pelaku tradisi itu habis di moncong senjata api dan sisanya, yang sedikit, ditampung di rumah-rumah penampungan yang sempit, bagaikan terpenjara dan memang terpenjara, apa hal itu tak berarti orang putih mematikan tradisi tadi? Ya, memang, dunia ini ibaratnya seperti kuburan besar di mana bangkai-bangkai aneka macam tradisi dimakamkan.

Tapi tradisi sering hidup lagi. Mungkin di tempat lain. Kita lihat sekarang, orang putih membangun industri rokok dan mereka merokok. Meniru atau tidak tradisi Indian, sengaja atau tidak mereka menghidupkan tradisi itu, tapi bukan untuk kepentingan bangsa Indian, melainkan kejayaan mereka sendiri.Sebuah kejayaan yang kejam. Dan karena itu saya marah tiap kali ingat akan kekejaman sejenis itu.Ada gagasan politik yang dirancang sistematis atas pemusnahan itu. Mereka hampir punah. Tanah dirampok. Emas dan perak dan segenap tambang dijarah rayah.

Seluruh kekayaan alam diambil oper di bawah pemilikan para perampok itu. Kita punya keretek yang masyhur.Organisasi-organisasi besar tingkat dunia, bisnisbisnis besar tingkat dunia (mungkin cucu cicit pembantai bangsa Indian dulu) hendak membantai—dengan dalih kesehatan, ekonomi, kenyamanan lingkungan dan moral— rokok kita. Strategi politik memecah belah dipakai. Cara menjajah dengan menggunakan penguasa setempat pun diterapkan. Kita disuruh baku hantam di antara sesama kita.

Dan mereka akan memetik buahnya tanpa susah payah. Tanpa susah payah? Ya, selain mengeluarkan sedikit uang untuk nyogok para pemimpin korup, pemimpin di level mana saja. Saya menyaksikan ini dengan risau.Dan jika akhirnya rokok punah, saya yakin bahwa kepunahan ini terjadi tidak karena tekanan alam,melainkan karena tekanan politik. Rokok hendak dimatikan. Dengan menggunakan orang setempat. Ini akan mengulang tragedi banyak produk unggulan kita. Kopra dimatikan dengan kejam di pasaran dunia.

Dan dagangan kita itu mati.Garam, kita disengaja untuk dimatikan dengan kebijakan tak manusiawi menteri perdagangan yang sudah ganti kantor, lalu kita mengimpor garam. Kopi terbaik kita dikenai kebijakan yang sama, demi memihak orang asing, bangsa asing. Kentang,buah-buahan,jamu ... semua terancam. Kita masih bangga sebagai pengekspor kelapa sawit dan memiliki kebun-kebun kelapa sawit sangat luas, tapi pemiliknya Malaysia.Alam kita hancur karena perkebunan, tak ada yang mengeluh. Tokoh-tokoh pun diam. Dan para pejabat lebih diam karena disumpal dolar.

Tambang kita digali dan alam rusak,demi bangsa asing. Kita juga diam dan kaum intelektual pura-pura tak tahu. Dan sekali lagi, pejabat jelas diam karena mulutnya tersumpal dolar, yang bisa menghidupi anak cucu.Tapi itu dolar haram karena di sana mengalir darah, keringat, dan air mata bangsa kita sendiri. Mustahil mereka tak tahu itu. Rokok di ujung tanduk yang mencemaskan. Mereka canggih. Kitabodoh.Merekajeli.Kita bebal dan tak sensitif.Mereka serakah, kita tak peduli, asal dapat persen kecil-kecilan.

Maka yang menikmati persenan punsudahpuas.Maudiakuiatau tidak,mau membangun alasan megah atau tidak,mereka ikut bikinnegeriini,yangjuganegeri mereka, bangkrut seperti bangsa Indian. Kita tak punya Winnetou. Kita tak punya pemimpin yang gagah,yang adil dan bijaksana seperti Winnetou. Kita malah diadu dan disuruh baku hantam.

Maka,saya sadar akan hal itu,dan demi Tuhan,saya menghindar. Kita baku bersaudara. Kenapa harus rela baku hantam buat bangsa asing? Saya ingat Winnetou. Dan meneladani sikap Winnetou.Ouw.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar