Selasa, 22 November 2011

Posisi RI dalam The New7Sisters


Posisi RI dalam The New7Sisters

Eddy Purwanto, MANTAN DEPUTI BP MIGAS
Sumber : KORAN TEMPO, 22 November 2011



Berbeda dengan pemilihan Komodo dalam perhelatan “The New7Wonders” yang kontroversial, komite pemilihan “The New7Sisters”(N7S), yang dikoordinasi oleh majalah Financial Times, tidak menggunakan model voting melalui SMS terbanyak. Penilaian “keajaiban” lebih menitikberatkan pada kriteria penguasaan cadangan migas, tingkat produksi, dan pengembangan usaha dari perusahaan minyak kelas dunia yang telah berhasil menggeser posisi kehormatan “The Old7Sisters”.

Komite berhasil memilih kelompok The New7Sisters, yang terdiri atas Saudi Aramco, Gazprom (Rusia), CNPC (Cina), NIOC (Iran), PDVSA (Venezuela), Petrobras (Brasil), dan Petronas (Malaysia).Tujuh perusahaan minyak nasional itu menguasai lebih dari sepertiga cadangan serta produksi minyak dan gas dunia. Bandingkan dengan seven sisters yang lama (BP, Shell, dan lainnya), yang kini hanya mengontrol 3 persen cadangan dan 10 persen produksi migas dunia. Sayang, perusahaan negara “wakil” dari Indonesia telah tereliminasi sejak babak awal, diyakini karena dukungan “sponsor”yang setengah hati. Posisi perusahaan minyak nasional berhasil menjadi
perusahaan kelas dunia terutama karena adanya dukungan dan perlakuan khusus
dari negara sebagai sponsor utama.

Republik Indonesia sebagai “sponsor” perusahaan minyak nasional boleh meniru semangat, idealisme, dan kesungguhan negara-negara yang telah mengantar perusahaan minyak nasionalnya menjadi world class company dalam waktu relatif singkat, terlepas dari kontroversi politik negaranya. Sebagai sumber inspirasi bagi RI, di bawah ini ada kisah dua negara berkembang yang sukses mengantar perusahaan minyak nasionalnya masuk N7S dengan dua orientasi yang berbeda. Dua negara itu adalah Venezuela, yang mewakili “garis keras”dengan orientasi sumber daya dalam negeri, dan Malaysia, yang mewakili “garis moderat” dengan orientasi luar negeri karena sumber daya di dalam negeri relatif kecil.

Disadari banyak kelemahan dan karutmarut di wajah perusahaan minyak nasional, tapi jasa mereka bagi bangsa dan negara tidak terbilang, terutama pada saat negara dalam keadaan krisis. Pada 1970-an, migas selalu menjadi lokomotif penarik gerbong ekonomi Indonesia melalui kontribusi anggaran pendapatan dan belanja negara lebih dari 70 persen. Pada krisis ekonomi 1997-1998, migas menjadi penyelamat ekonomi Indonesia. Kini,walaupun Indonesia sudah menjadi nett oil importer dan porsi penerimaan migas di APBN tinggal sekitar 20 persen, keberadaan sektor migas masih sangat dibutuhkan oleh rakyat Indonesia. Pada masa prihatin, dibutuhkan keberadaan perusahaan minyak nasional yang lebih kuat. Momen revisi Undang-Undang Migas adalah saat yang tepat bagi RI untuk mulai menunjukkan keberpihakan kepada perusahaan minyak nasional.

Melawan Hegemoni

Sebagian publik mengira bahwa cadangan minyak terbesar di dunia dikuasai Arab Saudi. Namun dua bulan yang lalu OPEC mengumumkan kini Venezuela yang menguasai cadangan minyak terbesar di dunia, yaitu 296,5 miliar barel (bandingkan
dengan cadangan Indonesia sebesar 3,9 miliar barel). Perusahaan minyak nasional
Venezuela, PDVSA, salah satu anggota N7S, menjadi perusahaan minyak terbesar
keempat di dunia berdasarkan data cadangan terbukti, produksi, pengilangan, dan penjualan.

Sejatinya, sejak 1990-an,Venezuela, melalui PDVSA, telah membuka diri untuk bekerja sama dengan perusahaan minyak asing melalui joint ventures dan operating agreements. Namun, melihat perkembangan perusahaan minyak nasional yang kurang menggembirakan, pada Februari 2007 Presiden Chavez mendeklarasikan aturan baru, yaitu “nasionalisasi”(lebih tepat disebut “renegosiasi”), bagi semua perusahaan minyak asing di Venezuela.

Dalam aturan yang berlaku mulai 1 Mei 2007 itu, Chavez “mengimbau”semua perusahaan asing untuk melakukan negosiasi ulang atas seluruh kontrak di mana mensyaratkan perusahaan nasional PDVSA menguasai saham minimal 60 persen, termasuk kontrak ExxonMobil, ChevronTexaco, Statoil, ConocoPhillips, BP, dan lainnya. Mempertimbangkan cadangan yang berlimpah, akhirnya semua perusahaan minyak asing menerima ketentuan baru tersebut. Hanya dua perusahaan yang mengajukan permohonan banding ke pengadilan, yaitu ExxonMobil dan Conoco Phillips, tapi akhirnya mereka juga menyerah.

Presiden Chavez mengontrol langsung aturan baru itu demi mengangkat peran
perusahaan minyak nasional PDVSA. Sayang, kini Chavez dalam keadaan sakit serius.
Diperkirakan Washington tidak tinggal diam. Perusahaan minyak asing menunggu dengan harap-harap cemas datangnya momen perubahan yang lebih menguntungkan bagi bisnis dan negara asal mereka, terutama Amerika Serikat.

Nasionalisme Mahathir

Berjayanya Petronas, yang didirikan pada 1974, tidak lepas dari jasa pemerintah Malaysia, terutama tekad Perdana Menteri Mahathir Mohamad mengusung Petronas
mulai di dalam negeri hingga jauh ke mancanegara sehingga layak terpilih masuk kelompok N7S, kendati sumber daya migas di dalam negeri relatif sangat kecil.

Salah satu strategi unik Mahathir dalam membesarkan perusahaan minyak nasional
adalah memanfaatkan sentimen keagamaan untuk mendekati negara-negara Islam
yang tergabung dalam OKI di Timur Tengah dan Afrika. Pendekatan gaya primordial
ini mendapat sambutan luar biasa, sehingga Petronas memperoleh banyak konsesi
migas dalam waktu singkat.Walaupun cara ini banyak ditentang oleh negara-negara
Barat, Mahathir tidak peduli dan tetap konsisten. Bandingkan dengan Indonesia. Kendati memiliki penduduk Islam terbesar di dunia, RI tidak cukup memiliki keberanian untuk mengangkat perusahaan minyak nasional ke pentas dunia dengan gaya Mahathir.

Strategi unik lain yang ditempuh adalah mendekati negara-negara yang dianggap “bermasalah”, baik oleh negara-negara Barat, terutama Amerika, maupun oleh organisasi kemanusiaan. Negara-negara “bermasalah” itu contohnya Iran, Sudan, dan
Myanmar. Malaysia disambut dengan tangan terbuka dan Petronas berhasil menguasai
beberapa konsesi di negara-negara “bermasalah”tersebut. Kini Petronas merambah
konsesi migas di mancanegara di lebih dari 30 negara (termasuk Blok East Natuna di Indonesia), yang berhasil masuk Global 500 (peringkat ke-86) dengan keuntungan bersih pada 2010 mencapai US$ 17,48 miliar.

Bagaimana dengan RI?

Rakyat menunggu tampilnya pemimpin Indonesia yang benar-benar mempunyai political will untuk membesarkan perusahaan minyak nasional di dalam dan luar negeri. Sayang bila Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral yang baru dan wakilnya bangga hanya menjadi safe players dan membiarkan perusahaan negara berjuang sendirian menjadi flag carrier Indonesia.

Kini saatnya RI mengangkat perusahaan minyak nasional agar dapat memberikan kontribusi yang lebih besar bagi bangsa dan negara. Pelajaran berharga dari tokoh-tokoh seperti Chavez dan Mahathir serta kelompok New7Sisters dapat dikaji, terutama
idealisme dan political will mereka untuk membesarkan perusahaan minyak nasional.

Indonesia tidak harus mengekor gaya Chavez atau Mahathir. Indonesia harus mencari cara yang lebih elegan disesuaikan dengan tingkat sumber daya dan risiko, baik geopolitik maupun ekonomi, serta iklim investasi. Indonesia dapat mulai menunjukkan
keberpihakan dengan menyerahkan pengelolaan lapangan migas yang habis masa kontraknya kepada perusahaan minyak nasional.

Jangan takut memberikan hak istimewa kepada perusahaan milik negara, seperti layaknya negara berdaulat RI berkewajiban mengantarkannya menjadi world class company tanpa harus terlalu khawatir dibayangi ancaman “kekuatan”di belakang
perusahaan minyak asing. Sepanjang tingkat keuntungan mereka di Indonesia wajar
dan berkeadilan, diyakini mereka tidak akan lari meninggalkan Indonesia.

Salah satu jalan pintas mengangkat industri migas nasional adalah membesarkan perusahaan minyak nasional sekaligus mendekatkan posisi flag carrier RI menuju
The New7Sisters.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar