Rabu, 29 Februari 2012

Prapanca dan Visi Publikasi


Prapanca dan Visi Publikasi
Supriadi Rustad, GURU BESAR UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG,
DIREKTUR PENDIDIK DAN TENAGA KEPENDIDIKAN (DIKTENDIK) DIRJEN DIKTI KEMDIKBUD
Sumber : SUARA MERDEKA, 29 Februari 2012



DAMPAK publikasi karya tulis terhadap kemajuan suatu bangsa sungguh tak terbayangkan. Apa jadinya seandainya petugas humas keraton bernama Prapanca jika dulu tidak memublikasikan Nagarakrtagama? Niscaya seluruh anak bangsa (mungkin juga warga dunia) tidak akan pernah mengenal Kerajaan Majapahit, negara berkarakter agama,  induk bangsa Indonesia yang penuh dengan kisah heroik dan membanggakan itu.

Di ranah politik, kita sering disuguhi kisah penuh konflik nilai macam Arok yang membunuh guru Gandring, justru ketika sang guru selesai  menempa keris untuknya. Atau kisah Maharaja Mataram yang membunuh Mangir Wanabaya justru pada saat menantunya itu menyerah sungkem setelah sebelumnya dikondisikan tak bersenjata. Di ranah akademik, kita lebih bersyukur karena memiliki figur seperti Sedah, Panuluh, Prapanca, dan pujangga lainnya yang menampilkan sosok ilmuwan yang dedikasi  dan visi publikasinya patut diteladani.

Kerap kali dikisahkan, begitu fajar menyingsing Sedah dan kemenakannya Panuluh, pergi ke hutan untuk mendapatkan daun (ron) tal. Ron tal yang selanjutnya mengalami metatesis menjadi lontar itu kemudian diolah menjadi kertas dengan dipotong menjadi lembaran yang siap ditulisi. 

Sarjana Sujana

Penuh dedikasi terhadap bidang kebisaan yang digeluti adalah ciri utama seorang sarjana kang sujaneng budi, orang pintar lagi mengerti.  Pada malam hari, sambil berkidung, Mbah Sedah dengan gigih menyiapkan tulisan-tulisan dengan mengguratkan tatah (semacam ujung lidi  tajam) ke permukaan lontar yang sudah disiapkan Panuluh. Sedah pun membimbing muridnya itu tentang cara mendapatkan jejak huruf dari getah lontar yang kemudian dibekukan dan ’’diwarna’’ dengan kemiri bakar. Sesekali mereka terpaksa membuang beberapa daun lontar itu ketika terjadi salah tulis atau cetakan kurang memuaskan. Budaya baca dan tulis di Nusantara ini telah ada hampir satu milenium silam.

Sedah dan Panuluh adalah contoh sastrawan atau sarjana pelopor yang hidup di zaman kejayaan Kediri pada abad ke-12 di bawah rezim Jayabaya yang terkenal dengan ramalannya itu. Kompetensi membaca dan menulisnya menghasilkan gubahan Bharatayuda yang di antaranya dijadikan referensi oleh Sunan Kalijaga dalam mengembangkan media dakwah ajaran Islam melalui wayang purwa. Berangkat dari babon yang terus-menerus mengalami penyalinan, berabad-abad kemudian Yasadipura pada era awal Surakarta melakukan transformasi secara kreatif hingga tergubah Serat Baratayuda.

Tidak seperti Sedah dan Panuluh yang memang sastrawan sejati, Prapanca “hanyalah” juru warta (semacam humas) Keraton Majapahit. Sebagaimana dicatat Zoetmulder dalam Kalangwan: Sastra Jawa Kuno Selayang Pandang, syairnya tidaklah lebih estetis dibandingkan dengan syair sejenis pada zamannya ataupun zaman sebelumnya. Namun semenjak Brandes (1902) menerbitkan Nagarakrtagama dalam sebuah edisi sementara, sejak itulah teks ini menjadi kakawin yang paling banyak dipelajari. Adapun Prapanca, pengarangnya, menjadi kawi yang paling dikenal.

Visi publikasi Prapanca memang sungguh menakjubkan. Dengan tekun ia mendokumentasikan keadaan fisik dan sosial Majapahit dalam sebuah kitab yang diberinya judul Desawarnana, yang kelak dikenal sebagai Nagarakrtagama itu. Tidak begitu jelas apakah karya ini merupakan hasil penelitian dalam terminologi saat ini, tapi yang pasti publikasinya menjadi pengetahuan yang amat penting bagi pembangunan bangsa ini. 

Masalah Publikasi

Dari Nagarakrtagama, kita telah mendapatkan gambaran yang begitu detail atas setiap titik dan sudut kompleks istana Wilwatikta. Gambaran itulah yang kemudian bisa menjadi dasar utama ketika hendak dilakukan rekonstruksi di situs pusat pemerintahan Nusantara II itu. Tanpa teks tersebut, bayangan dan rujukan untuk melakukan pembangunan kembali situs Majapahit masih akan berselimut kabut hitam.

Lewat manggala ataupun kolofon yang menyertai hampir setiap publikasi teks kuno semacam Nagarakrtagama dan Bharatayuda, kita tidak hanya mendapatkan pelajaran tentang kesadaran ruang dan waktu penggubahnya tetapi juga kejujuran pemosisian diri dalam sejarah panjang teks. Ada pengakuan atas capaian para pendahulu, ada pula harapan untuk generasi mendatang. Sebuah pelajaran etika akademik yang luar biasa elok.

Dari kedua contoh kakawin tersebut kita juga belajar bagaimana mengimplementasikan ajaran mikul dhuwur. Sekalipun disertai rumor tentang tindak asusila Sedah, di bait sambungan Panuluh dengan arif menyatakan  bahwa Sedah tidak tega ketika baitnya mulai menceritakan suasana haru Prabu Salya berangkat ke medan laga. Karya Prapanca yang sering dikritik sebagai pujasastra, ternyata ditulis di masa pensiun, suatu masa di mana seseorang akan lebih bebas mengkritik penguasa.

Kini setelah berabad-abad lewat, tentu kita tak pernah berharap lahirnya generasi yang hanya pintar bicara tetapi gagap ketika harus mencurahkan pikiran, perasaan, dan kehendaknya dalam bentuk tulisan. Bukankah terlalu sayang jika rekaman atas setiap capaian kecendikiaan anak bangsa ini tersembunyi sepi di rak pribadi lantaran tak pernah terpublikasi? Lalu apa yang akan kita wariskan kepada generasi mendatang? Bukankah, lebih-lebih bagi para akademisi, berlaku pula adagium “mempublikasi atau binasa?”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar