Rabu, 29 Februari 2012

Norma yang Dilanggar


Norma yang Dilanggar
Yusril ihza Mahendra, GURU BESAR HUKUM TATA NEGARA UNIVERSITAS INDONESIA
Sumber : KOMPAS, 29 Februari 2012



Membaca opini ”Legitimasi Wakil Menteri” yang ditulis oleh Saudara Amzulian Rifai di harian ini (Rabu, 8 Februari 2012) terasa ada yang dipaksakan. Menanggapi tulisan tersebut, saya akan menilai persoalan keberadaan wakil menteri dari sudut norma.
Pasal 10 UU No 38/2008 tentang Kementerian Negara itu memuat norma yang menyatakan: ”Dalam hal terdapat beban kerja yang membutuhkan penanganan secara khusus, presiden dapat mengangkat wakil menteri pada kementerian tertentu”. Sementara penjelasan pasal ini mengatakan: ”Yang dimaksud dengan ’wakil menteri’ adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”.

Dalam Pasal 17 UUD 1945 dinyatakan: (1) presiden dibantu oleh menteri-menteri negara, (2) menteri-menteri itu diangkat dan diberhentikan oleh presiden, (3) setiap menteri membidangi urusan tertentu pemerintahan, (4) pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara diatur dalam undang-undang. Norma Pasal 17 Ayat (1) UUD 1945 itu tegas menyatakan bahwa presiden dibantu oleh menteri-menteri negara. Tidak ada norma yang menyebutkan keberadaan wakil menteri. Keberadaan wakil menteri itu baru ada di Pasal 10 UU No 38/2008.

Hal seperti ini sama keadaannya dengan ketentuan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945 yang normanya menyebutkan, ”Gubernur, bupati dan wali kota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota....” Norma Pasal 18 UUD 1945 tidak menyebutkan keberadaan wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota.

Namun, norma UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan keberadaan jabatan para wakil itu. Pertanyaannya: apakah kalau norma UUD hanya menyebutkan menteri atau gubernur, bupati, dan wali kota, norma undang-undang kemudian menambahkannya dengan keberadaan wakil menteri, wakil gubernur, wakil bupati, dan wakil wali kota?

Pertanyaan di atas terkait aspek formal penyusunan sebuah UU, di samping aspek materiilnya. Pasal 17 Ayat (4) UUD 1945 tegas memerintahkan agar dibentuk UU yang normanya mengatur tentang ”pembentukan, pengubahan, dan pembubaran kementerian negara”. Ini dengan asumsi, kementerian negara adalah sesuatu yang sudah ada, bukan saja telah ada pada saat penyusunan RUU Kementerian Negara itu, tetapi sudah ada sejak awal kemerdekaan.

Situasional

Latar belakang munculnya norma Pasal 17 Ayat (4) UUD 1945 itu adalah situasional, yakni dengan terjadinya pembubaran, pengubahan, serta pembentukan kementerian negara yang begitu sering dilakukan pada masa Presiden Abdurrahman Wahid. Untuk mencegah hal ini terus berulang, lahirlah norma Pasal 17 Ayat (4) itu.

Bahwa DPR berkeinginan menyusun UU Kementerian Negara sebagaimana yang ada pada UU No 38/2008 sekarang, yang mengatur berbagai hal tentang kementerian negara, bukan sekadar ”pembentukan, pengubahan, dan pembubarannya” belaka, saya anggap hal itu tidaklah sesuai dengan perintah konstitusi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 17 Ayat (4) UUD 1945.

Sejalan dengan ketentuan Pasal 10 UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, pengaturan lebih lanjut atas ketentuan Pasal 17 Ayat (4) UUD 1945 dapat dikategorikan sebagai sebuah UU yang materi muatannya berisi ”pengaturan lebih lanjut mengenai ketentuan UUD Negara RI Tahun 1945”. Sementara keberadaan UU No 38/2008 bukan lagi mengatur lebih lanjut, melainkan membuat norma pengaturan tersendiri yang tidak sejalan dengan apa yang diperintahkan oleh Pasal 17 Ayat (4) UUD 45 sehingga tidak memenuhi syarat formal pembentukan peraturan perundang-undangan.

Demikian pula halnya norma Pasal 10 UU No 38/2008 tidak memenuhi pula syarat formal itu karena menambahkan sebuah norma baru yang sama sekali tak diperintahkan oleh norma UUD. Hal sama berlaku pada UU No 32/2004 yang menambahkan norma yang tak diperintahkan UUD, yakni keberadaan para wakil kepala daerah.

Hal lain yang juga tidak memenuhi syarat formal adalah Penjelasan Pasal 10 UU No 39/2008 yang mengatakan: ”Yang dimaksud dengan ’wakil menteri’ adalah pejabat karier dan bukan merupakan anggota kabinet”. Penjelasan Pasal 10 ini bukan lagi sekadar ”sebuah tafsir resmi membentuk peraturan perundang-undangan atas norma yang ada di dalam batang tubuh”, sebagaimana dikemukakan dalam Lampiran II Angka 178 UU Nomor 12 Tahun 2011, tetapi telah memuat norma tersendiri.

Apalagi dikaitkan dengan angka 177 lampiran tersebut, yang tegas mengatakan: ”Penjelasan tak dapat dijadikan dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut dan tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisikan norma”. Sementara Perpres Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukkan dan Organisasi Kementerian Negara, sebagaimana diubah dengan Perpres No 76/2011, justru menjadikan penjelasan Pasal 10 sebagai sandaran bagi pengaturan jabatan wakil menteri itu.

Norma Pasal 10 UU No 38/2008 secara materiil juga tak sejalan dengan Pasal 17 Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 yang hanya menyebutkan keberadaan ”menteri-menteri negara” dan tidak menyebutkan keberadaan wakil menteri. Satu-satunya jabatan yang disebutkan mempunyai wakil di dalam UUD 1945 ialah wakil presiden.

Tidak ada jabatan wakil untuk jabatan kenegaraan apa pun yang disebutkan dalam UUD 1945 sehingga pengaturan norma undang-undang untuk mengatur lebih lanjut norma UUD tak dapat melampaui apa yang secara limitatif normanya sudah diatur dalam konstitusi.

Dengan demikian, norma Pasal 10 UU No 39/2008 tentang Kementerian Negara secara materiil memang menunjukkan pertentangan dengan Pasal 17, khususnya Ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945. Bahkan, dengan logika yang sama tentang norma, pengujian formal dapat diajukan terhadap keseluruhan UU No 38/2008 tentang Kementerian Negara. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar