Selasa, 28 Februari 2012

Siapa Presiden Bank Dunia Mendatang?


Siapa Presiden Bank Dunia Mendatang?
Arvin Subramanian & Devesh Kapur, DEVESH KAPUR ADALAH PENGARANG-BERSAMA BUKU RESMI SEJARAH BANK DUNIA; ARVIND SUBRAMANIAN ADALAH SENIOR FELLOW PADA PETERSON INSTITUTE FOR INTERNATIONAL ECONOMICS DAN CENTER FOR GLOBAL DEVELOPMENT
Sumber : KORAN TEMPO, 27 Februari 2012



Juni ini Robert Zoellick akan habis masa tugasnya sebagai Presiden Bank Dunia. Sekali lagi muncul persoalan siapa yang akan memimpin dua saudara kembar Breton Woods (Bank Dunia dan Dana Moneter Internasional) ini. Saat kelahiran mereka, kita terkenang akan peringatan John Maynard Keynes bahwa, jika lembaga-lembaga ini tidak memiliki pemimpin yang baik, mereka akan “jatuh tertidur selamanya dan tidak lagi akan bangun atau didengarkan suaranya di balai-balai sidang dan pasar umat manusia”.

Untuk mendapatkan pemimpin yang baik sudah tentu memerlukan proses seleksi yang cermat. Sekarang ini dunia justru terbelenggu oleh suatu proses yang sudah kuno di mana Amerika Serikat dan Eropa, walaupun ekonomi mereka sedang mengalami kesulitan, tetap memegang monopoli kepemimpinan Bank Dunia dan IMF.

Ada kesepakatan yang enggan diberikan bahwa sistem ini harus diubah. Tapi kekuatan-kekuatan yang melanggengkan status quo--resistansi Eropa dan Amerika terhadap perubahan dan pasifnya negara-negara ekonomi baru--masih kuat, seperti digambarkan dalam pilihan yang dijatuhkan pada Christine Lagarde untuk memimpin IMF. Suhu politik menjelang pemilihan presiden di AS tahun ini akan semakin memperkokoh kekuatan-kekuatan tersebut, di mana pemerintah Presiden Barack Obama tidak mungkin melepaskan suatu simbol global power yang bisa digunakan pesaing-pesaingnya sebagai senjata untuk menghantamnya sebagai pemimpin yang lemah.

Tapi, dalam beberapa hal, tidak sulit mengemukakan apa yang sudah jelas: Bank Dunia memerlukan proses seleksi yang baru yang bakal memungkinkan terpilihnya orang yang paling memenuhi syarat tanpa memandang kewarganegaraannya. Yang sulit adalah bagaimana mengidentifikasi kualifikasi yang dibutuhkan untuk memimpin Bank Dunia di saat ketika perannya mesti disesuaikan dengan perubahan global yang terjadi saat ini.

Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, sejumlah negara miskin sudah berhasil mengejar negara-negara maju, sementara daftar keberhasilan pembangunan ini semakin panjang. Itu berarti semakin banyak negara yang dulunya miskin sekarang tidak lagi membutuhkan pinjaman lunak dari Bank Dunia.

International Bank for Reconstruction and Development (IBRD), sebagai badan Bank Dunia yang menyediakan bantuan yang normal, bisa bertahan terutama karena tiga perempat rakyat miskin di dunia sekarang tinggal di negara-negara dengan pendapatan menengah. Tapi akses yang mudah untuk memperoleh pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan swasta bakal memaksakan dilakukannya re-evaluasi cara yang dilakukan IBRD serta besarnya pinjaman yang diberikannya. Misalnya, beberapa negara mungkin menginginkan Bank Dunia terus memberikan advis yang netral dan menetapkan standar pengadaan serta mutu, tapi tanpa biaya transaksi yang tinggi yang sudah menjadi ciri Bank Dunia.

Pada saat yang sama, banyak di antara tantangan pembangunan di masa depan ini--perubahan iklim, menurunnya produktivitas pertanian, meningkatnya kelangkaan air--semakin mengglobal. Di masa mendatang, Bank Dunia harus bergeser dari pinjaman kepada pemerintah ke pembiayaan pengadaan global public goods.

Semakin berhasilnya negara-negara berkembang mencapai kemajuan juga merupakan tantangan intelektual terhadap Bank Dunia sebagai bayangkara penelitian dan pemikiran kebijakan di bidang ekonomi pembangunan. Bank Dunia, yang banyak bergantung pada pusat-pusat pendidikan di AS, tidak lagi bisa menjajakan model yang tunggal atau menciptakan suatu pola yang universal. Memang Bank Dunia sudah merangkul dan membawakan pesan dari berbagai sumber, tapi seorang pemimpin yang baru harus melangkah lebih maju, memberikan perhatian lebih besar kepada konteks yang khusus dan tuntutan masing-masing negara peminjam, serta belajar lebih banyak dari pengalaman pembangunan yang berhasil.

Negara-negara utama pemegang saham Bank Dunia juga dihadapkan pada pilihan yang sulit. Jika mereka yakin bahwa Bank Dunia punya masa depan yang layak didukung, itu adalah negara-negara yang sekarang sedang mengalami pertumbuhan yang cepat, bukan Barat yang terlilit utang, yang bisa memberikan sumber daya yang dibutuhkan itu (ini sudah tentu berarti Cina, tapi bahkan Brasil dan India pun sudah melancarkan program bantuan yang semakin meningkat). Sebagai imbalan, mereka berhak menuntut diberikannya suara yang lebih besar dalam mengelola Bank Dunia, terutama jika fokus Bank Dunia bergeser ke arah penyediaan global public goods.

Tapi, jika negara-negara status quo itu tidak bersedia menyerahkan kendali Bank Dunia, sistem resmi pembiayaan internasional yang dibentuk Bretton Woods bakal semakin terfragmentasi. Negara-negara seperti Cina bakal semakin kuat keyakinannya bahwa, dalam hal ini, berjalan sendiri adalah opsi paling baik, dengan akibat buruk bagi multilateralisme.

Pergeseran yang dramatis serta tantangan-tantangan berat ini berarti Presiden Bank Dunia berikutnya harus seseorang yang tugas utamanya adalah memprakarsai dan melanjutkan perubahan, sembari mendapatkan dukungan dan legitimasi dari keseluruhan anggota. Ia juga membutuhkan kapasitas kepemimpinan politik yang sudah terbukti serta keyakinan inti bahwa Bank Dunia memerlukan visi dan jalan baru ke depan.

Proses seleksi mutlak perlu diubah untuk memperluas pencarian calon-calon yang peka terhadap realitas yang sudah berubah dan yang memiliki kualifikasi utama. Ini bukan berarti menyingkirkan calon dari Amerika yang pantas terpilih, seperti Hillary Clinton. Tapi juga berarti dengan teliti mencari calon-calon lainnya, seperti mantan presiden Luiz Inacio Lula da Silva dari Brasil dan mantan presiden Ernesto Zedillo dari Meksiko; Gnosis Okonjo-Iweala, ekonom kenamaan dari Nigeria; Mo Ibrahim, contoh keberhasilan dunia usaha dari Afrika; Nandan Nilekani, raja perangkat lunak dari India yang sekarang menjadi pejabat pembangunan; dan Andrew Sheng, seorang regulator keuangan yang terkemuka dari Malaysia.

Prosedur seleksi sekarang ini sudah kehilangan legitimasinya dalam suatu dunia yang sudah berubah dan membawa risiko buruk terpilihnya calon yang tidak tepat. Konsekuensi mempertahankan prosedur yang ada sekarang mungkin tidak sedramatis seperti yang diperingatkan Keynes, tapi ada kemungkinan yang riil bahwa Bank Dunia bakal membatu dan menjadi suatu lembaga di mana negara-negara donor dari kelompok G-7 yang ekonominya semakin terpuruk itu bakal menyediakan bantuan yang semakin kecil jumlahnya, sama dengan semakin kecilnya jumlah negara yang memohon bantuan. ●

1 komentar: