Senin, 30 Januari 2012

Masalah GKI Yasmin dan Meningkatnya Intoleransi


Masalah GKI Yasmin dan Meningkatnya Intoleransi
Victor Silaen, DOSEN FISIP UNIVERSITAS PELITA HARAPAN
Sumber : SINAR HARAPAN, 28 Januari 2012


By design, sejak diproklamasikan 1945, Indonesia adalah negara hukum (rechsstaat). Itu berarti hukum membawahi aspek-aspek lainnya dan menjadi pedoman di dalam kehidupan bernegara, di samping menjadi acuan untuk menilai suatu tindakan sebagai salah atau tidak salah.

Apalagi sejak Indonesia direformasi (pasca-Soeharto), supremasi hukum merupakan keniscayaan dan pelaksanaannya harus dijunjung tinggi. Jika tidak begitu, mungkin Indonesia sedang berjalan keluar dari relnya, entah menjadi negara kekuasaan (machsstaat) atau negara agama (teokrasi).   

Jika Indonesia masih konsisten sebagai negara hukum, negara harus berperan maksimal sekaligus bertanggung jawab dalam memberikan jaminan dan perlindungan bagi rakyatnya untuk dapat menikmati hak asasi manusia (HAM). Terkait itulah hukum harus ditegakkan dan dilaksanakan secara konsisten. Dengan demikianlah terwujud apa yang namanya kepastian hukum.

Terkait itu saya ingin menghubungkannya dengan kasus GKI Yasmin di Bogor yang hingga kini tak kunjung terselesaikan. Masalahnya klasik, yakni soal izin pembangunan gereja. Saya sebut klasik, karena masalah serupa sudah banyak terjadi selama ini.

Pada 14 Februari 2008, Wali Kota Bogor Diani Budiarto mencabut Izin Mendirikan Bangunan (IMB) yang sudah dikeluarkan sebelumnya (oleh dirinya sendiri) pada 19 Juli 2006 untuk jemaat GKI Yasmin. Alasannya, karena ada protes dan keberatan dari kelompok tertentu kepada wali kota yang meminta agar pembangunan gereja dihentikan.

Sampai di sini saja sebenarnya tindakan Diani sudah dapat dikategorikan “cacat hukum”. Pertama, karena sebuah IMB yang sudah dikeluarkan tidak mungkin dapat dicabut kembali.

Apalagi Perber Dua Menteri Nomor 8 dan Nomor 9 Tahun 2006 (yang antara lain mengatur syarat-syarat pembangunan rumah ibadah) pun tidak menyebut-nyebut tentang kewenangan kepala daerah untuk mencabut IMB.

Kedua, alasan “protes dan keberatan dari kelompok tertentu” yang menyebabkan Kepala Daerah Kota Bogor itu mengubah keputusan resmi yang dibuatnya menunjukkan ia adalah tipikal pemimpin yang tak dapat dipercaya, serta tak paham seluk-beluk hukum dan proses pembuatan kebijakan publik.

Di mana letaknya kewibawaan hukum jika hukum begitu mudahnya diubah karena desakan sekelompok orang? Sekalipun jumlah mereka ratusan, bahkan ribuan, bukankah hukum tetap harus dijunjung tinggi? Atas dasar itu, alih-alih mengubah kebijakannya, bukankah Diani seharusnya berupaya ”menyadarkan” dan ”menertibkan” mereka? Lagi pula, apakah Diani tahu persis bahwa orang-orang itu betul-betul berdomisili di sekitar lokasi GKI Yasmin?

Pembangkangan Hukum

Singkatnya, kasus ini bergulir secara hukum. Pada 2009 keluarlah putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 127 PK/TUN/2009 yang menyatakan IMB GKI Yasmin sah. Namun, Pemkot Bogor mencabut IMB GKI Yasmin tersebut melalui Surat Keputusan (SK) Nomor 645.45-137 per 11 Maret 2011.

Bukankah MA adalah lembaga pengadilan tingkat akhir, yang berarti putusannya sudah final dan seharusnya langsung dieksekusi? Tetapi, mengapa selama kira-kira dua tahun sesudahnya Pemkot Bogor bisa mengabaikan putusan tersebut? Bukankah itu sama saja dengan pembangkangan secara hukum? Kalau begitu dapatkah ia sebagai pemimpin diteladani rakyatnya?

Sementara itu, pihak GKI Yasmin juga mengadukan persoalan ini ke Ombudsman RI. Pada 18 Juli 2011, Ombudsman mengeluarkan rekomendasi untuk Pemkot Bogor, yang intinya memberi waktu 60 hari untuk mencabut SK Wali Kota Bogor tertanggal 11 Maret 2011.

Ombudsman menilai SK Wali Kota Bogor tentang pencabutan IMB GKI Yasmin itu merupakan perbuatan mal-administrasi. SK yang dikeluarkan Wali Kota Bogor itu dianggap sebagai perbuatan melawan hukum dan pengabaian kewajiban hukum, serta menentang putusan Peninjauan Kembali (PK) MA Nomor 127 PK/TUN/2009.

Pada 18 September lalu, batas waktu yang diberikan Ombudsman berakhir, namun Wali Kota Bogor tetap membandel. Akibatnya, jemaat GKI Yasmin tetap tak bisa beribadah di lahan dan gedung yang mereka miliki secara sah itu. Mereka terpaksa beribadah di trotoar di dekat gereja.

Itu pun selalu diintimidasi Pemkot Bogor, Satpol PP, dan pihak-pihak lain dengan alasan mengganggu ketertiban umum. Akhirnya, sejak beberapa minggu lalu, jemaat GKI Yasmin memindahkan tempat ibadahnya di rumah-rumah jemaat secara bergantian. Tapi, apa yang terjadi? Bahkan ibadah di dalam rumah pun masih juga diintimidasi.

Itulah pengalaman konkret saya saat beribadah solidaritas dengan jemaat GKI Yasmin di rumah salah seorang jemaatnya, di kompleks perumahan Taman Yasmin, Minggu 22 Januari 2012. Sebelum ikut ibadah, dengan diantar seorang kawan, saya menyempatkan diri melihat-lihat lahan GKI Yasmin yang terletak di pinggir jalan cukup besar bernama Jalan Abdullah bin Nuh.

Ternyata, jauh dari bayangan saya semula, gedung gereja yang baru “seperempat jadi” itu berada dalam “jarak aman” dari permukiman warga. Artinya, tak mungkin suara-suara ibadah dari dalam gereja akan mengganggu warga. Begitupun soal parkir kendaraan, rasanya akan bisa diatur agar tertib.

Persis di sebelah kanan gedung gereja yang belum jadi itu ada bengkel motor, di seberangnya ada pertokoan dan kantor sebuah media cetak lokal. Sejajar dengan gereja, namun dipisahkan dua lajur jalan masuk dan keluar permukiman, ada supermarket yang lahannya cukup luas.

Jadi, sekali lagi, kalau dianggap mengganggu warga, itu alasan yang sangat mengada-ada, sama mengada-adanya dengan alasan Diani Budiarto yang pernah mengatakan nama jalan tempat GKI Yasmin berada itu bernuansa agama tertentu.

Minggu pagi itu saya menyaksikan sendiri aparat kepolisian maupun Satpol PP yang standby di sekitar lokasi GKI Yasmin berjumlah lebih dari cukup (dibandingkan dengan orang-orang yang berdemo menolak keberadaan GKI Yasmin di sana).

Ada kendaraan water canon, barakuda, dan beberapa kendaraan lain milik kepolisian yang menunjukkan mereka sesungguhnya dalam keadaan siap siaga untuk bertindak tegas menghalau para pengacau. Selintas saya berpikir, situasi saat itu seperti hendak menghadapi serangan musuh yang akan datang dalam jumlah besar.

Tapi begitulah, polisi dan Satpol PP hanya berjaga-jaga tanpa melakukan tindakan apa pun meski kelompok penolak GKI Yasmin itu berorasi terus-menerus di sekitar lahan gereja.

Akhirnya saya dan kawan yang mengantar tadi pun pergi menuju rumah warga yang kali itu dijadikan tempat ibadah, yang kira-kira berjarak 300 m dari lahan GKI Yasmin. Di teras rumah ternyata sudah ada Lily Wahid (anggota DPR dari F-PKB).

Baru kira-kira 40 menit ibadah berjalan, tiba-tiba dari depan rumah terdengar seruan-seruan provokatif dari anggota kelompok penolak GKI Yasmin. Jumlah mereka kira-kira 50-an, tetap masih kalah banyak dengan jumlah polisi dan Satpol PP yang standby di sekitar rumah.

Mereka menghendaki kami segera mengakhiri ibadah dan membubarkan diri. Namun, kami bersiteguh melanjutkan ibadah sampai selesai. Sementara di luar rumah terjadi ketegangan, yang membuat Lily Wahid harus beberapa kali beradu argumentasi dengan para penolak GKI Yasmin maupun polisi dan Satpol PP yang cenderung menginginkan ibadah segera diakhiri dan kami bubar dari rumah itu.

Banyak yang bisa saya paparkan tentang pengalaman beribadah solidaritas dengan jemaat GKI Yasmin, Minggu pagi itu.

Namun ada hal-hal lain yang lebih penting untuk dikemukakan, bahwa sebenarnya kasus ini mudah untuk diselesaikan, asalkan: 1) hukum ditegakkan (putusan MA dilaksanakan); 2) presiden, sesuai janjinya kepada pemimpin PGI di rumahnya di Cikeas, 16 Desember lalu, bersedia turun tangan langsung menyelesaikan masalah ini; 3) presiden memerintahkan Kapolri untuk menjamin dan melindungi hak-hak jemaat GKI Yasmin.  

Last but not least, kasus GKI Yasmin mencerminkan sedang meningkatnya intoleransi di tengah masyarakat. Tak bisa tidak, pemerintah harus serius menyikapinya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar