Selasa, 22 November 2011

Soal Batubara: Jangan Lupa Gajah di Pelupuk Mata


Soal Batubara: Jangan Lupa Gajah di Pelupuk Mata

Frenky Simanjuntak Manager, Economic Governance Department Transparency International Indonesia
Sumber : KOMPAS, 22 November 2011


Harian ini beberapa waktu lalu memberitakan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi menemukan ada lebih dari 4.000 izin tambang batubara yang bermasalah di sejumlah daerah di Indonesia (Kompas, 15/11/2011).

Wakil Ketua KPK M Jasin menyatakan, masalah yang membelit pertambangan begitu banyak, mulai dari perizinan yang tumpang tindih hingga penyerapan pajak yang tidak maksimal. Semua ini berpotensi merugikan keuangan negara hingga triliunan rupiah. Dalam artikel yang sama, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Widjajono Partowidagdo menyatakan, permasalahan izin menjadi tumpang tindih karena banyak dikeluarkan oleh pemerintah daerah.

Semut di Seberang Lautan

Kekisruhan pertambangan batubara sebenarnya bukan hal baru. Sudah jadi rahasia umum, di kawasan yang kaya batubara, kepala pemerintah daerahnya juga sangat produktif mengeluarkan izin kuasa pertambangan.

Tidak peduli konsekuensinya terhadap lingkungan, siapa pun yang berminat mengeruk isi Bumi dan menghasilkan uang sebanyak-banyaknya—termasuk untuk disetor ke pemerintah daerah dan oknumnya—bisa mendapat izin.

Menurut analisis Kementerian Dalam Negeri, biaya politik lokal yang tinggi mendorong para oknum pemda untuk mengeluarkan kuasa pertambangan. Jumlah kuasa pertambangan yang dikeluarkan pemerintah daerah kaya batubara naik signifikan menjelang pemilu kepala daerah.

Contoh yang paling mencolok adalah kasus Bupati Kolaka, Sulawesi Tenggara. Ia menjadi tersangka Kejaksaan Agung karena mengeluarkan kuasa pertambangan di dalam areal Taman Wisata Alam Laut Pulau Lemo tanpa izin Menteri Kehutanan.

Kabupaten yang mengeluarkan kuasa pertambangan paling banyak adalah Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur. Dari kabupaten inilah mantan bupatinya, Syaukani, menjadi terpidana kasus korupsi.

Ribuan tambang batubara dengan izin yang bermasalah umumnya memang terjadi pada tambang-tambang berskala kecil. Tambang-tambang ini beroperasi di bawah kuasa pertambangan yang dikeluarkan pemda. Seperti dalam pepatah lama, KPK bagaikan melihat semut di seberang lautan. Bagaimana dengan persoalan di depan mata?

Gajah di Pelupuk Mata

Belum luntur dari memori kolektif kita bahwa pada pertengahan tahun 2008 terjadi polemik antara pemerintah dan enam perusahaan besar tambang batubara. Polemik ini bersumber dari dikeluarkannya perintah cekal bagi 14 direktur pada keenam perusahaan batubara tersebut atas perintah mantan Menteri Keuangan Indonesia saat itu, Sri Mulyani Indrawati.

Dasar pengeluaran perintah pencekalan adalah gugatan pemerintah tentang penunggakan pembayaran dana hasil produksi batubara (DHPB) periode 2001-2007 pada enam sejumlah perusahaan tersebut yang nilainya mencapai Rp 7 triliun.

Studi yang dilakukan Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menunjukkan bahwa pada 
periode 2001-2007 dana yang ditunggak oleh perusahaan-perusahaan tersebut lebih besar, angkanya mencapai Rp 14,9 triliun. Selanjutnya, masih berdasarkan studi yang dilakukan ICW, pada periode 1994-2001 terdapat selisih penerimaan negara sebesar Rp 21,84 triliun dari pembayaran DHPB.

Enam perusahaan tersebut adalah PT Kaltim Prima Coal, PT Kideco Jaya Agung, PT Kendilo Coal Indonesia, PT Arutmin Indonesia, PT Berau Coal, dan PT Adaro Indonesia.

Belakangan di luar kasus enam perusahaan itu, terungkap juga oleh Direktorat Jenderal Pajak dugaan kasus pidana pajak sebesar Rp 2,1 triliun yang melibatkan PT Kaltim Prima Coal, PT Bumi Resources Tbk, dan PT Arutmin Indonesia. Semua itu tergabung dalam kelompok usaha Bakrie.

Sayangnya, dalam mengusut kasus-kasus pengemplangan penerimaan negara dari perusahaan-perusahaan besar batubara ini, pemerintah terkesan ”masuk angin”. Sejauh ini keenam perusahaan yang diduga melakukan pembangkangan pembayaran DHPB baru membayar uang jaminan sebesar masing-masing Rp 100 miliar-Rp 150 miliar.

Untuk dugaan kasus pembangkangan pajak yang dilakukan perusahaan dari Grup Bakrie, Mahkamah Agung mematahkan usaha hukum Ditjen Pajak melakukan peninjauan kembali terhadap kasus pajak PT Kaltim Prima Coal.

Bak dalam pepatah lama, gajah di pelupuk mata ternyata tak terlihat. Mungkinkah ini karena ada campur tangan politik yang terlalu kuat di belakang para gajah?

Perlu Tetes Mata

Mungkin dalam konteks pengelolaan industri batubara di republik ini, pemerintah perlu melihat secara komprehensif persoalan yang dihadapi.

Dalam konteks penegakan hukum, Ditjen Pajak dan KPK sebaiknya terus melakukan usaha penyidikan terhadap indikasi pembangkangan pembayaran pemasukan negara oleh perusahaan batubara skala besar.

Dalam konteks tata kelola, masuknya Indonesia ke dalam Extractive Industries Transparency Initiatives sebaiknya dimanfaatkan pemerintah untuk mewajibkan para pengusaha batubara melaporkan secara lengkap dan jujur pembayaran mereka kepada pemerintah.

Seperti layaknya obat tetes mata, semoga dengan ini pemerintah bisa melihat lebih jernih persoalan pertambangan, baik kelas semut maupun gajah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar