Selasa, 27 Desember 2011

Gerakan Syariah dan Demokrasi


Gerakan Syariah dan Demokrasi
Hakimul Ikhwan, DOSEN SOSIOLOGI FISIPOL UGM;
SEDANG MENYELESAIKAN S-3 SOSIOLOGI DI ESSEX, INGGRIS
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011


Satu dekade lalu, awal 2000-an, lahir banyak produk hukum syariah di sejumlah daerah. Disebut syariah karena merujuk kepada doktrin ajaran dan moralitas Islam.
Saat itu banyak pihak menentang, mencemaskan, atau menaruh curiga. Perda syariah dianggap membahayakan, setidaknya berpotensi merongrong persatuan nasional Indonesia. Bahkan, di internal Islam sendiri terjadi pertentangan. Pihak yang menolak menilai perda syariah adalah bentuk formalisasi, bahkan politisasi agama. Karena itu, perda syariah dikhawatirkan mereduksi nilai-nilai sakral agama.

Setelah 10 tahun berlalu, apakah kekhawatiran dan posisi negatif tersebut terjadi? Tulisan ini ingin melihat dimensi sosiologis gerakan atau perda syariah. Dalam perspektif inilah penulis menemukan fakta kontribusi positif gerakan syariah bagi transisi demokrasi Indonesia.

Ada dua argumentasi utama. Pertama, syariah merupakan alternatif penawar krisis hukum sistemik saat itu. Alternasi tersebut bukan dalam pengertian substitusi formal-legalistik, melainkan diskursus kekuasaan untuk menciptakan referensi (baru) basis tertib sosial dan moralitas.

Kedua, gerakan syariah mendorong partisipasi politik Islam ideologis sekaligus mengonsolidasi kekuatan masyarakat sipil (non-negara).

Penawar di Tengah Krisis

Transisi demokrasi awal tahun 2000-an diwarnai beragam persoalan. Hal yang paling menonjol adalah ketidakmampuan negara menjamin keamanan, ketertiban, dan kepastian hukum.

Di satu sisi, alat keamanan negara mengalami delegitimasi dan ketakmampuan akibat beban sejarah Orde Baru; juga tuntutan reformasi internal kelembagaan Polri dan TNI. Di sisi lain, kelompok-kelompok sosial menikmati euforia kebebasan berekspresi, berserikat, dan berpendapat. Ruang kebebasan menjadi arena ekspresi beragam kelompok menggunakan standar moralitas masing-masing. Akibatnya, konflik dan ketegangan sosial sering terjadi, bahkan berujung pada anarkisme massa dan premanisme jalanan.

Di tengah kondisi tersebut, syariah menjadi alternatif, terutama di daerah berpenduduk mayoritas Muslim seperti Cianjur, Bulukumba, Madura, dan Padang. Alternasi bukan dalam pengertian substitusi formal-legalistik, melainkan lebih merupakan konstruksi diskursif sebagai rujukan baru standar moralitas dan tertib sosial.

Disebut konstruksi diskursif karena sesungguhnya gerakan syariah bersifat parsial dan supervisial. Parsial karena cenderung sangat terbatas di wilayah ritual keagamaan, misalnya shalat berjemaah, membaca Al Quran, dan berbusana muslim/muslimah. Sementara terkait problem kemiskinan, pendidikan, korupsi, toleransi, dan integrasi sosial belum tersentuh. Apalagi isu-isu menyangkut hubungan manusia dengan alam dan lingkungan.

Karena itu, gerakan syariah masih bersifat supervisial, wilayah permukaan. Gerakan syariah cenderung belum berorientasi jangka panjang penyelesaian masalah sosial ekonomi masyarakat. Sebaliknya, ia masih berorientasi hasil jangka pendek dalam waktu singkat dan terukur.

Terlepas dari berbagai keterbatasannya, diskursus syariah setidaknya mampu menjadi ikatan moralitas bersama, terutama di daerah berpenduduk mayoritas Muslim. Dalam kondisi krisis, masyarakat membutuhkan sistem nilai yang menjadi pegangan bersama. Krisis sering kali menimbulkan anomi di mana sistem lama tak berlaku lagi, atau terdelegitimasi, sementara sistem baru pengganti belum ada.

Pertumbuhan pesat perda syariah terjadi dalam periode anomi ini. Dalam konteks inilah inisiasi syariah berjasa menghindarkan masyarakat dari risiko chaos yang lebih besar akibat ketiadaan basis nilai (moralitas) bersama. Argumentasi ini diperkuat fakta: periode ”keemasan” gerakan syariah di daerah-daerah rata-rata hanya 3-5 tahun, kemudian kehilangan pesona dan pengaruhnya di masyarakat.

Konsolidasi Sosial

Gerakan syariah di tingkat lokal juga telah jadi momentum konsolidasi demokrasi. Diskursus syariah telah menarik kelompok Islam ideologis untuk masuk ke episentrum dinamika demokrasi lokal. Mereka sebelumnya tereksklusi (excluded) dari aktivisme politik. Mereka adalah eks Masyumi dan Darul Islam serta pengusung ideologi syariah. Selama empat dekade (1950-1990-an) mereka mengalami represivitas militer dan stigmatisasi rezim.

Selama periode tersebut mereka terpaksa atau dipaksa apolitis. Padahal, untuk membangun demokrasi substantif diperlukan partisipasi aktif semua elemen masyarakat. Dalam konteks inilah diskursus syariah jadi magnet sekaligus ruang partisipasi politik kelompok Islam ideologis. Perkembangan ini tentu saja sangat bermakna bagi peningkatan kualitas demokrasi Indonesia.

Menarik untuk melihat konsolidasi dan partisipasi politik kelompok Islam ideologis tak hanya terjadi pada periode keemasan gerakan syariah. Untuk kasus Cianjur, misalnya, periode keemasan gerakan syariah terjadi pada 2001-2006 di bawah Bupati Wasidi Swastomo. Pada periode tersebut, gerakan syariah mampu memobilisasi sumber daya manusia dan finansial dalam jumlah besar. Diskursus syariah mewarnai birokrasi pemerintahan, pendidikan, dan pengajaran di sekolah, bahkan acara hajatan perkawinan di masyarakat.

Setelah 2006, ketika kekuasaan lokal berganti, gereget syariah meredup. Dukungan finansial menipis. Mobilisasi kiai dan ustaz juga berhenti.

Akan tetapi, hal itu tak serta-merta me-redepolitisasi kelompok Islam ideologis. Konsolidasi gerakan tetap terjaga. Partisipasi substantif dalam proses kebijakan juga secara konsisten tetap dilakukan. Jika sebelum deklarasi gerakan syariah mereka cenderung menarik diri dari aktivisme politik, kini mereka aktif memengaruhi proses kebijakan. Mereka tidak masuk struktur kekuasaan politik, tetapi memiliki medium penyaluran aspirasi politik yang efektif dalam nalar demokrasi lokal.

Selain itu, kelompok Islam ideologis yang semula sering menggunakan aksi jalanan sebagai media amar makruf nahi mungkar, mengajak kebaikan dan mencegah kemungkaran, kini mulai mengadopsi metode yang lebih elegan. Gerakan moral tak lagi beringas, tetapi damai dan terukur. Tindak kekerasan fisik tidak lagi terjadi, terutama dalam menyikapi praktik immoral seperti judi dan prostitusi.

Kondisi ini dipengaruhi setidaknya dua hal. Pertama, internalisasi nilai syariah yang damai dan merahmati semua pihak. Kedua, mekanisme demokratis dipercaya membuka ruang posibilitas (kemungkinan) mewujudkan cita-cita perjuangan.

Dengan demikian, gerakan syariah di banyak daerah telah berkontribusi membangun dan memperkuat demokrasi. Relasi keduanya tidak terjadi dalam pertarungan saling menegasi. Sebaliknya, perlu dipahami dalam bingkai saling mengisi dalam membangun sistem demokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar