Rabu, 25 Januari 2012

ISI, ISBI, dan Karakter Bangsa


ISI, ISBI, dan Karakter Bangsa
Bakdi Soemanto, PENGAJAR S-2 ISI SURAKARTA
Sumber : KOMPAS, 25 Januari 2012


ISI yang ada akan diberi tugas tambahan. Tak hanya mengurusi kesenian, juga mengurusi kebudayaan. ISBI cakupannya lebih luas lagi.

Inilah pernyataan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh (Kompas, 4/1) terkait kebijakan pemerintah yang akan mengubah Institut Seni Indonesia (ISI) menjadi Institut Seni dan Budaya Indonesia (ISBI). Pernyataan ini mengagetkan banyak pihak, terutama para rektor ISI di seluruh Indonesia.

Dalam benak saya muncul pertanyaan: apa yang terjadi dengan negeri ini? Kementerian Dalam Negeri hingga ini belum bisa menuntaskan persoalan RUU Khusus Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menambah lagi masalah: ingin mengonversi ISI menjadi ISBI. Langkah awalnya pun boleh dikatakan arogan: tanpa mengajak berbicara dengan pimpinan ISI sebelum gagasan itu dikemukakan.

Bermain Api

Melihat reaksi para eksponen ISI ataupun para tokoh kesenian, sebagaimana diberitakan di Kompas (17/1), terbayang gagasan ini tidak dengan segera dapat dilihat hasilnya. Mohammad Nuh terlalu berani mengambil risiko: bermain api dengan seniman, komentar seorang pelukis di Yogyakarta. Seorang penyair perempuan yang berdiri di dekatnya menimpali, ”Jangan-jangan ada kesengajaan untuk memancing perdebatan berkepanjangan agar bisa menjadi alat untuk mengalihkan perhatian tentang hal-hal yang serius sekali: kesemrawutan tata kelola pemerintahan.”

Dugaan semacam itu muncul karena urgensi dari gagasan perubahan itu tidak jelas. Tampak Mendikbud tak pernah turun ke lapangan dan menyaksikan bahwa yang lebih urgen dan yang lebih mendesak dalam hubungan dengan pendidikan seni malah tak terjamah.

Sebagai orang yang pernah mengajar di Jurusan Teater ISI Yogyakarta, saya melihat dana pendukung pembelajaran di jurusan teater sangat jauh dari cukup. Dana itu, misalnya, untuk beli buku-buku, bahan membuat maket rancangan set pentas, bahan tata rias, dan kostum. Kini, sudah lumayan dengan adanya gedung tersendiri untuk pentas. Namun, panggungnya sangat menyedihkan. Tidak ada dana untuk pemeliharaan. Ketika mahasiswa mau menempuh ujian akhir dan mereka harus pentas, seluruh biaya ditanggung sendiri.

Di ISI Surakarta, tempat saya mengajar, sarana dan prasana belajar juga belum memadai. Kalau mahasiswa ujian dan harus menyajikan karya, biaya harus mereka tanggung sendiri. Di antara karya mereka yang sudah puluhan untuk ujian akhir, banyak yang bisa disebut sebagai suprakarya alias masterpieces. Karena tak ada dana, suprakarya itu tidak bisa diproduksi ulang.

Saya melihat, ketika mahasiswa—baik S-1 maupun S-2—memproduksi karya, sebuah peristiwa luar biasa penting terjadi. Mereka bekerja sama tanpa mendapat upah. Kebersamaan terjadi dengan sangat mengharukan. Tidakkah Bapak Menteri paham bahwa kebersamaan itu sangat penting sebagai salah satu pilar pembentukan karakter bangsa?

Mereka tidak butuh lagi pendidikan gotong royong karena mereka telah melakukan dan mengalaminya dengan seribu kali lebih joss ketimbang saat saya kuliah atau menatar Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila alias P4 dulu. Nilai-nilai luhur warisan bangsa dengan sendirinya tergali ketika para rupawan membuat topeng Burisrawa atau Begawan Drona yang spesialis menjerumuskan orang.

Kita dapat bayangkan ketika mahasiswa teater akan mementaskan lakon Dara Jingga karya Wisran Hadi yang berlatar Minangkabau. Kalau perlu, mereka memanggil ahli kebudayaan Minangkabau. Kalau mereka akan mementaskan Basah-basah Kapoyos yang berlatar belakang Manado, baik aktor maupun sutradara dan seluruh anak buah pentas, harus belajar budaya Manado.

Mengapa demikian? Meski tak kuliah di jurusan sosiologi di Fisipol, setiap pekerja seni paham bahwa sebuah fenomena kesenian adalah produk masyarakat dan zamannya.

Sadar akan hal ini, almarhum Rendra datang ke rumah saya di Solo, menengok perpustakaan almarhum ayah saya untuk studi apa yang terjadi di negeri Belanda pada masa pendudukan Nazi Jerman. Waktu itu, Rendra akan mementaskan Dode Klanken alias Suara-suara Mati karya Manuel van Logem. Lihat juga yang dilakukan Teguh Karya ketika membuat film 1828. Ia melakukan riset sangat serius.

Menambah Masalah

Jadi, memberikan kuliah sosiologi, antropologi, arkeologi, atau filsafat kepada mahasiswa seni tak akan efektif. Kuliah-kuliah itu hanya akan menjadi formalitas yang membosankan. Apalagi, jika dosen-dosennya tak paham kesenian, tetapi hanya konsep.
Sejauh saya bergaul dengan para calon seniman, baik S-1 maupun S-2, sikap batin mereka sangat terbuka kepada banyak hal yang ada hubungannya dengan kebudayaan. Mereka membaca buku Koentjaraningrat, Geertz, Adorno, Foucault, Camus, Sartre, Gramsci, dan lain-lain.

Negeri ini sudah terlalu banyak masalah tak terselesaikan. Tegakah kita menambah masalah lagi? Karakter bangsa macam apa yang kita harapkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar