Senin, 27 Februari 2012

Ekonomi Otopilot

Ekonomi Otopilot
Mukhaer Pakkanna, PENELITI CENTER FOR INFORMATION AND DEVELOPMENT STUDIES (CIDES); REKTOR STIE AHMAD DAHLAN, JAKARTA
Sumber : KOMPAS, 27 Februari 2012



Di beberapa lokasi strategis di DKI Jakarta dan kota-kota lain di Tanah Air, beberapa bulan terakhir terpampang spanduk: ”Negeri Auto Pilot”. Makna tersirat spanduk itu mengarah pada negeri kita yang berjalan sendiri dan arahnya tidak jelas.
Negeri otopilot juga bisa dianalogikan sebagai negeri tanpa kepemimpinan yang jelas. Memang demikianlah faktanya. Bangsa Indonesia berjalan sendiri tanpa orientasi. Quo vadis?

Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara Chappy Hakim mengurai otopilot sebagai salah satu peralatan di pesawat terbang yang dapat membantu pilot menerbangkan pesawat.
Otopilot lazimnya bekerja dengan tenaga mekanik atau elektrik atau hidrolik atau kombinasi dari ketiganya yang dapat menerbangkan pesawat tanpa dikemudikan sang pilot. Artinya, otopilot diasumsikan sebagai pilot yang menerbangkan pesawat secara otomatis. Pilot menjadi lebih relaks dan dapat mengerjakan tugas-tugasnya dengan lebih baik karena tinggal mengawasi dan mengecek silang pada instrumen kokpit.

Minus Ideologi

Dengan asumsi itu, dua hal menarik ditelaah jika dikaitkan dengan gerak ekonomi nasional. Pertama, ekonomi otopilot berarti gerak ekonomi yang berjalan secara business as usual. Ekonomi yang tanpa sentuhan pemerintah pun bergerak secara otomatis.


Kedua, ekonomi otopilot berarti gerak ekonomi yang tidak mementingkan makna ideologi. Yang penting, bagaimana ekonomi bergerak dan masyarakat bisa selamat. Bapak Pembangunan Ekonomi China, Deng Xiaoping, berujar, ”Tidak penting apakah kucing berwarna hitam atau abu-abu, yang penting dapat menangkap tikus.”

Abainya ekonomi nasional pada makna ideologi meniscayakan hilangnya arah ekonomi Indonesia. Dengan ekonomi otopilot, kita tidak perlu lagi membangun arah ekonomi yang menjamin kemakmuran bersama. Kepentingan masyarakat lebih utama dari kepentingan orang-seorang.

Tidak perlu lagi berorientasi menjamin hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara untuk kesejahteraan bersama. Maka, ideologi ekonomi konstitusi pun masuk kubur.
Tidak mengherankan, persoalan perburuhan dilepas sesuai mekanisme pasar. Penentuan upah minimum regional (UMR) hanya bersifat politis dan formalistis. Politis, karena hanya untuk kepentingan pribadi dan golongan politik. Formalistis, hanya karena untuk meredam gejolak buruh.

Demikian juga pada soal sengketa tanah, pemerintah tidak pernah menuntaskan secara permanen, hanya eklektik. Pemerintah melakukan pembiaran untuk memperhadapkan antara pemodal kakap dan rakyat. Bahkan, dalam kondisi yang tidak simetris (asymmetric) meminjam uraian Joseph Stiglitz (2001), pemodal kerap diberi privilese oleh negara untuk melindas rakyat pemilik hak ulayat tanah.

Dasar perekonomian nasional yang disusun berdasarkan usaha bersama (mutualism) dan kekeluargaan (brotherhood) menjadi dilupakan. Negara mengalami deteriorasi dan mandul inisiatif dalam membangun kebersamaan dan kerja sama antarpelaku ekonomi. Pemodal kakap semakin hidup eksklusif dan autis, sementara mayoritas rakyat menjerit karena kehilangan akses sumber daya ekonomi.

Ekonomi Timpang

Merujuk data Lembaga Penjaminan Simpanan (2011), yang dihimpun Perkumpulan Prakarsa, jumlah dana pihak ketiga di perbankan mencapai Rp 2.400 triliun pada 100 juta rekening nasabah pemodal kakap. Namun, 40 persen dari jumlah itu atau Rp 1.000 triliun dikuasai oleh 0,04 persen nasabah kakap atau 40.000 rekening. Hanya 1,3 persen rekening menguasai 75 persen dana pihak ketiga atau Rp 2.000 triliun.

Sementara itu, pada paruh 2011, kekayaan 40 orang terkaya sebesar Rp 680 triliun atau setara dengan 10,3 persen PDB Indonesia. Jumlah kekayaan 40 orang itu ekuivalen dengan kekayaan sekitar 60 juta jiwa paling miskin. Mengapa demikian?

Hal itu terjadi karena kebijakan ekonomi tidak lagi ”disusun” sesuai makna konstitusi ekonomi nasional, tetapi dibiarkan ”tersusun” sendiri oleh mekanisme pasar. Secara imperatif negara menyusun, negara mendesain sistem kelembagaan.

Kata Swasono (2010), wujud ”ketersusunan” merupakan usaha bersama berdasar mutualisme (kepentingan bersama). Di situlah sesungguhnya letak arah dan orientasi demokrasi ekonomi yang terkubur di negeri ekonomi otopilot.

Negara Terlibat

Kerakusan ekonomi yang memangsa jiwa masyarakat miskin kian bergulir karena negara (pilot) abai. Gerak ekonomi yang rakus itu karena pilot bertindak business as usual. Tidak ada terobosan signifikan dan permanen untuk membangun serta membangkitkan spirit kebersamaan ekonomi. Nyaris semua kebijakan ekonomi hanya pemanis politik belaka.

Di sisi lain, desakan ekonomi eksternal di mana Indonesia diposisikan dalam radar investasi portofolio global meniscayakan kekuatan pemodal global akan merasuk ke Indonesia. Lembaga Fitch Rating dan Moody’s Corporation telah menjustifikasi hal itu. Inilah sinyal bahwa Indonesia akan kebanjiran investasi. Hanya sayang, pergerakan investasi itu masih dipicu kekuatan korporasi berskala global.

Demikian juga penguatan pasar domestik, Indonesia yang memiliki jumlah penduduk besar dan pasar domestik potensial telah mampu menggerakkan kehidupan ekonomi. Bahkan, konsumsi domestik Indonesia lebih kokoh karena rasionya terhadap PDB mencapai 64 persen.

Semua ini menandakan, ekonomi Indonesia bergerak karena dorongan kekuatan ekonomi eksternal dan konsumsi domestik. Lagi-lagi, ekonomi otopilot tampak cuek bergerak. Nyaris gerak ekonomi, semuanya diserahkan pada kekuatan pasar.
Dalam kaitan itu, diperlukan re-ideologisasi ekonomi Pancasila di kalangan para pilot ekonomi (pusat dan daerah) sehingga mereka kembali ”siuman” atas kesalahan fatal kebijakan kerakusan ekonomi saat ini. Negara harus terlibat dalam membangkitkan prakarsa ekonomi dalam ruang kesederajatan dan keadilan antarpelaku ekonomi. ●

1 komentar: