Rabu, 23 November 2011

Muhammadiyah dan Krisis Kemanusiaan


Muhammadiyah dan Krisis Kemanusiaan

Fajar Riza Ul Haq  DIREKTUR EKSEKUTIF MAARIF INSTITUTE
Sumber : KOMPAS, 23 November 2011


Ketika banyak orang berminat mengkaji Indonesia, berjuta orang telah mengenal Muhammadiyah sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ungkapan di atas menghiasi layar besar dalam sebuah diskusi di Kompleks Perguruan Muhammadiyah, Kota Serang, beberapa hari lalu. Sebagai orang yang dibesarkan di lingkungan organisasi Islam ini, saya terenyak membaca tulisan itu.

Betapa tidak, 18 November 2011 menandai 99 tahun usia Muhammadiyah sejak organisasi ini didirikan 18 November 1912. Catatan usianya menjadi 102 tahun berdasarkan perhitungan hijriah, 8 Zulhijah 1432 H.

Satu abad sudah organisasi kelahiran Yogyakarta ini mendedikasikan kerja-kerja dakwah dan sosialnya untuk Negeri Khatulistiwa. Namun, justru pernyataan di awal seakan ingin mempertanyakan ulang peran dan kontribusi Muhammadiyah untuk Indonesia.

Ahmad Syafii Maarif dalam banyak kesempatan sering melemparkan pertanyaan, apakah Muhammadiyah sudah betul-betul berkontribusi membangun dan memperbaiki negara ini atau sebatas membantu pekerjaan pemerintah?

Dalam pidato pembuka Tanwir Muhammadiyah di Denpasar, 2002, Maarif menyatakan, jika negara ini tersungkur, Muhammadiyah akan turut tersungkur. Kondisi ini dimungkinkan karena Muhammadiyah belum berpikir serius tentang format alternatif bangsa dan negara (Suara Muhammadiyah, No 21/Th 96, November 2011).

Catatan Indonesianis Mitsuo Nakamura tentang Muktamar 1 Abad Muhammadiyah, 3-8 Juli 2010, penting digarisbawahi. Menurut dia, warga Muhammadiyah sudah sukses merayakan perhelatan 100 tahun perjalanan organisasinya, tetapi belum berhasil mencapai pendewasaan dalam konteks penguatan aspek ideologi dan intelektual (UMM News, 18/10/2010).

Profesor emeritus Universitas Chiba, Jepang, ini mencemaskan akan adanya kesenjangan antara kesuksesan generasi awal dan ketidakmampuan generasi penerus Muhammadiyah mencapai prestasi yang sepadan.

Revolusi dari Dalam

Kepedulian Maarif dan Nakamura terhadap masa depan Muhammadiyah berangkat dari kesadaran bahwa masyarakat kini hidup dalam situasi krisis kemanusiaan. Menurut Otto Scharmer, kondisi ketidakpastian masa depan telah melahirkan tiga fundamentalisme, yaitu fundamentalisme keagamaan, fundamentalisme ekonomi, dan fundamentalisme geopolitik (2009: 82).

Johan Galtung mendefinisikan akar ketiga masalah ini dalam dua kata, yaitu anomie, hilangnya norma-norma dan nilai-nilai, dan atomie, runtuhnya struktur sosial. Tercerabutnya manusia dari akar budaya dan struktur sosialnya mendorong ledakan aksi kekerasan, kebencian, terorisme, perang sipil (2009: 4). Masyarakat Indonesia, bahkan dunia, sedang berjuang menghadapi ketiga ancaman fundamentalis itu.

Dalam kondisi masyarakat yang sedang mengalami anomie dan atomie, Muhammadiyah tidak bisa menjawab tantangan kemanusiaan abad ke-21 dengan kacamata abad ke-20. Harus melakukan perubahan radikal mentalitas dan perilaku organisasi, atau revolusi dari dalam, meminjam istilah Scharmer.

Revolusi ini mengharuskan setiap organisasi melepaskan bangunan persepsi dan perilaku lama yang sudah melembaga. Pada saat yang sama harus membuka diri terhadap realitas-realitas baru yang lahir dari ancaman abad ke-21. Muhammadiyah sebagai pembaru sedang diuji di tengah pusaran tiga fundamentalisme tersebut.

Dari sisi manajerial, Muhammadiyah sudah memiliki tradisi demokratis. Yang harus dikembangkan adalah budaya desentralisasi dalam mengelola organisasi. Tom Malone mendefinisikan desentralisasi sebagai bentuk partisipasi setiap individu dalam membuat keputusan yang berhubungan dengan dirinya.

Desentralisasi mensyaratkan kebebasan sehingga memungkinkan adanya pelbagai kemungkinan (2004: 5). Kreativitas dan kecerdasan kolektif adalah kunci daya tahan sebuah institusi.

Menurut hemat saya, melakukan perubahan mentalitas dan penguatan manajemen desentralisasi organisasi merupakan dua pekerjaan rumah utama guna membangun kapasitas kolektif. Dengan kapasitas kolektif semacam ini, generasi Muhammadiyah abad ke-21 akan dapat memastikan keberlangsungan kontribusinya untuk Indonesia dan kemanusiaan.

Untuk bisa hidup seribu tahun lagi, gerakan ini harus berhasil keluar dari sindrom kebesaran masa lalu dan berdialog dengan ketidakpastian masa depan. Revolusi dari dalam adalah keharusan. Jadi, Muhammadiyah, how long can you go? ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar