Senin, 28 November 2011

Resepsi Siapa, Uang Siapa


Resepsi Siapa, Uang Siapa

Reza Indragiri Amriel, PSIKOLOG
Sumber : KORAN TEMPO, 26 November 2011



“Yang menikah siapa, yang repot siapa.” Begitulah suara hati saya yang tak habis pikir melihat anak pejabat yang masih belia, tapi “sudah mampu”membikin acara perkawinan
dengan biaya bermiliar-miliar rupiah. Pengusaha, bukan. Penerima warisan, juga bukan; la wong orang tua si pengantin masih hidup segar bugar. Jadi pikir punya pikir, keyakinan saya hampir bulat, ujung-ujungnya orang tua juga yang jorjoran keluar uang. Yang menikah anaknya, sedangkan yang isi kantongnya ludes orang tuanya.

Namanya saja orang tua, cintanya tentu melimpah-ruah. Juga tak mengharapkan balas jasa, karena ayah-bunda tidak pernah memperlakukan anak mereka laksana investasi berjangka. Jangankan pecah celengan, bertukar nyawa pun orang tua ayo saja, demi kebahagiaan si buah hati. Demikian juga menjelang si buyung mengakhiri masa lajangnya. Dia akan mulai menjalani peran sebagai kepala keluarga, tapi ironisnya seremoni untuk itu justru diselenggarakan dengan menguras dompet orang tuanya.

Orang tua besar kemungkinan tidak akan berkeberatan. Tinggal lagi si anak yang semestinya tahu diri. Apa yang sesungguhnya bisa dibanggakan, kalau acara gemerlap itu nyaris tidak sesen pun rupiah yang berasal dari keringatnya sendiri. Juga bisa dipertanyakan, orang-orang tenar yang datang sesungguhnya tamu mempelai ataukah tamu orang tua mempelai.

Tanpa kesediaan orang tua menanggung biaya, kenduri tidak akan terselenggara. Tanpa kenduri, sudah tentu tetamu tak akan menampakkan batang hidung mereka. Persoalannya, benarkah si anak yang akan dilantik sebagai suami itu memang masih hidup di bawah ketiak orang tuanya? Tampaknya begitu. Buktinya, media dalam jaringan mewartakan, salah satu pejabat teras sebuah lembaga yang menjadi tempat berhimpunnya para pelaku dagang dan industri Indonesia suatu ketika sempat mempertanyakan bagaimana mungkin seorang anak muda bisa masuk ke organisasi itu, padahal dia sama sekali bukan pengusaha. Bahkan anak muda itu punya jabatan struktural, walaupun—sekali lagi—dia bukan usahawan.

Bukan masalah politiknya yang menjadi kehirauan saya. Tapi, ya, itu tadi, kok bisa-bisanya anak muda yang bukan pengusaha menyelenggarakan acara mantenan dengan anggaran yang gila-gilaan. Bahkan andaikan anak muda itu punya usaha, rasanya kecil kemungkinan dia punya tabungan dengan jumlah luar biasa dalam tempo beberapa tahun saja.

Sorotan semacam ini barangkali hanya cerminan watak usil, bahkan rasa iri dengki saya. Bisa saja begitu, kendati sesungguhnya saya sebatas masygul; pernikahan yang sejatinya adalah bentuk ketaatan kepada Ilahi, dan walimah sebagai ekspresi rasa syukur seperti diperintahkan Nabi, sekarang mewujud dalam pesta nan prestisius. Pernikahan bukan semata selebrasi kedua “lepas”-nya anak dari orang tua—selebrasi pertama adalah kala putusnya tali pusar anak. Pernikahan merupakan pernyataan simbolis kepada dunia tentang kedudukan keluarga besar mempelai.

Kembali ke tataran paling pribadi, “yang menikah siapa, yang repot siapa” adalah pertanyaan yang menyindir calon pengantin yang usia biologisnya sudah dewasa, sedangkan dari sisi usia psikologis (baca: kecukupan finansial) tetap saja menggelayut di susu ibunda.

Kejanggalan itu yang mendorong saya bicara dari hati ke hati dengan istri saya. Semua orang tua, termasuk saya, pasti ingin berbuat yang terbaik bagi anak-anak. Namun kelak, tekad saya, saat anak-anak kami mengungkapkan rencana pernikahan mereka, saya bakal berkata,“Papa hanya akan membayarimu kartu undangan. Selebihnya, karena ini pernikahanmu sendiri, pintar-pintarlah mencari uang yang halal.”

Semoga anak-anak kami—Menza,Vinza, dan Aza—sanggup memenuhi kebutuhan
resepsi perkawinan mereka masing-masing. Lebih krusial lagi, semoga lidah saya tak kelu, semoga saya punya kekuatan hati untuk mengucapkan kalimat itu kepada mereka. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar