Jumat, 24 Februari 2012

Mendidik Melalui Berita Kecelakaan


Mendidik Melalui Berita Kecelakaan
Husnun N Djuraid, JURNALIS MALANG POST, PENGAJAR JURUSAN KOMUNIKASI FISIP UNIVERSITAS BRAWIJAYA
Sumber : JAWA POS, 24 Februari 2012



SURVEI Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) 2010 menempatkan berita bencana alam dan kecelakaan lalu lintas sebagai berita yang paling favorit pembaca. Meskipun frekuensi pemuatannya tidak terlalu banyak, berita bencana alam dan kecelakaan itu mengalahkan berita politik dan korupsi yang lebih sering diberitakan. Bisa jadi, berita yang terlalu sering dimuat justru membuat pembaca bosan dan muak, apalagi berita-berita politik dan korupsi.

Tragedi jalan di jalan raya selalu menimbulkan penderitaan bagi para korbannya dan eksploitasi emosi pembacanya. Cerita-cerita kemanusiaan di balik kecelakaan yang tragis sangat menarik minat pembaca. Berita bencana alam dan kecelakaan menunjukkan tren meningkat dalam beberapa waktu terakhir ini. Kecelakaan lalu lintas yang melibatkan angkutan umum bus terjadi secara beruntun di beberapa daerah dengan korban banyak.

Kebanyakan kecelakaan itu terjadi karena human error, kesalahan awak angkutan. Sebuah fakta menunjukkan, sebelum mengalami kecelakaan, sopir bus bergurau dengan kernetnya. Ulah sopir dan kernet membuat para penumpang gusar. Mereka pun memperingatkan sopir, tetapi peringatan itu diabaikan. Mereka terus saja bergurau sampai akhirnya terjadi kecelakaan yang mengerikan yang turut mengorbankan si pemberi peringatan tadi.

Berita-berita tentang kecelakaan, baik straight news maupun behind the news, selalu menarik minta pembaca. Di balik peristiwa itu ada unsur human interest yang mampu mengaduk-aduk emosi pembaca. Tragedi kecelakaan melahirkan banyak penderitaan manusia. Penderitaan si korban langsung yang tewas atau luka, derita janda yang ditinggalkan, dan "lahirnya" anak yatim baru. Korban cacat juga bisa kehilangan pekerjaan. Atau juga dari sisi pihak yang "salah" digambarkan betapa ugal-ugalan, tidak peduli, mengantuk, narkoba, atau miras mengakibatkan pikiran pengemudi oleng dan mencelakakan orang baik-baik. Ini semua bisa memberikan pelajaran (edukasi) agar orang lain berpikir panjang sebelum ngawur di jalanan.

Sebuah berita ditampilkan memang bukan semata-mata pertimbangan ekonomis meskipun kecenderungan itu semakin kuat. Tetapi, bisa jadi, ada pertimbangan jurnalisme yang lebih luhur. Mengutip Kovach dan Rosentiel, awak pers -mulai dari redaksi hinga dewan direksi- harus punya tanggung jawab untuk menyuarakan sekuat-kuatnya nurani mereka dan mendorong yang lain melakukan hal yang serupa.

Agar tidak keluar rel idealisme, pertimbangan-pertimbangan etis kerap digunakan dalam pemuatan berita kecelakaan. Terutama dalam penampilan foto korban kecelakaan. Berita kecelakaan juga punya misi untuk mengedukasi pembaca agar mereka menaati aturan lalu lintas.

Dampak kecelakaan yang sangat mengerikan berupa kerugian materi dan nyawa bisa menjadi shock therapy, bahwa kecerobohan, ugal-ugalan, dan tidak taat aturan sangat mencelakakan. Pesan ini efektif disampaikan ketika masyarakat menaruh perhatian pada berita kecelakaan sejalan dengan peningkatan jumlah kecelakaan.

Meski ingin membawa pesan yang tajam kepada khalayak media, sebagian besar koran mempunyai kebijakan tidak memuat foto korban kecelakaan. Baik yang luka-luka maupun meninggal dunia berdarah-darah. Tetapi, beberapa koran spesialis kriminal kadang menampilkannya agak menonjol.

Bagaimanapun menampilkannya, misi menyiarkan berita itu harus dilandasi sikap jujur dan profesional dengan pertimbangan bahwa sebuah berita dibuat untuk kepentingan publik. Tidak layak mengejar sensasi dengan mengabaikan etika.

Stasiun TV NBC pernah membuat sebuah berita rekayasa untuk menggambarkan bagaimana truk tangki bahan bakar buatan General Motor mudah terbakar. Untuk mendapatkan gambar yang dramatis -seolah-olah kamerawan berada di TKP pada saat truk meledak- dibuatlah tabrakan akal-akalan. Lengkap dengan ledakan dan kobaran api. Kasus rekayasa berita ini terbongkar dan berbuntut pada pengunduran diri kepala divisi berita dan mengakibatkan reputasi stasiun TV itu jatuh.

Rekayasa dan kecurangan untuk jangka pendek bisa saja menjadi sesuatu yang menggiurkan, tetapi dalam jangka panjang bisa menghancurkan kepercayaan. Misal, emosi pembaca akan teraduk-aduk saat melihat gambar seorang korban banjir berjalan dalam genangan setinggi lehernya sambil mengangkut barang-barangnya di atas kepala. Pembaca tidak tahu bahwa sebenarnya banjir hanya sebatas pusar. Fotografer minta dia jongkok agar bisa mendapatkan gambar dramatis seolah-olah banjirnya sudah hampir menenggelamkannya. Apabila rekayasa ini ketahuan, tentu publik akan "menghukum" media itu dengan cara tidak membeli atau memberi stigma pembohong.

Pers punya misi untuk mengedukasi masyarakat agar berperan dalam menekan jumlah kecelakaan lalu lintas yang menunjukkan tren meningkat. Sama dengan "pendidik'' yang lain, kejujuran menjadi hal yang sangat penting kalau ingin pendidikannya bisa berhasil dengan baik.
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar