Selasa, 27 Desember 2011

Mahasiswa dan Kolaborasi


Mahasiswa dan Kolaborasi
Okki Sutanto, MAHASISWA PSIKOLOGI UNIKA ATMA JAYA
Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011


Di tengah sulitnya menemukan tulisan mahasiswa di media cetak nasional, tulisan Herlianto di Opini Kompas (21/12) menarik untuk dicermati.
Sebagai mahasiswa, tulisan itu menjadi otokritik yang bisa memberikan perspektif baru dalam memahami mahasiswa Indonesia. Meski demikian, ada beberapa poin yang perlu dikritisi lebih lanjut untuk mempertajam otokritik sekaligus memperluas perspektif tentang mahasiswa.

Gerakan Mahasiswa

Dalam tulisannya, Herlianto tidak memberikan definisi yang cukup jelas terkait gerakan mahasiswa. Hal ini berpotensi membuat gerakan mahasiswa ke depan selalu merujuk pada gerakan yang sudah pernah dilakukan pada masa lampau—khususnya gerakan mahasiswa 1998—tanpa dibarengi evaluasi kritis serta inovasi dan adaptasi konteks.

Herlianto juga menekankan pentingnya gerakan mahasiswa berskala nasional. Hal ini penting untuk dikritisi karena bisa jadi gerakan mahasiswa berskala nasional sudah tidak tepat dan justru berpotensi memunculkan kevakuman, sebab masalah nasional yang ”membutuhkan” mahasiswa tidak selalu ada.

Dalam hemat penulis, gerakan mahasiswa memang penting, tetapi berskala nasional bukanlah syarat mutlak. Poin penting dalam gerakan mahasiswa adalah ada kontribusi nyata dalam memecahkan berbagai masalah dan ketidakadilan di masyarakat, dengan mengedepankan intelektualitas dan kompetensi mahasiswa itu sendiri. Kontribusi perlu untuk masalah lokal atau nasional. Isu lokal juga perlu diangkat dan diperjuangkan sebagaimana mahasiswa era 1980-an tatkala membela hak-hak nelayan di Lampung atau petambak di Tangerang.

Herlianto juga menyebut bahwa parsialisasi gerakan mahasiswa semata disebabkan oleh spesialisasi yang melunturkan kolektivitas. Padahal, mundurnya gerakan mahasiswa berskala nasional tidak bisa dilepaskan dari fakta historis, khususnya sejak diberlakukan kebijakan Normalisasi Kehidupan Kampus tahun 1978. Ali (2006) menyatakan bahwa kebijakan tersebut melumpuhkan gerakan mahasiswa ekstrakampus, yang implikasinya terasa hingga sekarang. Berbagai faktor lain di tataran mikro, meso, dan makro juga berkontribusi pada menurunnya kuantitas dan kualitas gerakan mahasiswa.

Memusuhi Kekuasaan

Terakhir, Herlianto menempatkan kekuasaan sebagai musuh. Hal ini memiliki implikasi berbahaya karena jika semua pihak yang berkompeten dan peduli kepada negara—termasuk mahasiswa—enggan masuk ke lingkaran kekuasaan, akhirnya yang berkuasa hanyalah kaum oportunis yang tidak kompeten, apalagi berdedikasi terhadap kemajuan Indonesia.

Sejatinya mahasiswa tak perlu memusuhi kekuasaan secara membabi buta. Konsep triple helix yang mengedepankan kolaborasi antara kalangan akademisi, industri, dan pemerintah justru perlu dikembangkan dan diimplementasikan. Kolaborasi yang sehat dengan tetap menjaga sikap kritis dan mengesampingkan kepentingan individu atau kelompok jauh lebih konstruktif daripada secara naif menciptakan permusuhan.

Meski mengkritisi beberapa hal, pada intinya tulisan ini dan tulisan Herlianto memiliki harapan dan semangat yang sama: mengajak mahasiswa berkontribusi untuk Indonesia yang lebih baik. Memang, tidak mudah menyepakati perbedaan pandangan terkait peran dan fokus mahasiswa. Ada pandangan bahwa mahasiswa seharusnya fokus mempersiapkan diri memasuki dunia kerja dan industri. Ada pula yang menekankan pada peran sebagai agen kontrol dan perubahan.

Menurut teori representasi sosial yang dikemukakan Moscovici, hal ini menandakan ada antinomi pada konsep mahasiswa. Antinomi ini menandakan bahwa konsep mahasiswa memiliki karakter yang dinamis sehingga tidak bisa dibakukan dalam suatu kerangkeng tertentu. Hal ini membuka ruang bagi mahasiswa untuk terus beradaptasi sesuai konteks zaman. Jadi, yang perlu dirisaukan bukan perbedaan mahasiswa sekarang dengan generasi sebelumnya karena potensi mahasiswa saat ini jauh lebih penting.

Pendidikan

Potensi mahasiswa jelas bergantung pada latar belakang ilmunya. Mahasiswa kedokteran, ekonomi, dan sipil tentu tidak perlu diseragamkan bentuk kontribusinya kepada masyarakat.

Selain kompetensi khusus, mahasiswa zaman sekarang juga memiliki kemampuan yang cenderung umum seperti penguasaan teknologi. Masih segar di ingatan bagaimana Komisi VIII DPR dalam kunjungan kerja ke Australia, akhir April 2011, membuktikan rendahnya tingkat penguasaan teknologi mereka. Evaluasi kritis Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Australia membuktikan bagaimana mahasiswa sebenarnya bisa dan mau berkontribusi.

Kejadian tersebut sebenarnya membuka ruang kolaborasi antara mahasiswa dan penyelenggara negara. Misalnya dengan menjadikan mahasiswa sebagai staf ahli anggota DPR ketimbang menggaji staf ahli yang bahkan tak mampu membuatkan alamat surat elektronik (e-mail)yang benar dan resmi. Contoh ini hanya satu dari sekian banyak kolaborasi potensi yang bisa melibatkan mahasiswa. Pada akhirnya, tidak bijak memandang mahasiswa sebagai kelompok masyarakat yang berdiri terpisah. Ada interaksi tak berkesudahan antara mahasiswa, keluarga, masyarakat, kalangan industri, dan pemerintahan. Oleh sebab itu, segala upaya mengoptimalkan potensi mahasiswa perlu dukungan semua pihak.

Mahasiswa tak perlu dipandang sebagai juru selamat atau ratu adil yang kedatangannya perlu dinantikan. Mahasiswa juga tidak perlu dipandang eksklusif sehingga harus selalu berjuang sendirian. Mari berkolaborasi untuk Indonesia yang lebih baik!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar