Sabtu, 25 Februari 2012

Pekerjaan Rumah OJK


Pekerjaan Rumah OJK
Didik J. Rachbini, GURU BESAR DAN EKONOM SENIOR INDEF
Sumber : REPUBLIKA, 24 Februari 2012



Sektor keuangan Indonesia telah memasuki babak baru setelah disahkan Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan (UU-OJK). Tujuan OJK didirikan adalah untuk mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara berkelanjutan dan stabil. Wewenangnya luas, antara lain, pengaturan dan pengawasan mengenai kesehatan bank yang meliputi: likuiditas, rentabilitas, solvabilitas, kualitas aset, rasio kecukupan modal minimum, batas maksimum pemberian kredit, rasio pinjaman terhadap simpanan, dan penca dangan bank. Dengan sistem yang baru, diharapkan perbankan lebih efisien, biaya modal dan suku bunga rendah, serta perbankan bebas kartel.

Ekonomi Indonesia tumbuh cukup memadai sekitar 6,5 persen, tetapi masih banyak penyakit ekonomi yang menjangkiti ekonomi nasional. Ekonomi Indonesia berkembang karena momentum dan faktor eksternal yang mendukung nya. Tetapi, ada banyak masalah yang menghambat, antara lain, sektor keuang an yang masih kalah efisien dibanding kan dengan efisiensi perbankan di negara-negara sekitarnya.

Banyak kritik bahwa perbankan Indonesia tidak efisien. Kadin juga menggugat dunia perbankan untuk menurun kan tingkat suku bunganya agar lebih mendorong dunia usaha. Tingkat suku bunga yang tinggi pada saat ini sudah dianggap membebani dunia usaha dan menggerus daya saing dunia usaha   Indonesia. Perbankan nasional dianggap tidak efisien karena daya saing Indonesia tidak setara dengan perbankan di negara-negara ASEAN lainnya yang sudah menurunkan suku bunganya, baik suku bunga deposito maupun kredit.

Tidak hanya ketua umum Kadin, tetapi Gubernur Bank Indonesia (BI), juga mengeluhkan perbankan nasional, yang tidak serta-merta menurunkan suku bunga kredit ketika BI secara bertahap menurunkan BI ratenya. Level BI Rate beberapa bulan terakhir ini berada pada kisaran enam-tujuh persen, tetapi tingkat suku bunga kredit di pasar mencapai 14-15 persen.

Bahkan, usaha menengah masih membayar dengan suku bunga lama hampir 20 persen. Untuk keperluan mo dal dalam usaha konsultansi ekonomi, kredit yang harus dibayar mencapai dua kali lipat dari pinjamannya hanya dalam empat-lima tahun. Perbankan sekarang sangat menikmati suku bunga tinggi dari kegiatan perkreditannya.

Dari perbedaan dengan BI rate mau pun suku bunga deposito, suku bunga kredit yang terbentuk sangat tinggi dan membebani dunia usaha. Karena itu, tidak aneh jika ketua umum Kadin menggugat dunia perbankan, yang memainkan dan mempertaruhkan nasib dunia usaha dengan suku bunga yang tinggi. Walau dana masuk melimpah, tingkat suku bunga di Indonesia tetap tinggi. Dalam hukum ekonomi yang sederhana, ketika pasokan melimpah maka harga cenderung turun.

Lalu, apa penyebab tingginya tingkat suku bunga di Indonesiai? Mengapa suku bunga kredit tidak pernah turun secara proporsional? Bagaimana perilaku pasar keuangan di subsektor perbankan?

Sudah jamak kalau Kadin mengkritik bahwa tingkat suku bunga kita tergolong yang paling tinggi di dunia. Rata-rata suku bunga dasar kredit (nominal) mencapai 11,9 persen. Di pasar kre dit tingkat suku bunga yang terbentuk lebih tinggi lagi, yakni sekitar 1415 persen. Ini setara dengan negara terbelakang, seperti Laos dengan tingkat suku bunga sekitar 12-13 persen.

Kadin menilai, keadaan ini tidak kon dusif bagi dunia usaha dan meminta dunia perbankan agar tingkat suku bunga turun setara dengan negara-negara sekitarnya. Intinya, dengan dana yang melimpah se mestinya tingkat suku bunga di pasar kredit turun sehingga BI harus lebih agresif lagi merancang kebijakan yang memungkinkan harga modal usaha menjadi lebih layak. Tidak seperti sekarang, dunia usaha menanggung beban bunga yang tinggi.

Negara-negara tetangga sudah ber hasil mengefisienkan tingkat suku bu nga nya jauh di bawah Indonesia. Tingkat suku bunga dasar kredit di Malaysia hanya 6,6 persen, Singapura sekitar 4,3 persen, dan Thailand 3,3 persen.

Ketika pasokan dana besar, suku bu nga tidak turun secara signifikan.            Dibandingkan dengan suku bunga di ne gara sekitarnya, tingkat suku bunga di Indonesia masih sangat tinggi. Ber dasarkan gejala-gejala ini maka dipas tikan ada akar masalah yang menyebabkan suku bunga tetap tinggi.

Tampaknya struktur pasar keuangan di Indonesia bersifat oligopolistis. Pada pasar keuangan khusus deposito, pemilik dana besar yang bisa memengaruhi suku bunga hanya di tangan segelintir pelaku, yakni BUMN besar, pemerintah terutama Kementrian Keuangan, dan orang kaya di Indonesia. Dengan struktur oligopili ini ada juga indikasi perilaku monopolistis di mana pemilik dana tersebut meminta tingkat suku bunga khusus atau “special rate” sehingga mendong krat tingkat suku bunga deposito.

Pasar yang oligopolistis ini bersaing tentunya dengan SBI atau BI Rate, yang ju ga terdongkrak lebih tinggi. Karena itu, juga tidak aneh jika SBI dan BI ra te kita jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Sibor dan Libor karena faktor struktur pasar dan perilaku monopoli tersebut. Bahkan, jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan US prime rates, sekitar tiga persen dan Japan Prime Ra tes sekitar satu persen.

Jadi, masalah suku bunga juga berakar pada struktur pasar yang oligopo listis dan perilaku monopolistis, terutama pemilik dana besar BUMN dan pemerintah sendiri. Pemilik dana besar di BUMN dan pemerintah meminta bunga yang tinggi pada perbankan sehingga suku bunga deposito terdongkrak tinggi.

Pantas suku bunga Indonesia tergolong paling tinggi di dunia karena ada indikasi kartel di dalam pasar keuangan ini, yang tidak lepas kemungkinan kolusi. Dana besar di BUMN sudah menjadi rahasia umum sebagai barang dagangan antara bank dan pemilik dana. Ini merupakan pekerjaan rumah bagi OJK yang baru, yang bila diperlukan bisa bekerja sama dengan KPPU.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar