Sabtu, 24 Desember 2011

Platform Durban dan Hutan Kita


Platform Durban dan Hutan Kita
Bernadinus Steni, KETUA PERSEKUTUAN GEREJA-GEREJA DI INDONESIA (PGI)
Sumber : KOMPAS, 24 Desember 2011


Sejak disepakatinya Konvensi Perubahan Iklim pada 1992, perdebatan utama yang tidak kunjung tuntas adalah pemilahan antara negara maju dan negara berkembang. Ini berdampak pada pembagian beban pengurangan emisi bagi negara maju sekaligus membantu negara berkembang menghadapi perubahan iklim.

Konferensi Para Pihak (COP) yang ke-17, yang baru saja berakhir di Durban, juga diwarnai perdebatan serupa: sangat alot dan hampir terkatung-katung tanpa keputusan. China, India, Kanada, dan Amerika Serikat berusaha keras agar tidak ada pembicaraan untuk membentuk protokol baru yang mengikat sebagaimana diusulkan oleh Uni Eropa dan negara-negara kecil kepulauan.

Meski sama dalam target, keempat negara itu memiliki latar kepentingan yang sama sekali berbeda. India dan China merasa belum saatnya mendapat beban pengurangan emisi seperti negara-negara maju. India bahkan masih ingin melihat kemungkinan hasil temuan baru IPCC pada 2014, apakah memang ada pelepasan emisi yang membahayakan manusia atau tidak.

Argumen itu tentu tidak beralasan karena perubahan iklim sudah terjadi. Menunggu hingga 2014 untuk bersikap adalah pikiran konyol karena makin memperburuk dampak pemanasan Bumi dan perubahan iklim.

Sebaliknya, AS dan Kanada tidak mau ada komitmen pengurangan emisi global. Mereka menghendaki semua pembicaraan dikembalikan ke komitmen pengurangan emisi domestik setiap negara, dan menempatkan perundingan PBB sebagai upaya mencari jalan keluar yang murah dan mudah dalam pengurangan emisi domestik. Menurut mereka, semua negara bertanggung jawab mengurangi emisi, tanpa kecuali.

Argumen ini sama anehnya dengan India. Sudah menjadi prinsip konvensi bahwa negara pihak bertanggung jawab terhadap perubahan iklim, tetapi dengan beban yang berbeda (Pasal 3 Ayat 1 Konvensi Perubahan Iklim). Akan sangat tidak adil jika negara-negara kepulauan, yang sudah terempas gelombang pasang dan terancam menjadi negara hilang, bebannya sama dengan AS ataupun Kanada.

AS masih menempati urutan kedua pelepasan emisi setelah China dengan jumlah 5.425 juta ton per tahun. Posisi ini terus bertahan tiga tahun terakhir. Jumlah tersebut bahkan jauh melampaui gabungan emisi dari 129 negara berkembang yang menempati urutan 89-217.

Platform Durban

Putaran perundingan para pihak ke-17 di Durban akhirnya menghasilkan kesepakatan Platform Durban. Isinya kompromistis, masih menggantung, dan sarat keengganan. Meski diterima para pihak secara politis, hal ini belum menjamin pencegahan terhadap perubahan iklim.

Untuk Indonesia, setidaknya ada dua hal penting. Pertama, disepakatinya usulan membuat kesepakatan baru yang mengikat pada 2015 dan selambat-lambatnya dilaksanakan pada 2020. Kesepakatan baru ini termasuk Reducing Emission from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Perumusan detail kesepakatan ke depan jelas akan menyita energi politik sejumlah negara. Dia menjadi ajang pertaruhan kepentingan nasional.

Kedua, prinsip beban tanggung jawab dalam kesepakatan baru akan mengacu pada tingkat pelepasan emisi dan meninggalkan pola lama yang memisahkan negara maju-negara berkembang. Artinya, negara berkembang pun wajib mengurangi emisi dengan beban yang sama dengan negara maju. Hal ini tentu akan terus menjadi perdebatan dalam perundingan ke depan.

Hutan Indonesia

Keputusan Durban juga berkonsekuensi pada agenda nasional. Pertama, hingga 2015 perangkat hukum nasional hingga program kerja pemerintah harus disiapkan agar sejalan dengan keputusan Durban. Persiapan itu perlu karena beban pengurangan emisi juga ada di pundak kita negara berkembang.

Kedua, jika dari skala pelepasan emisi Indonesia diperhitungkan sebagai negara yang harus mengurangi emisi, seperti China dan India, kewajiban tersebut bisa menjadi pintu masuk upaya pemulihan hutan Indonesia. Kecenderungan ke arah sana sangat mungkin karena pelepasan emisi Indonesia sangat tinggi dalam dua dekade terakhir, terutama dari laju kerusakan hutan dan pembukaan lahan gambut (Houghton, 2003).

Ketiga, perubahan pada paradigma dan cara kerja pembangunan saat ini mutlak diperlukan karena eksploitasi hutan dan gambut pertama-tama berawal dari pikiran dan gaya hidup barat. Pergeseran sikap dan mental tradisional ke modern telah mengubah keseluruhan pola kerja terhadap alam. Prinsip hidup saat ini telah terjajah kapitalisme sehingga orang teraniaya konsumtivisme hingga mata batin.

Ketiga hal di atas hampir pasti turut memengaruhi posisi Indonesia sejak awal perundingan hutan dan perubahan iklim di Bali, tahun 2007. Indonesia, antara lain, mendorong agar negara maju dan pasar menyediakan dana memadai untuk memulihkan kerusakan hutan.

Posisi itu banyak dikritik sebagai posisi ”Ali Baba”, tak mau rugi dan tak mau lelah. Alhasil, dalam tiga tahun terakhir hampir semua pelaku internasional yang mendorong REDD+ dalam perundingan global memboyong proyek ke Indonesia.

Lebih dari 40 proyek contoh berkembang biak di lapangan saat ini. Posisi itu sangat kontras dengan beberapa negara seperti Bolivia dan Brasil yang solid dengan kepentingan nasional, termasuk membatasi dan bahkan mendorong hapusnya pasar dari skema pendanaan.

Sudah selayaknya urusan hutan dalam negeri tidak lagi bergantung pada posisi ”Ali Baba”, tetapi menjadi kewajiban nasional. Konsekuensinya, ke depan anggaran negara harus ada untuk mengurangi emisi domestik.

Jika pemerintah berkukuh menerima semua sumber pendanaan, terutama pasar, upaya pengurangan emisi domestik akan berebut dengan offset—kompensasi atas emisi gas rumah kaca—negara lain. Padahal, keputusan Durban, bahkan sejak Bali, sangat pro-offset. Maka, negara maju melirik hutan Indonesia sebagai potensi offset.

Melalui upaya di Indonesia, para pemburu sertifikat offset meringankan pekerjaan mereka untuk memenuhi kewajiban internasional pengurangan emisi melalui teknologi hijau atas industri mereka yang boros bahan bakar fosil. Belum lagi jika menengok investasi pasar swasta di hutan yang sama.

Kapling klaim akan muncul dan potensial menjadi konflik baru. Banyak yang khawatir pada ujung perundingan ini, bukan hanya soal ketidakadilan dalam skema offset dan pasar, melainkan juga potensi terjadinya perebutan ruang antara pemain karbon dan komunitas adat.

Tentu tidak ada yang ingin rakyat Indonesia jadi pengemis di kampung sendiri. Kita menunggu langkah pemerintah untuk mengurangi kekhawatiran itu. Kita juga menunggu pemerintah mampu memainkan posisi dan kepentingan nasional dalam panggung perundingan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar