Sabtu, 25 Februari 2012

Menunggu Menteri Koperasi Non-Partai


Menunggu Menteri Koperasi Non-Partai
Djabaruddin Djohan, PEMERHATI MASALAH SOSIAL DAN PERKOPERASIAN
Sumber : KORAN TEMPO, 25 Februari 2012



Sebetulnya peran dominan pemerintah dalam pengembangan koperasi, terutama pada awal pertumbuhannya, sudah menjadi hal yang jamak di negara-negara sedang berkembang. Inilah yang disebut dalam terminologi perkoperasian sebagai the classical British-Indian pattern. Dalam pola pembinaan koperasi yang diterapkan pada koperasi-koperasi di negara bekas jajahan Inggris ini, pemerintah secara sadar mengambil prakarsa, khususnya dalam persiapan pendirian koperasi, yang meliputi: pendidikan/pelatihan, informasi, konsultasi, hingga ke awal pendirian koperasi. Begitu koperasi sudah berfungsi secara mandiri, pemerintah segera menarik diri.

Pola pengembangan koperasi model Inggris-India seperti di atas telah berhasil menghantarkan beberapa koperasi di negara bekas jajahan Inggris ke tingkat koperasi kelas dunia. India, misalnya, memiliki tiga jenis koperasi, yaitu Koperasi Susu, Koperasi Pupuk, dan Koperasi Pemasaran Produk Pertanian, yang masuk dalam daftar ICA 300 Global List (2007). Sedangkan Singapura, yang hanya berpenduduk 4,5 juta orang, “menyumbangkan” dua jenis koperasi kelas dunia, yaitu Koperasi Retail/Konsumen dan Koperasi Asuransi. Meskipun tidak termasuk dalam daftar koperasi kelas dunia, Malaysia mempunyai lima koperasi yang termasuk dalam 300 daftar koperasi berprestasi di negara-negara sedang berkembang (ICA Developing 300 Project, 2007).

Bagaimana dengan koperasi-koperasi di Indonesia, yang tidak satu pun masuk daftar Developing 300 Project, apalagi dalam daftar 300 Global List? Pengembangan koperasi di Indonesia pada hakikatnya juga mengikuti pola Inggris-India, yang menempatkan prakarsa pemerintah pada awal perkembangannya. Tetapi, berbeda dengan perkembangan koperasi di negara bekas jajahan Inggris, kebanyakan koperasi di Indonesia cenderung merasa lebih nyaman untuk terus berada di bawah perlindungan pemerintah. Sementara itu, di lain pihak, pemerintah terkesan kuat juga ingin tetap mempertahankan status quo, yang menjadikan gerakan koperasi terus bergantung padanya. Dewasa ini, obsesi Menteri Koperasi dan Usaha Kecil-Menengah (UKM) adalah memiliki koperasi-koperasi yang besar yang dapat masuk ke kelompok Global 300 List, yakni daftar 300 koperasi-koperasi konglomerat versi ICA (International Co-operative Alliance) yang beraset dari US$ 467 juta dan turnover US$ 654 juta (Associated Press, Amerika Serikat) hingga yang beraset US$ 18.357 juta dan turnover US$ 63.449 juta (Zen Noh, Jepang).

Tentu keinginan Pak Menteri ini harus kita apresiasi. Tetapi kita harus juga realistis tentang kondisi perkoperasian yang kebanyakan masih amburadul, di samping banyak yang menyimpang dari jatidiri koperasi. Meskipun demikian, juga harus diingat bahwa keinginan untuk menjadikan koperasi-koperasi kita bisa masuk Global 300 List versi ICA seharusnya datang dari Dekopin sebagai anggota ICA, bukan dari pemerintah (Kementerian Koperasi dan UKM).

Dalam rangka pembinaan koperasi ini, peran pemerintah dilakukan oleh Kementerian Koperasi dan UKM, yang untuk penetapan menterinya merupakan hak prerogatif Presiden, yang dasar pertimbangannya lebih banyak bernuansa politis. Pada dua periode pemerintahan sebelumnya, kursi Kementerian Koperasi dan UKM diduduki oleh tiga orang politikus (Partai Persatuan Pembangunan). Sedangkan pada periode 2009-2014, menterinya adalah politikus dari Partai Demokrat.

Tidak berlebihan jika kondisi seperti ini memberi kesan kuat bahwa koperasi adalah komoditas politik. Sebagai pejabat politik, tentu tidak perlu memahami seluk-beluk perkoperasian yang bersifat teknis administratif, namun sangat diperlukan pemahamannya mengenai filosofi, ideologi, nilai-nilai dan prinsip-prinsip koperasi, yang menunjukkan koperasi bukanlah semata sebagai perusahaan yang tujuan utamanya adalah untuk mencari keuntungan materi/finansial. Sama pentingnya dengan fungsi ekonominya, koperasi juga mempunyai fungsi sosial yang melekat pada organisasi koperasi, seperti keadilan, tolong-menolong (gotong-royong, kepedulian pada masyarakat dan lingkungannya).

Hal inilah yang terkesan kurang dipahami oleh menteri-menteri dari partai politik ini, sehingga pembinaan yang ditempuhnya banyak melenceng dari koridor koperasi. Sebut saja, misalnya, pembinaan koperasi yang dicampur-aduk dengan UKM (yang dalam kenyataannya lebih berat ke UKM-nya), pengembangan Koperasi Simpan Pinjam (KSP) yang berpraktek bak bank gelap, tanpa ada peringatan dari otoritas koperasi. Bisa dimengerti jika perkembangan koperasi seperti jalan di tempat, tanpa arah yang jelas, meskipun, berdasarkan data resmi, perkembangan koperasi terus meningkat dari tahun ke tahun. Sedangkan secara kualitatif bisa dikatakan semakin mundur.

Dengan latar belakang kondisi pengembangan koperasi seperti diuraikan di atas, tidak berlebihan jika di kalangan Gerakan Koperasi muncul harapan agar kursi Menteri Koperasi dipercayakan kepada seorang profesional yang nonpartisan. Di bawah menteri yang profesional dan nonpartisan ini, diharapkan pembinaan/pengembangan koperasi dapat terfokus pada pembangunan koperasi yang sehat, yang sekaligus juga tetap berada dalam koridornya.

Idealnya, profesionalisme Kementerian Koperasi dan UKM juga harus diimbangi dengan profesionalisme Dekopin, organisasi tunggal Gerakan Koperasi, yang salah satu fungsi utamanya adalah sebagai mitra pemerintah dalam pembangunan koperasi. Tetapi bagaimana mungkin bisa profesional jika kegiatannya saja sepenuhnya masih bergantung pada APBN, yang pelaksanaannya tentu harus mengikuti mekanisme proyek pemerintah, yang tidak selalu seirama dan sejalan dengan kepentingan/kebutuhan Gerakan Koperasi. 

Sebagai mitra pemerintah yang profesional, yang keberadaannya didukung oleh para anggotanya dari Gerakan Koperasi (termasuk dukungan dananya), Dekopin dengan bebas akan dapat meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi dalam setiap kebijakan pemerintah dalam pembangunan koperasi, tanpa khawatir akan dicabut alokasi dana APBN-nya.

Hanya, apabila kedua instansi/lembaga (Dekopin serta Kementerian Koperasi dan UKM) bisa bersinergi, berkoordinasi, dan bekerja sama berbasis profesionalisme dalam satu platform yang sama, dengan pembagian tugas yang jelas apa yang seharusnya dilakukan oleh pemerintah (cq Kementerian Koperasi dan UKM, maupun instansi pemerintah terkait dengan pembangunan koperasi lainnya) dan apa yang seharusnya dilakukan oleh Gerakan Koperasi/Dekopin, yang berarti tidak jalan sendiri-sendiri seperti saat ini, barulah ada harapan koperasi bisa berkembang dengan baik dan normal.

Dan siapa tahu, suatu ketika nanti mimpi Menteri Koperasi dan UKM untuk dapat memiliki koperasi besar yang masuk dalam daftar Global 300 ICA dapat terwujud. Tetapi juga harus diingat bahwa konglomerat-konglomerat koperasi yang masuk Global 300 List ICA tersebut juga dimulai dari koperasi-koperasi kecil, yang dikembangkan dengan tekun, konsisten dan berkesinambungan dalam jangka waktu puluhan tahun, bahkan beberapa di antaranya lebih dari satu abad. Bukan dengan simsalabim dalam satu malam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar