Selasa, 27 Desember 2011

Lemah Jantung tetapi Takut Berutang


Lemah Jantung tetapi Takut Berutang
Faisal Basri, EKONOM
Sumber : KOMPAS, 26 Desember 2011


Perekonomian memiliki dua jantung. Sektor keuangan bisa kita ibaratkan sebagai jantung utama, sedangkan pemerintah sebagai jantung penunjang. Kedua jantung ini bertugas menyedot dana dari masyarakat dan memompakannya kembali ke dalam perekonomian. Jantung akan berperan optimal jika volume dana dan yang disedot dan dipompakan memadai serta irama gerakannya beraturan dan harmonis.

Sudah berulang kali disampaikan di kolom ini betapa jantung utama perekonomian kita sangat lemah. Kemampuan menyedot dana, sebagaimana terlihat dari indikator nisbah dana pihak ketiga (deposit) terhadap produk domestik bruto, hanya 34 persen. 
Sementara itu, kemampuan memompakan dana, sebagaimana terlihat dari nisbah kredit terhadap produk domestik bruto, juga sangat rendah, bahkan tergolong terendah di dunia, yakni 23 persen. Tak ayal, kedalaman sektor keuangan kita sangat cetek, hanya di urutan ke-51 dari 57 negara yang disurvei oleh Forum Ekonomi Dunia pada tahun 2010.

Pemerintah, lewat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), merupakan jantung penunjang. Sekalipun penunjang, peranannya tak tergantikan dan sangat strategis. Betapa lemah keberadaan jantung penunjang ini tampak dari daya sedotnya, yakni nisbah pajak terhadap produk domestik bruto yang tak kunjung beranjak dari kisaran 13 persen. Kemampuan memompa pun lemah. Belanja pemerintah untuk barang dan jasa terhadap produk domestik bruto tak sampai 10 persen. Bandingkan dengan Amerika Serikat yang nisbahnya dua kali lipat lebih besar daripada Indonesia, padahal akar ideologi Negeri Paman Sam ini adalah libertarian.

Dengan volume darah yang terbatas dan fungsi jantung yang lemah, perekonomian tak bisa berlari kencang. Perekonomian cepat lelah. Kita patut kian prihatin karena sejauh ini tak kunjung melihat langkah nyata untuk membenahi kondisi lemah jantung ini. Bahkan, ada kecenderungan kondisi jantung penunjang (APBN) semakin lemah. Tak kurang Gubernur Bank Indonesia berulang kali menyesalkan kondisi yang tak kunjung membaik. Bahkan, masih menurut Gubernur Bank Indonesia, kondisi tahun ini lebih buruk daripada tahun lalu.

Dalam empat tahun terakhir, kemampuan memompa pemerintah memang kian memburuk. Dana yang mengendap di rekening pemerintah di Bank Indonesia bertambah besar. Sejak tahun lalu rekening pemerintah di Bank Indonesia November—yang berarti hanya dua bulan menjelang tutup tahun anggaran—masih di atas Rp 150 triliun. Padahal, selama kurun waktu 2004-2007, saldo rekening pemerintah November hanya sekitar Rp 60 triliun. Akibatnya, belanja pemerintah menumpuk pada akhir tahun. Sedemikian parahnya, lebih dari seperlima belanja pemerintah dilakukan pada bulan terakhir tahun anggaran, yakni Desember.

Distribusi belanja yang tak merata membuat denyut jantung tak beraturan. Penumpukan belanja pada bulan Desember juga berdampak buruk terhadap laju inflasi. Secara sadar justru pemerintah melakukan tindakan yang bertentangan dengan fungsinya, yakni meredam pengeluaran kala masyarakat justru sedang gencar belanja menjelang akhir tahun. Pemerintah menyia-nyiakan kesempatan untuk kian meredam laju inflasi. Betapa mahal perilaku buruk itu.

Fungsi jantung bisa ditingkatkan dengan cara meningkatkan defisit APBN lewat berutang lebih banyak. Bukankah tingkat tabungan masyarakat tergolong relatif sangat tinggi, jauh lebih tinggi daripada tingkat investasi. Penerbitan surat utang pemerintah bisa jadi alternatif sangat menjanjikan untuk menyerap potensi tabungan masyarakat.

Pemerintah pun bisa memetik keuntungan karena suku bunga sudah menunjukkan kecenderungan turun. Keuntungan lainnya adalah bisa menurunkan ketergantungan pada asing untuk investasi portofolio.

Yang tak kalah penting adalah peran negara bisa lebih sigap dalam mendorong pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi. Pemerintah akan lebih mampu mengakselerasikan pembangunan, khususnya pembangunan sektor riil, lebih khusus lagi sektor pertanian dan industri manufaktur, lewat penyediaan infrastruktur vital seperti jalan raya, irigasi, pelabuhan, dan bandara.

Mengingat struktur penduduk kita sangat didominasi oleh penduduk usia muda yang sangat produktif, lebih bijak untuk membiayai pemenuhan infrastruktur lewat berutang ketimbang menggenjot penerimaan pajak lewat penambahan jenis pajak dan peningkatan tarif pajak. Sangatlah ironis kalau Presiden berulang kali menyampaikan tekad untuk menurunkan utang dan menargetkan anggaran berimbang tanpa defisit. Lebih ironis lagi, Presiden mengklaim penurunan nisbah utang sebagai keberhasilan.

Pada waktu bersamaan Presiden menghendaki percepatan pembangunan. Terakhir Presiden meluncurkan Rencana Induk Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia yang cukup ambisius. Tanpa keberanian untuk lebih banyak berutang, pilihan pemerintah kian terbatas. Pembangunan infrastruktur fisik vital harus lebih banyak melibatkan swasta yang masif. Dan, cara demikian berpotensi menjadi sarana empuk pemburuan rente dengan modus baru. Pun, berpotensi membuat pembangunan infrastruktur menjadi bias sehingga gagal meraih manfaat maksimal bagi perekonomian dan kepentingan rakyat banyak.

Sudah cukup banyak contoh yang menyesakkan. Misalnya rencana pembangunan jembatan Selat Sunda yang makin menjauhkan kita dari ciri negara kepulauan. Contoh lain adalah pembangunan jalan tol di perkotaan yang sangat dipaksakan. Sebaliknya, pembangunan infrastruktur yang vital bagi perekonomian seperti pelabuhan terabaikan. Persoalan ongkos logistik yang mahal tak kunjung terselesaikan. Maka, target inflasi yang rendah pun akan kian sulit tercapai secara berkelanjutan.

Visi jangka panjang sepatutnya lebih mengemuka, bukan target-target jangka pendek yang pragmatis. Presiden harus diingatkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar