Selasa, 27 Desember 2011

Desain Demokrasi dan Indonesia Makin Korup

CATATAN AKHIR TAHUN 2011
Desain Demokrasi dan Indonesia Makin Korup
Khaerudin, WARTAWAN KOMPAS
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011



Wakil Menteri Perdagangan Amerika Serikat Francisco J Sanchez dalam pertemuan Bali Democracy Forum IV yang digelar di Nusa Dua, Bali, 8-9 Desember 2011, menyatakan, untuk membangun sistem demokrasi yang lebih baik, semua negara harus bekerja keras mewujudkan keterbukaan, membasmi korupsi, dan menciptakan iklim investasi yang lebih baik. Menurut Sanchez, pertumbuhan ekonomi yang sehat dapat mewujudkan politik dan penghargaan terhadap kemanusiaan yang lebih baik.

Para bapak pendiri bangsa ini sesungguhnya sudah bisa memandang ke depan, kapitalisme ekonomi yang bersanding dengan demokrasi liberal sesungguhnya tak cocok diterapkan di negeri ini.

Ketika corak kapitalisme ekonomi dibungkus lewat sistem pemerintahan otoriter pada era Orde Baru akhirnya tumbang dan demokrasi menemukan fajar baru di Indonesia, yang kemudian bersanding demokrasi dan ekonomi liberal. Namun, berbeda dengan model yang sama di AS, demokrasi dan ekonomi liberal pascareformasi di Indonesia ini lahir tanpa prasyarat yang memadai.

Menurut pemikir kenegaraan yang juga pengarang buku Negara Paripurna, Yudi Latif, reformasi yang berarti menata ulang hanya berhenti pada sisi politik. Pasca-1998 menurut Yudi, penerimaan Indonesia atas demokrasi liberal, seperti dipraktikan di Barat, tanpa pernah menjalani uji kepatutan apakah dengan sistem ini rakyat mampu menjadi sejahtera. Demokrasi langsung seperti dipraktikkan dalam pemilu di Indonesia tak pernah diuji apakah bisa membawa kesejahteraan.

Terbukti demokrasi langsung seperti dalam pemilihan kepala daerah membuat rakyat justru tak berdaya secara politik. Utang politik para kandidat kepada pemodal membuat secara moral mereka bangkrut. Desain institusionalisasi demokrasi di Indonesia yang salah, menurut Yudi, yang kemudian menyuburkan praktik korupsi. Bupati kemudian menggadaikan sumber daya alam daerahnya kepada pemodal yang memberinya kesempatan bertarung. Akibatnya sumber daya alam yang sesungguhnya untuk kemakmuran rakyat di daerah dirampok pemodal yang telah bersekongkol dengan pemodal.

Menurut Yudi, demokrasi liberal yang mengusung keterpilihan individu mensyaratkan tatanan ekonomi masyarakat yang mapan. Di negara yang menganut sistem ini, seperti AS, calon presiden, seperti Barrack Obama, bisa menolak dana federal dari negara. Pencalonan Obama justru dibiayai oleh rakyat AS. Rakyat berdaya secara politik untuk ikut membiayai partai politik atau kandidat mereka.

Yudi menuturkan, melihat realitas sosial Indonesia yang sangat majemuk, founding fathers negara ini dengan jelas merumuskan demokrasi yang seharusnya dianut Indonesia terformulasikan dalam keterwakilan politik lewat partai, utusan daerah dan golongan. Formula tiga bangunan keterwakilan ini yang kemudian memastikan, demokrasi di Indonesia melindungi kelompok minoritas. Bagaimana suku-suku terpencil di pedalaman Papua juga bisa merasakan keterwakilannya dalam politik. Bagaimana kelompok penganut kepercayaan yang berbeda dari arus utama punya keterwakilan di parlemen.

Namun, sayangnya, pasca- 1998, hanya keterwakilan politik yang ditonjolkan. Kontestasi individual seperti dalam demokrasi liberal yang menjadi penting. Belakangan, daerah terwakili melalui Dewan Perwakilan Daerah, tetapi utusan golongan betul-betul dihapus.
Ini yang sesungguhnya meresahkan. Bila melihat fakta bahwa terjadi banyak sekali sengketa pilkada, seharusnya kita disadarkan bahwa institusionalisasi demokrasi di Indonesia telah gagal. Tribalisme kepada banyak suku terpencil di Indonesia muncul ketika mereka dipaksa mengadopsi pemilihan langsung. Ini yang menjelaskan mengapa pilkada bisa membuat potensi konflik besar terjadi di beberapa daerah di Papua.

Tak hanya memformulasikan bangunan keterwakilan dalam tiga lapis, politik, daerah dan golongan, bapak pendiri Indonesia, menurut Yudi, juga ikut merumuskan bagaimana konstitusi negara seperti dalam Pasal 18 UUD 1945 yang memberi tempat pada lokalitas dan adat setempat dalam menyusun bentuk pemerintahan daerah. Pemahaman multikulturalisme para pendiri bangsa ini yang kemudian tidak serta-merta Indonesia mengadopsi sistem keterpilihan individu dalam pemilu.

Dengan demikian, dalam satu sidang Badan Penyelidik Usahausaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI ), Sukisman sempat berpidato soal mengapa Presiden Indonesia nantinya dipilih melalui keterwakilan rakyat, tidak lewat pemilihan umum langsung. Yudi menuturkan, saat itu BPUPKI sadar betul bahwa masyarakat Indonesia belum terdidik sehingga presiden diusulkan dipilih melalui MPR. Sekarang, apakah asumsi tersebut bahwa masyarakat Indonesia masih belum terdidik itu masih berlaku atau  tidak.

Peneliti utama dari Lembaga Survei Indonesia, Saiful Mujani, dalam Mengkonsolidasikan Demokrasi Indonesia, Refleksi Satu Windu Reformasi (2006) menyebutkan, evaluasi positif atau negatif terhadap kinerja lembaga-lembaga demokrasi, seperti partai politik, DPR atau presiden, dipercaya berakar dalam evaluasi publik atas kinerja ekonomi nasional. Saiful menyoroti, sejak otoritarianisme Soeharto tumbang, masyarakat umumnya tak pernah merasa bahwa keadaan ekonomi lebih baik ketimbang tahun sebelumnya.

Menurut Saiful, masalah ekonomi berhubungan secara berarti dengan kinerja lembaga- lembaga demokrasi, kepuasan publik atas praktik demokrasi, dan dukungan keyakinan mereka bahwa demokrasi merupakan sistem politik terbaik. Akibatnya, lambatnya pemulihan ekonomi bisa berdampak negatif terhadap kepuasan publik terhadap praktik demokrasi di Indonesia.

Bila merunut pengalaman di Amerika Latin, suara-suara yang muncul di Indonesia mulai mempertanyakan keberhasilan ekonomi liberal yang dibungkus demokrasi sejak reformasi ini. Tuntutan nasionalisasi perusahaan tambang, seperti Freeport, tak berdiri sendiri dengan kekerasan di Papua. Ada kerinduan bahwa Indonesia seharusnya bisa mengelola sumber daya alamnya sendiri demi sebesar-besar kemakmuran rakyat. Seperti ketika Soekarno berpidato soal pentingnya Indonesia berdikari. Populisme ekonomi yang akhirnya muncul. Tak seperti di Amerika Latin, di Indonesia populisme ekonomi belum menemukan tokohnya.

Populisme ekonomi bisa dibaca sebagai kemuakan rakyat melihat demokrasi berjalan beriringan dengan praktik korupsi penguasa. Demokrasi yang di Barat berjalan seiring dengan penegakan hukum tak terjadi di Indonesia. Hukum bisa dibeli. Hingga akhirnya, suara publik pun bisa dibeli. Demokrasi di Indonesia kemudian hanya menjadi stempel bagi berlanjutnya praktik korup otoritarianisme pada era sebelumnya. Kali ini lewat selubung hukum dan peraturan perundangan yang dibuat di lembaga perwakilan.

Tuntutan reformasi agar Indonesia bersih dari korupsi, kolusi, dan nepotisme lebih dari satu dekade silam tak juga berhasil. Skor Indeks Persepsi Korupsi Indonesia hanya 3,0, yang berarti tetap berada di kelompok negara terkorup. Tahun 2011, Transparency International menempatkan Indonesia di peringkat ke-100 dari 189 negara yang disurvei untuk menyusun indeks persepsi korupsi.

Fakta yang mencengangkan, misalnya, wakil rakyat, sebagai bentuk nyata keterwakilan individu dalam sistem politik demokrasi, justru jadi bagian yang korup, membuat demokrasi di Indonesia patut dipertanyakan kembali kemanfaatannya. Kaderisasi di partai politik tak lahir dari regenerasi intelektual, tetapi kekuatan politik uang. Dengan demikian, seperti yang dikatakan Indonesianis dari Northwestern University AS, Jeffrey Winters, pada akhirnya oligarki, sekelompok kecil orang yang memiliki kapital dalam jumlah luar biasa, yang bisa membajak demokrasi di Indonesia.

Akibatnya, ketika demokrasi terbajak oleh oligarki, institusi hukum sebagai turunannya pun dengan mudah dikendalikan mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar