Selasa, 31 Januari 2012

Memimpin adalah Menderita


Memimpin adalah Menderita
Yudi Latif, PEMIKIR KEBANGSAAN DAN KENEGARAAN
Sumber : KOMPAS, 31 Januari 2012


Leiden is lijden (memimpin adalah menderita). Kredo Agus Salim itu terasa otentik mewakili ketulusan zamannya. Segera terbayang penderitaan Jenderal Soedirman yang memimpin perang gerilya di atas tandu. Setabah gembala ia pun berpesan, ”Jangan biarkan rakyat menderita, biarlah kita (prajurit, pemimpin) yang menderita.”

Zaman sudah terjungkir. Suara-suara kearifan seperti itu terasa asing untuk cuaca sekarang. Kredo pemimpin hari ini, ”Memimpin adalah menikmati”. Menjadi pemimpin berarti berpesta di atas penderitaan rakyat. Demokrasi Indonesia seperti baju yang dipakai terbalik: mendahulukan kepentingan lapis tipis oligarki penguasa-pemodal ketimbang kepentingan rakyat kebanyakan (demos).

Banyak orang berkuasa dengan mental jelata; mereka tak kuasa melayani, hanya bisa dilayani. Bagi pemimpin bermental jelata, dahulukan usaha menaikkan gaji dan tunjangan pejabat; bangun gedung dan ruangan mewah agar wakil rakyat tak berpeluh-kesah; transaksikan alokasi anggaran untuk memperkaya penyelenggara negara dan partai; pertontonkan kemewahan sebagai ukuran kesuksesan; utamakan manipulasi pencitraan, bukan mengelola kenyataan.

Cukup rakyat saja yang menanggung beban derita. Biarkan rakyat Lebak, Banten, tetap hidup mengenaskan seperti zaman Multatuli, terus meniti jembatan gantung Ciwaru yang reyot menantang maut. Biarkan petani tergusur dan terbunuh oleh keculasan aparatur negara, seperti kebiadaban pangreh praja yang menyerahkan tanah dan rakyatnya kepada tuan-tuan perkebunan pada zaman tanam paksa. Biarkan rakyat di sekitar pertambangan mengalami kerusakan ekologis, kehilangan penghidupan, dan mengalami kelumpuhan sosial-budaya. Biarkan kekerasan agama berlangsung dengan menoleransi segolongan pemeluk agama yang menikam kebebasan berkeyakinan kelompok lain.

Seperti suasana kehidupan Nusantara pascaperang Jawa, kelas penguasa tersedot pusaran kolonialisme-kapitalisme, membiarkan rakyat hidup tanpa kepemimpinan. Rakyat yang menderita tanpa gembala menanti juru selamat. Maka, ketika Sarekat Islam muncul dengan pembelaannya terhadap kaum tani dan buruh yang terempas dan terputus, pemimpin utamanya, seperti Tjokroaminoto, sontak disambut sebagai ratu adil.

Sekarang, dari manakah sumber kepemimpinan itu bisa diharapkan? Partai-partai politik bukanlah solusi, melainkan sumber masalah. Bung Karno berkata, ”Sebuah partai harus dipimpin oleh ide, menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide.” Adapun partai-partai hari ini dipimpin uang, menghikmati uang, memikul uang, dan membumikan uang. Tak ada partai yang sungguh-sungguh memperjuangkan aspirasi kolektif kewargaan demi kemaslahatan hidup bersama.

Partai-partai gagal melahirkan kepemimpinan organiknya yang menjadi artikulator kepentingan publik. Hubungan politik digantikan hubungan konsumtif. Politik mengalami proses konsumerisasi dan privatisasi. Dengan konsumerisasi, branding recognition lewat manipulasi pencitraan menggantikan kualitas dan jati diri. Dengan privatisasi, modal menginvasi demokrasi dengan menempatkan aku dan kami di atas kita yang menimbulkan penolakan atas segala yang civic dan publik.

Kepentingan oligarki penguasa-pemodal nyaris selalu dimenangkan ketika nilai kebajikan sipil dan ideal kewargaan tak memiliki sarana yang efektif untuk mengekspresikan diri. Ketika politik terputus dari aspirasi kewargaan, pemimpin tercerabut dari suasana kebatinan rakyatnya. Pemimpin asyik meluncurkan album nyanyian keberhasilan, sementara rakyat meratapi penderitaan.

Mereka lupa, tak ada kemajuan bangsa tanpa pengorbanan kepemimpinan. Dari keterpurukan ekonomi Amerika Serikat, begawan ekonomi Jeffrey Sachs menulis buku The Price of Civilization (2011). Ia mengingatkan bangsa-bangsa lain agar tidak meniru jalan sesat yang membawa kemunduran Amerika Serikat. Menurut Sachs, pada akar tunjang krisis ekonomi AS saat ini terdapat krisis moral: pudarnya kebajikan sipil di kalangan elite politik dan ekonomi. Suatu masyarakat pasar, hukum, dan pemilu tidaklah memadai apabila orang-orang kaya dan berkuasa gagal bertindak dengan penuh hormat, kejujuran, dan belas kasih.

Dalam pandangannya, setiap bangsa yang ingin mencapai kemajuan harus siap membayar harga peradaban melalui pelbagai perbuatan kepemimpinan dan kewargaan terpuji: tanggung jawab, solidaritas, cinta kasih, dan keadilan bagi sesama dan bagi generasi mendatang. Bagi pemulihan krisis AS, Sachs merekomendasikan perlunya meninggalkan kecenderungan fundamentalisme pasar dengan memulihkan kembali peran negara yang berjejak pada nilai kebajikan sipil (civic virtues) dan jalan karakter Amerika (American ways).

Bagi para pemimpin Indonesia, yang menjadi epigon setia fashion Amerika, rekomendasi Sachs itu bisa menjadi dering pengingat untuk menghidupkan kembali etos kepemimpinan pendiri bangsa. Tak ada kemajuan tanpa jangkar moral. Pilihan-pilihan kebijakan politik dan ekonomi harus dijejakkan pada nilai-nilai dasar Indonesia (Indonesia ways) yang menekankan kegotongroyongan dalam ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Marilah berdoa menirukan munajat para penjelajah bahari di kesilaman. ”Ya Tuhan, selamatkan kami. Lautan di Tanah Air ini luas dan ombaknya ganas menerjang. Bahtera kami oleng, sedang nakhodanya mencari selamat sendiri!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar