Selasa, 28 Februari 2012

Harga BBM dan Keadilan


Harga BBM dan Keadilan
Bambang Soesatyo, ANGGOTA KOMISI III DPR FRAKSI PARTAI GOLKAR
Sumber : SINDO, 28 Februari 2012



Pemerintah harus memaksimalkan dulu pemanfaatan anggaran sebelum menaikkan harga BBM (bahan bakar minyak) bersubsidi. Karena efektivitas pemanfaatan anggaran masih sangat rendah,rakyat akan merasa dizalimi jika pemerintah begitu saja menaikkan harga BBM bersubsidi.
Dengan alasan situasi perekonomian global yang terus diselimuti ketidakpastian,menaikkan harga BBM bersubsidi menjadi kebijakan yang sulit dihindari pemerintah sebab harga minyak mentah di pasar internasional meningkat tajam. Konsekuensinya,beban subsidi BBM dalam APBN tahun berjalan dipastikan membengkak. Tahun lalu subsidi BBM membengkak dari pagu Rp129,7 triliun menjadi Rp165,2 triliun.

Mudah dipahami kalau rencana pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi didorong oleh kenaikan harga minyak mentah dunia yang dipicu oleh ketegangan Iran versus Amerika Serikat,sejumlah negara di Eropa, serta Israel. Harga minyak naik sangat tajam menyusul keputusan Iran menghentikan ekspor minyak ke sejumlah negara di Eropa Barat. Harga minyak mentah dunia bergerak naik memasuki kisaran USD120 per barel, sementara Indonesia Crude Price (ICP) hanya diasumsikan USD90 per barel.

Sudah bertahun-tahun pemerintah menunjukkan iktikad menaikkan harga BBM bersubsidi. Alasannya pun selalu sama, yakni terjadi pembengkakan subsidi BBM akibat dua faktor. Fluktuasi harga minyak dunia dan penambahan kuota BBM bersubsidi. Sudah disiapkan sejumlah opsi dan skenario pembatasan konsumsi BBM bersubsidi, tetapi iktikad mengurangi subsidi BBM selalu dibatalkan.

tahun ini pemerintah akhirnya benar-benar ‘berani’ menaikkan harga BBM bersubsidi, pastilah karena pemerintah merasa alasannya sudah sangat lengkap.Pemerintah memanfaatkan momentum ketegangan Iran versus Barat untuk merealisasikan kenaikan harga BBM bersubsidi. Pemerintah berasumsi bahwa rakyat bisa memahami kebijakan ini karena banyak negara pun tahun ini harus mengubah kebijakan energinya masingmasing.

Namun, alasan ketegangan internasional itu saja belum cukup. Situasi global masih diselimuti ketidakpastian sehingga niat merealisasikan kenaikan harga BBM bersubsidi itu terlalu terburu-buru.Kalau Iran dan AS-Eropa dalam jangka dekat bisa mencari jalan tengah sehingga mendorong penurunan harga minyak mentah dunia, rakyat tetap dirugikan karena pemerintah belum tentu bersedia menurunkan lagi harga BBM bersubsidi yang sudah dinaikkan dengan alasan lonjakan harga minyak mentah dunia.

Karena itu, demi keadilan dan kesejahteraan rakyat Indonesia, harga BBM bersubsidi harus tetap dipertahankan pada posisinya yang sekarang, sambil terus mengamati fluktuasi harga minyak mentah dunia. Pengalaman membuktikan bahwa pembengkakan subsidi BBM tidak membuat perekonomian Indonesia bangkrut. Melalui mekanisme subsidi BBM itu, rakyat kalangan bawah di Indonesia bahkan bisa menikmati sedikit tingginya pertumbuhan ekonomi yang tahun lalu mencapai 6,5% itu.

Desember tahun lalu pemerintah mengajukan usul penambahan kuota BBM bersubsidi 1,5 juta kilo liter. Dengan tambahan itu, kuota BBM bersubsidi tahun 2011 menjadi 41,9 juta kilo liter dari sebelumnya 40,4 juta kilo liter.Biaya untuk tambahan kuota itu diperkirakan Rp4,5 triliun. Sudah terbukti bahwa keuangan negara tidak mengalami gangguan serius.

Tidak Adil

Kalau mengacu pada keluhan pemerintah,pembengkakan subsidi BBM mestinya tidak patut dijadikan isu.Pun jangan dikambinghitamkan sebagai faktor perusak keseimbangan APBN. Pembengkakan ini terjadi karena subsidi salah sasaran. Pemerintah justru harus memperbaiki kesalahannya. Kuota subsidi BBM tidak perlu ditambah jika pemerintah mampu mendistribusikan BBM bersubsidi dengan tepat.

Karena itu, jangan melemparkan kesalahan itu kepada kalangan konsumen BBM bersubsidi. Kalau pemerintah bisa meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran, mestinya tidak ada persoalan serius yang berkait dengan anggaran untuk subsidi BBM. Karena pemanfaatan anggaran masih jauh dari efektif, subsidi BBM dijadikan kambing hitam.

Ketika memberi pengarahan pada sidang kabinet di Kantor Presiden pertengahan Desember 2011, Presiden mempersoalkan minimnya anggaran belanja infrastruktur di APBN karena sebagian besar anggaran habis untuk biaya rutin seperti gaji pegawai dan belanja modal kementerian/ lembaga.Rabu (22/2) pekan lalu Menteri Keuangan Agus Martowardojo menyatakan penggunaan anggaran pemerintah seharusnya untuk hal yang menyentuh masyarakat luas.

“Hampir seluruh instansi penyerapannya ekstrem di akhir-akhir tahun. Di awal tahun lebih didominasi gaji dan operasional saja, dan yang menyentuh masyarakat luas kurang sekali, ”kata Menkeu. Kalau seperti itu kenyataannya, mengapa pemerintah tidak mengoreksi dulu kebijakan tentang alokasi dan pemanfaatan anggaran sebelum mempersoalkan anggaran subsidi BBM?

Apa yang dikemukakan Presiden dan Menkeu itu jelas otokritik atau ajakan introspeksi mengenai perlunya meningkatkan efektivitas pemanfaatan anggaran. Subsidi BBM dan pembangunan infrastruktur merupakan kepentingan rakyat. Menjadi tidak adil kalau subsidi BBM harus dikurangi sementara pemerintah dalam praktik pengelolaan dan pemanfaatan anggaran lebih memprioritaskan gaji dan belanja rutin K/L.

BBM bersubsidi itu bermakna sangat strategis sehingga jangan asal bicara untuk masalah yang satu ini. Boleh jadi, setelah menyimak sejumlah pernyataan para petinggi di Jakarta,para spekulan saat ini sedang berulah menggoreng harga BBM bersubsidi di pelosok-pelosok daerah.

Artinya, jangan pernah lagi mewacanakan kenaikan harga BBM bersubsidi di ruang publik. Kalau masih dalam tahap rencana, biarkan menjadi masalah dalam birokrasi pemerintah. Setelah final, barulah kebijakan itu disosialisasikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar