Sabtu, 31 Desember 2011

Kabut Penegakan Hukum


Kabut Penegakan Hukum
Gunarto, WAKIL REKTOR II UNISSULA SEMARANG, DOSEN MAGISTER ILMU HUKUM
Sumber : SUARA MERDEKA, 31 Desember 2011


MENGIRING perjalanan waktu menuju berakhirnya 2011, banyak peristiwa kebangsaan kita yang layak mendapatkan perhatian. Rangkaian peristiwa itu merupakan gambaran perjalanan sebuah bangsa. Apa yang kita saksikan hari ini, merupakan investasi untuk potret masa depan. Karena itu, rangkaian peristiwa itu tidak bisa semata-mata dipandang kejadian biasa tapi harus dimaknai sebagai refleksi atas peristiwa-peristiwa yang akan datang.

Di dalamnya, termasuk potret masa depan hukum. Bahkan, sangat mungkin fenomena penegakan hukum menjadi warna dominan seluruh rangkaian peristiwa. Pasalnya, bangsa yang sedang membangun dan memperkokoh sistem demokrasi pasti mengiringinya dengan penataan sistem hukum. Tidak ada demokrasi tanpa hukum. Prof Satjipto Rahardjo, penggagas hukum progresif melontarkan penilaiannya bahwa Indonesia bagi kalangan akademis merupakan laboratorium terbaik untuk membaca dan membangun kembali secara dialektis prinsip-prinsip dasar hukum.

Jika selama ini hukum mengidentifikasi diri sebagai benteng keadilan dan kebenaran maka berbagai peristiwa hukum di Indonesia belakangan ini barangkali menjadi sebuah antitesis dari premis-premis dasar hukum. Faktanya dunia hukum menjadi pihak yang paling tertuduh atas tingginya penyimpangan dan penyelewengan di tingkat negara, karena ketidakmampuan instrumen hukum membentengi dan memprevensi berbagai kejahatan.

Mencermati secara akademis, munculnya konstruksi hukum memiliki beberapa dimensi substansial yang menjadi dasar epistemologis lahirnya hukum. Pertama; adanya kebutuhan untuk memberikan perlindungan bagi individu, kelompok, dan sosial demi terjalinnya hubungan inividu dan kelompok secara adil dengan bertumpu pada prinsip kebenaran sosial yang sudah menjadi kesepakatan bersama. Karena itu hukum dijadikan sebagai benteng pertahanan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.

Kedua; hukum juga merupakan kontruksi sosial yang berfungsi merekayasa perubahan sosial pada tujuan tertentu yang lebih baik, berbudi, maju, dan berperadaban. Sebagai nilai-nilai keadilan dan kebenaran serta memberikan arah terhadap kemajuan peradaban, sesungguhnya hukum dapat diartikan sebagai sesuatu yang kompleks, meliputi semua dimensi kebaikan kehidupan manusia yang selalu berkembang.

Dimensi Sakral

Disparitas hukum atau alienasi hukum dari konteks realitas kepentingan sosial  merefleksikan tumbuhnya dua kecenderungan hukum yang berkembang. Pertama; simplifikasi dan subordinasi konstruksi hukum ke dalam perangkat perundang-undangan. Dua hal itu menyebabkan runtuhnya keagungan nilai-nilai hukum, menjadi sebatas pasal perundang-undangan yang statis dan tertutup serta tidak memiliki roh.

Kedua; kecenderungan industrialisasi hukum. Kecenderungan ini menempatkan hukum tak ubahnya komoditas yang bisa menghasilkan kepentingan ekonomis melalui pertukaran jasa perkara. Industrialisasi hukum merupakan kelanjutan dari penempatan hukum sebagai instrumen penghukuman dan pembenaran. Jika hukum selama ini dipersepsikan sebagai proteksi bagi keadilan dan kebenaran, dalam industrialisasi hukum, perangkat perundang-undangan ditempatkan sebagai legitimasi bagi kepentingan menghukum atau membebaskan seseorang.

Merujuk UUD 1945, negara ini adalah negara hukum maka sejatinya kita juga mengimajinasikan pentingnya penguatan sistem hukum sebagai penopang kokohnya eksistensi bangsa dan negara. Tetapi lebih dahulu harus menyempurnakan konstruksi hukum kita dengan menggunakan beberapa prinsip.

Pertama; pentingnya pengadaptasian sistem nilai hukum modern dalam Indonesian Twist sebagai basis nilai dan norma untuk menopang eksistensi hukum nasional. Indonesian Twist merupakan nilai dan norma genuine yang hidup di tengah masyarakat dengan segala keragaman dan wisdom yang dimiliki. Kedua; menempatkan formula hukum sebagai nilai-nilai yang selalu hidup dan berkembang sehingga hukum menjadi dinamis dan berkembang beriringan dengan perkembangan di masyarakat.

Ketiga; pentingnya kesadaran hukum berorientasi pada tujuan bukan pada prosedur formal semata. Kesadaran ini menempatkan hukum sebagai meta yuridical yang selalu terhubung dengan nilai-nilai dasar yang membentuknya. Kesadaran ini menuntut adanya diskresi dari tiap penegak hukum untuk lebih mengutamakan tujuan penegakan hukum ketimbang teks dan aturan hukum.

Prinsip-prinsip ini akan lebih mendekatkan hukum pada dimensinya yang paling sakral dan agung, yakni terkuaknya kebenaran hukum dan terpenuhinya ekspektasi keadilan yang menjadi tuntutan sosial masyarakat. Dengan demikian, formula hukum lebih bisa berjalan seiring dengan keadilan sosial.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar