Selasa, 28 Februari 2012

DW dan Seribu Triliun Pajak

DW dan Seribu Triliun Pajak
Mohammad Afifuddin, MAHASISWA PASCASARJANA SOSIOLOGI FISIPOL
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Sumber : JAWA POS, 28 Februari 2012



TAHUN ini pemerintah mencanangkan target penerimaan sektor perpajakan dalam APBN mencapai Rp 1.032 triliun. Estimasi itu meningkat Rp 153,9 triliun dibanding APBNP 2011 yang ''hanya'' Rp 878,71 triliun. Jika melihat postur APBN 2012 sebesar Rp 1.435,4 triliun, target penerimaan pajak kali ini setara 78,7 persen dari total belanja negara tahun ini. Melihat penerimaan negara bukan pajak tahun ini diperkirakan hanya Rp 124 trilun, realisasi penerimaan sektor pajak menjadi ''harga mati'' agar 240 juta kepala yang mendiami negeri ini bisa ''terus berdiri''.

Tentu, yang dibuat kerja ekstrakeras untuk mengejar capaian tersebut adalah Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak). Salah satu upaya yang dilakukan Dirjen Pajak adalah mengusulkan skema pajak untuk usaha beromzet Rp 300 juta sampai Rp 4,8 miliar per tahun sebesar 2 persen dari omzet. Perinciannya, 1 persen untuk pajak pertambahan nilai (PPN) dan 1 persen untuk pajak penghasilan (PPh). Usaha beromzet kurang dari Rp 300 juta per tahun akan dikenai PPh 0,5 persen dari omzet.

Upaya Ditjen Pajak itu sebenarnya bertujuan baik, yaitu memaksimalkan penerimaan pajak dengan mengoptimalkan potensi pembayar pajak yang selama ini belum banyak tersentuh. Hal itu sesuai dengan perhitungan dalam Sensus Pajak Nasional (SPN) 2011. SPN 2011 menyasar 1,5 juta wajib pajak dengan tujuan mengejar target kenaikan penerimaan pajak menjadi 79 persen dari total pendapatan negara tahun 2012. Dengan SPN tersebut, pemerintah berharap tingkat kepatuhan wajib pajak naik dari 62,5 persen pada 2011 menjadi 65 persen pada 2012.

Namun, meski bermaksud baik, niat mulia semacam itu tidak selalu mulus dari berbagai halangan. Secara sosiologis, salah satu rintangan tersebut adalah resistansi yang kuat dari para wajib pajak. Manifestasinya di beberapa tempat adalah bersemainya gerakan pembangkangan sipil.

Gara-gara Dhana

Sudah menjadi kecenderungan alamiah, siapa saja agak enggan mengeluarkan uang untuk suatu hal yang nilai manfaatnya tidak langsung bisa dirasakan, termasuk pembayar pajak. Apalagi, data statistik menunjukkan perincian APBN 2012 yang ternyata masih mengutamakan pembayaran utang, subsidi, belanja rutin, dan transfer ke daerah yang habis untuk belanja pegawai. Yang benar-benar untuk rakyat dan mendorong pertumbuhan ekonomi hanya 10 persen. Itu pun jika belum ''disunat'' para oknum serta mafia anggaran di berbagai instansi.

Hal tersebut diperkuat fakta empiris bahwa ''perampokan pajak'' tidak hanya dilakukan Gayus Tambunan. Sebab, akhirnya terbukti muncul nama Dhana Widyatmika (DW) dan istrinya sebagai pemegang ''tongkat estafet'' dari Gayus. Tentu, fenomena tersebut memunculkan skeptisisme: jangan-jangan ini hanyalah fenomena gunung es.

Kekesalan rakyat (wajib pajak) kian bertambah mengingat selama ini pembayar pajak tidak menerima pelayanan yang semestinya dari PNS atau aparatur negara lainnya terkait dengan pelayanan serta fasilitas publik yang selayaknya menjadi hak pembayar pajak. Berdasar survei Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), misalnya, 58 persen responden menganggap pengelolaan dana pajak untuk kepentingan rakyat masih buruk. Sementara itu, 58,4 persen responden menilai citra institusi dan pegawai Direktorat Jenderal Pajak masih buruk.

Setidaknya, survei itu membuktikan bahwa sepak terjang Gayus Tambunan masih menjadi ingatan kolektif masyarakat: bahwa aksi mafia perpajakan telah berlangsung masif dan terstruktur. Terpaan berbagai isu dan skandal politik nasional tidak serta-merta menghapus memori rakyat atas rekam jejak seorang pegawai golongan III-A di lingkungan Ditjen Pajak yang berhasil mencaplok puluhan miliar uang hasil pajak tersebut. Jangan-jangan, pajak hanya memperkaya Gayus-Gayus (atau DW-DW) lain yang masih bercokol di Ditjen Pajak.

Pembangkangan Sipil

Dari khazanah sejarah, Henry David Thoreau menolak membayar pajak sebagai simbol penolakan terhadap ketidakadilan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap Meksiko pada 1840-an. Sejak itu pula gagasan pembangkangan sipil (civil disobedience) mulai dikenal. Meski gerakan Thoreau tidak membuahkan hasil signifikan, keberaniannya menjadi inspirasi dan berkembang luas karena dijadikan simbol perlawanan terhadap praktik perbudakan serta pelanggaran hak masyarakat Indian. Baru setengah abad kemudian gagasan Thoerau diradikalkan dan terdesiminasi ke level gerakan masyarakat sipil internasional melalui karya penulis legendaris Rusia Leo Toslstoy dan aksi militan Mahatma Gandhi.

Perlawanan untuk membayar pajak dapat dilihat dari perspektif pembangkangan sipil ketika rakyat tidak setuju terhadap sistem hukum maupun kebijakan yang diterapkan negara. Sebab, dalam era demokrasi deliberatif saat ini, memang memungkinkan rakyat melakukan tekanan melalui pembangkangan sipil. Misalnya, rakyat merasa enggan jika Ditjen Pajak terus mengintensifkan pemasukan dari sektor pajak untuk memaksimalkan penerimaan APBN. Namun, di sisi lain, reformasi birokrasi di Ditjen Pajak hanya lips service dan pembenahan fasilitas publik tidak maksimal terpenuhi.

Bertolak dari deskripsi kegelisahan masyarakat itu, tepatlah jika John Rawls menyatakan bahwa pembangkangan sipil justru berfungsi sebagai kewajiban natural untuk menegakkan keadilan (Bedau, 1996). Sebab, hal itu dimaknai sebagai alat kontrol rakyat terhadap penguasa yang abai terhadap rakyat dan membiarkan oknum-oknum bawahannya mengorupsi uang pajak rakyat. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar