Sabtu, 31 Desember 2011

Moderasi dan Radikalisasi Gerakan Politik Islam


Moderasi dan Radikalisasi Gerakan Politik Islam
Ibnu Burdah, PEMERHATI TIMUR TENGAH DAN DUNIA ISLAM
UIN SUNAN KALIJAGA, YOGYAKARTA
Sumber : KOMPAS, 31 Desember 2011


Angin kencang perubahan yang melanda negara-negara Arab mendatangkan harapan, tetapi juga sekaligus kekhawatiran.

Harapan itu sangat beralasan mengingat besarnya tekad dan cita-cita rakyat Arab untuk berubah menuju kehidupan berbangsa dan bermasyarakat secara lebih demokratis, berkeadilan, terbuka, serta setara. Namun, kekhawatiran yang muncul tidak bisa diremehkan sebab prosesnya sering berlangsung tidak seperti yang diharapkan: sangat kompleks dan meminta pengorbanan yang luar biasa.

Bagi Indonesia, proses perubahan itu juga bisa berdampak negatif ataupun positif. Kendati secara geografis jauh, perubahan dinamis itu, menurut mantan Menteri Luar Negeri Hasan Wirajuda, salah satunya terkait dengan dinamika ideologi kelompok-kelompok politik Islam.

Moderasi Islam

Komitmen kuat gerakan rakyat terhadap demokrasi, masyarakat sipil, dan keadilan sosial amat berpengaruh terhadap moderasi gerakan dan kelompok-kelompok politik Islam di negara-negara Arab. Hampir semua partai politik Islam yang ada di negara-negara itu saat ini tidak lagi mewacanakan bentuk negara Islam, khilafah, atau Pan-Islamisme; kecuali satu ”partai” saja, yaitu Hizb al-Tahrir.

Mereka justru menyatakan komitmen untuk mendukung kesatuan negara-bangsa, rakyat sebagai sumber kekuasaan, dan tentunya prinsip-prinsip keadilan yang menjadi slogan perjuangan mereka sejak lama.

Sebagian besar partai atau kelompok Islam itu menggunakan kata ’adalah (keadilan) sebagai bagian dari namanya’. Mereka juga menolak cara-cara kekerasan untuk mencapai kekuasaan. Lebih dari itu, mereka sepertinya tidak memandang proses demokrasi sebagai instrumen untuk berkuasa belaka, melainkan juga mulai meneguhkan bahwa demokrasi sejalan dengan ajaran Islam kendati hal itu juga tidak boleh dipandang berlebihan.

Itulah sebagian perubahan penting yang terjadi terhadap beberapa partai dan kelompok Islam hasil revolusi Arab yang setahun ini berkobar, seperti Hizb al-Nahdhah al-Islamiy di Tunisia, Hizb al-Tanmiyah wa al-Adalah di Maroko, dan Hizb al-Hurriyah wa al-Adalah di Mesir. Ketiga partai itu adalah pemenang pemilu secara demokratis di negara masing-masing.

Bagi Indonesia, perkembangan itu sungguh positif dan diharapkan membawa pengaruh baik bagi perkembangan serta dinamika politik di Tanah Air, khususnya di lingkungan partai dan kelompok Islam. Bagaimanapun, pengaruh gerakan dan partai-partai itu terhadap dinamika politik Islam di Indonesia tidak bisa diremehkan.

Partai al-Hurriyah wa al-Adalah, yang merupakan sayap resmi kelompok al-Ikhwan al-Muslimun di Mesir, diperkirakan masih memiliki posisi khusus di hati aktivis politik Islam dunia. Secara ideologis dan mental, kelompok Ikhwan yang melahirkan partai itu semula adalah induk dari banyak kelompok gerakan atau partai Islam yang menyebar ke berbagai negara Islam sekarang.

Perkembangan baru di negara-negara Arab itu diharapkan dapat memantapkan komitmen partai dan kelompok Islam di Tanah Air terhadap keindonesiaan, pembangunan demokrasi, penguatan masyarakat madani, serta nilai-nilai kemanusiaan yang lain. Pergerakan partai dan kelompok Islam Indonesia ke ”spektrum tengah” memang sudah mulai berlangsung. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa ”impian” Pan-Islamisme, negara Islam, dan khilafah masih menjadi daya tarik tersendiri bagi sebagian konstituen yang ada di lapisan tertentu.

Perkembangan baru di Timur Tengah, yakni moderasi partai Islam ”induk”, jelas akan memberikan dukungan ”teologis dan ideologis” amat penting bagi penguatan komitmen mereka terhadap demokrasi dan nilai-nilai kemanusiaan.

Peluang Radikalisasi

Di sisi lain, proses perubahan di kawasan Arab yang kerap melibatkan kekerasan dan konflik telah menjadi lahan subur bagi kebangkitan serta perkembangan gerakan radikal, termasuk yang menggunakan basis Islam. Jika dalam suasana stabil kelompok-kelompok ini relatif ”tiarap”, maka dalam situasi yang tidak stabil aktivitas mereka untuk merekrut anggota, indoktrinasi, hingga eksekusi aksi serta penyebaran ideologi justru memperoleh ruang.

Perkembangan ini harus benar-benar diwaspadai, mengingat jaringan kelompok-kelompok radikal itu sering bersifat trans-nasional. Indonesia adalah negara yang memiliki hubungan kuat dengan negara-negara di Timur Tengah. Situasi kacau di negara-negara itu sangat mungkin menjadi ”tempat pendidikan” baru bagi pengikut gerakan radikal, termasuk dari Indonesia.

Kita tentu mudah mengingat bahwa sebagian besar pentolan gerakan radikal di Indonesia adalah alumni perang Afganistan. Yaman, Suriah, dan negara-negara Arab lain yang dalam situasi konflik, bukan hanya berpotensi mendiseminasikan ideologi dan rekrutmen anggota kelompok radikal, tetapi juga menjadi ”Afganistan baru” bagi Indonesia.

Abdurrahman M Fachir, mantan Duta Besar RI untuk Mesir, mengingatkan bahwa pemuda-pemuda kita yang berangkat ke negara-negara Arab sering tidak memperoleh bekal memadai mengenai ”keindonesiaan”. Bahkan, ibarat disket, tidak jarang mereka berangkat dengan pikiran kosong. Mereka yang selama ini kurang memperoleh perhatian dari kita, baik masyarakat maupun pemerintah, tentu rentan menjadi sasaran kelompok radikal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar