Selasa, 27 Desember 2011

Mempersiapkan Jaminan Pensiun


Mempersiapkan Jaminan Pensiun
Sulastomo, ANGGOTA/KETUA TIM SJSN, 2001-2004
Sumber : KOMPAS, 27 Desember 2011


Presiden SBY akhirnya menandatangani UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

Dengan demikian, RUU BPJS resmi disahkan sebagai UU. Kini tinggal meningkatkan dukungan terhadap penyelenggaraan program jaminan sosial ini. Dalam UU BPJS antara lain dikatakan BPJS II sebagai BPJS Ketenagakerjaan, sebagai transformasi dari PT Jamsostek, bertugas menyelenggarakan program jaminan pensiun dan mulai beroperasi pertengahan 2015. BPJS I (Kesehatan), transformasi PT Askes Indonesia, beroperasi 2014.

Semua butuh waktu karena harus mempersiapkan program jaminan pensiun yang lebih kompleks. Soalnya program pensiun telah dilaksanakan sejumlah lembaga penyelenggara jaminan pensiun dalam berbagai bentuk.

Kalau nanti dapat melaksanakan tugas dengan baik, BPJS II akan menjadi lembaga dana pensiun sangat besar yang menyimpan dana pensiun ribuan triliun rupiah. Dampaknya positif bagi pembangunan ekonomi dan upaya mewujudkan kesejahteraan serta kemandirian bangsa.

Penahapan

Dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, jaminan pensiun akan diselenggarakan dengan masa transisi 15 tahun. Jaminan pensiun ini bersifat wajib, manfaat pasti, dan menerapkan funded system atau sistem pembayaran yang ditetapkan di muka sebelum mendapat pelayanan.

Dengan ketentuan seperti itu, perlu pembaruan atau bahkan koreksi atas penyelenggaraan jaminan pensiun, khususnya penyelenggaraan pensiun bagi pegawai negeri sipil dan anggota TNI/Polri. Koreksi ini diperlukan agar jaminan pensiun mereka tidak membebani APBN.

Perbaikan atau koreksi itu harus mengacu kepada UU No 40/2004. Intinya, jaminan pensiun harus menjadi beban bersama antara pekerja dan pemberi kerja, dalam hal ini antara PNS/anggota TNI/Polri dan pemerintah. Membebankan pensiun mereka pada APBN, sebagaimana selama ini berjalan, tidak saja membebani APBN, tetapi juga diskriminatif. Sebagian pembayar pajak belum menikmati pensiun, tetapi mereka harus membayari pensiun PNS dan anggota TNI/Polri.

Koreksi itu tentu saja bukan tugas ringan. Dengan mengonversi sistem pensiun menjadi funded system, dana terutang dikabarkan mencapai Rp 350 triliun. Harus dicari jalan keluar agar dana terutang itu tidak mengganggu keuangan negara.

Caranya mungkin bisa dengan cicilan yang dibayar setiap tahun dari APBN. Dalam UU No 24/2011 tentang BPJS antara lain dikatakan, PT Taspen dan Asabri wajib bertranformasi ke BPJS II selambat-lambatnya tahun 2029. Kalau tenggang waktu itu dimanfaatkan sebagai masa pembayaran cicilan, berarti setiap tahun sekitar Rp 2,5 triliun. Mestinya bisa diperpendek.

Hal ini dimungkinkan karena pada saat perubahan sistem pensiun menjadi funded system, APBN hanya berkewajiban membayar dana pensiun 4 persen anggaran gaji, apabila iuran jaminan pensiun nanti sebesar 8 persen dari gaji, sehingga sisanya bisa digunakan untuk cicilan dana pensiun yang terutang.

Uang Negara Aman

Kekhawatiran akan mengganggu keuangan negara dengan demikian dapat diabaikan. Kalau konversi itu segera dilakukan, momentum BPJS II menjadi lembaga pensiun terbesar akan terbuka lebar. Bagi peserta, juga terbuka manfaat tambahan dari hasil investasi dana pensiun seperti halnya di banyak negara.

Selanjutnya, bagi pekerja formal dan nonformal, kita juga menghadapi masalah yang tidak ringan. Bagaimana menghadapi perusahaan yang telah memiliki program pensiun melalui berbagai penyelenggara Dana Pensiun Pemberi Kerja/Dana Pensiun Lembaga Keuangan, sesuai UU No 11/1992 tentang pensiun atau asuransi swasta?

Dalam mengimplementasikan jaminan pensiun, target awal, sebaiknya diperuntukkan bagi dunia usaha yang belum memiliki jaminan pensiun. Program pensiun sukarela yang telah berjalan bisa menjadi program pensiun tambahan atau dikonversikan menjadi program pensiun wajib sesuai SJSN. Ini apabila program pensiun SJSN dinilai lebih memberikan manfaat, baik bagi pekerja maupun pemberi kerja.

Pendekatan seperti ini diperlukan agar kehadiran program jaminan pensiun sesuai SJSN dirasakan sebagai kebutuhan. Demikian juga penahapannya harus mempertimbangkan kemampuan perusahaan swasta. Dengan cara ini, program jaminan pensiun ini bisa tetap menjamin kelangsungan usaha.

Secara bertahap, cakupan jaminan pensiun akan mampu mencakup semua penduduk, ketika BPJS II berkembang jumlah pesertanya, sehingga nilai investasi menghasilkan nilai tambah memperbesar manfaat dan memperluas kepesertaan. Dengan bantuan iuran dari pemerintah, terbuka peluang program jaminan pensiun sosial bagi yang tidak mampu sehingga seluruh rakyat Indonesia tercakup dalam program jaminan pensiun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar