Selasa, 22 November 2011

Pasal-pasal Terkutuk


Pasal-pasal Terkutuk

J. Kristiadi, PENELITI SENIOR CSIS
Sumber : KOMPAS, 22 November 2011


Errare humanum est, perseverare diabolicum (Berbuat salah itu manusiawi, tetapi tetap melakukan kesalahan itu iblis). (Seneca, 4 BC–65 AD)

Beberapa hari terakhir ini masyarakat disentakkan oleh pernyataan Mahfud MD yang menyatakan terjadi praktik haram jual beli pasal dalam pembuatan undang-undang. Sebenarnya peringatan tersebut bukan barang baru. Sebagian masyarakat juga mendengar praktik yang menistakan lembaga wakil rakyat itu. Bahkan, praktik tabu semacam itu juga sering dikemukakan kalangan internal DPR dengan keprihatinan yang amat mendalam. Beberapa UU diduga sarat kepentingan, antara lain UU Pemekaran, UU Pertambangan, UU Perkebunan, UU Kepolisian Negara, UU Otoritas Jasa Keuangan, termasuk hilangnya ayat tembakau dalam Undang-Undang Kesehatan. Bahkan, asumsi-asumsi dalam penyusunan RAPBN, konon, dapat ditransaksikan.

Tengara yang dikemukakan Mahfud MD lebih mengentak karena ia adalah Ketua Mahkamah Konstitusi, terlepas dari kekurangannya. Lebih dari itu, dia adalah sosok yang mempunyai kredibilitas dan reputasi cukup baik di mata publik, jauh melampaui integritas parlemen yang dari waktu ke waktu terus merosot. Oleh karena itu, sebaiknya para wakil rakyat mengusut kebenaran sinyalemen Mahfud MD daripada berargumentasi dengan logika yang sesat.

Ia juga memberikan beberapa indikasi, antara lain dana Yayasan BI sebesar Rp 100 miliar untuk mengegolkan Undang-Undang Bank Indonesia, pengakuan Menteri Agama yang menyatakan Rp 1,5 miliar Dana Abadi Umat untuk mengegolkan UU Wakaf, mafia anggaran yang diungkap politikus PAN, Wa Ode, serta kasus suap terkait Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Rendahnya kualitas produk UU juga dikemukakan. Selama 2003-2011 telah 406 kali dilakukan uji materi terhadap produk UU, 97 di antaranya dikabulkan. Ribuan peraturan daerah mempunyai potensi dicabut karena bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Oleh sebab itu, respons parlemen sebaiknya tidak boleh hanya bersifat normatif dan serampangan. Misalnya, mereka hanya menyatakan bahwa tidak mungkin atau sangat sulit terjadi jual beli pasal karena UU dibuat untuk kepentingan nasional. Prosesnya juga melibatkan banyak fraksi, bahkan semua anggota DPR. Jawaban itu sama tidak bermutunya dengan jawaban yang dilakukan pemerintahan Orde Baru apabila dituduh melanggar hak-hak asasi manusia. Respons standarnya, Indonesia memiliki dasar dan falsafah Pancasila sehingga tidak mungkin melanggar hak-hak asasi manusia.

Rendahnya kualitas produk perundang-undangan mengakibatkan ranah hukum menjadi belantara peraturan perundang-undangan. Kalau dibiarkan, dapat dipastikan akan merusak manusia dan bangsa Indonesia. Karena menjadi manusia yang baik mustahil dalam negara yang buruk, karena aturan dan praktik penyelenggaraan pemerintahan yang harus ditaati buruk. Akibatnya, mereka dianggap warga negara buruk karena tidak taat kepada praktik penyelenggaraan pemerintahan.

Kalau ingin menjadi manusia baik, mereka harus melawan negara dan segala aturan yang buruk. Sebaliknya, warga negara yang baik adalah manusia yang buruk karena mereka mengikuti praktik aturan yang buruk. Contoh paling jelas, orangtua protes karena anaknya disuruh mencontek oleh gurunya, yang bersangkutan justru memperoleh sanksi. Bukan hanya oleh sekolah anaknya, melainkan juga diusir tetangganya karena dianggap mencemarkan nama baik sekolahnya. Politik transaksional telah menghasilkan pasal-pasal terkutuk dan praktik pemerintahan yang buruk.

Oleh sebab itu, jual beli pasal harus segera dihentikan. Parlemen harus menjadi rumah bagi wakil rakyat yang amanah. Niat kolektif yang mulia harus diwujudkan dalam proses pembuatan UU. DPR dan pemerintah wajib mempunyai politik perundang-undangan sebagaimana diperintahkan UU No 12/2011 tentang Pembentukan Perundangan. UU tersebut dengan sangat tegas memerintahkan DPR dan pemerintah menyusun Program Legislasi Nasional. Hal yang sama diwajibkan kepada pemda dan DPRD untuk menyusun Program Legislasi Daerah. Proses penyusunan wajib melibatkan masyarakat. Semua itu agar produk perundang-undangan dijadikan instrumen guna mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pepatah di atas pantas direnungkan. Mungkin agak berlebihan kalau adagium itu diberlakukan kepada setiap orang. Namun, amsal tersebut sangat tepat bagi mereka yang telah diperingatkan berkali-kali, tetapi tetap melakukan kesalahan karena dorongan hasrat dan nafsu dasariah mengumbar kenikmatan daging. Kekuasaan yang menghasilkan kenikmatan ragawi batasnya melampaui kematian. Mereka yang sudah kecanduan rasa nikmat akan mewariskan kekayaan dengan segala cara dengan membangun dinasti atau oligarki kekuasaan.

Namun, harus ingat, tiada dinasti dapat langgeng kalau hanya bertumpu pada kerakusan kekuasaan. Harta dan kekuasaan yang melimpah untuk sementara menjadikan siapa saja merasa sakti. Hampir semua keinginan untuk memenuhi hasrat naluriah dasarnya dapat dicapai. Oleh sebab itu, mereka perlu merenungi kebijakan lokal yang berbunyi ora ono kasekten kang madhani pepesthen (tiada kesaktian yang dapat menandingi atau mengalahkan keniscayaan).  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar