Selasa, 28 Februari 2012

Tersandera dan Mendera


Tersandera dan Mendera
Eko Wijayanto, DOSEN FILSAFAT FIB-UI DAN KOORDINATOR PROGRAM STUDI LACAN (PSL-UI)
Sumber : KOMPAS, 28 Februari 2012



Dengan gaya dan pembawaan yang santai, tenang, dan santun, Angelina Sondakh duduk di kursi saksi Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (15 Februari 2012). Anggota DPR yang juga Wakil Sekjen Partai Demokrat (nonaktif) itu jadi saksi bagi bekas rekan separtainya, Muhammad Nazaruddin, terdakwa kasus dugaan suap wisma atlet SEA Games 2011.

Kesaksian Angelina ini termasuk hal yang ditunggu-tunggu. Angelina alias Angie, yang pernah duduk sebagai anggota Badan Anggaran DPR itu, diharapkan dapat mengungkapkan aliran dana wisma atlet ke DPR. Namun, apa yang disampaikan Angie di persidangan itu tak lebih dari sederet bantahan.

Kata ”tidak pernah”, ”tidak ada”, ”tidak tahu”, atau ”tidak kenal” kerap meluncur dari mantan Puteri Indonesia ini. Apakah itu sebuah jiwa yang lembut: sebagai bentuk tersensitif dari subyek?

Jiwa yang lembut (beautiful soul) memanipulasi dirinya ke sebuah ketidakaktifannya. Dalam fakta, hal tersebut tidak hanya sebuah penyangkalan. Berbanding terbalik dengan makna tersurat dari proposisi beautiful soul itu sendiri, yang mungkin kita pahami sebagai jiwa yang cantik, indah, baik, ataupun memikat. Pemanipulasian makna inilah yang perlu diwaspadai guna menghindari kesesatan makna dalam struktur yang menipu tersebut.

Kenikmatan Narsistik

Untuk lebih jelasnya, kita bisa memberikan contoh seperti ini: ”pada saat seorang ibu menjadi tulang punggung keluarga, semua anggota keluarganya mengeksploitasi kebaikannya”. Ia melakukan segala pekerjaan atas tanggung jawabnya meskipun ia mengaku merasa tidak adil dan menderita cukup dalam atas ke-”diam”-annya yang selama ini ia lakukan. Hal ini berlaku karena ia mengimajinasikan identitasnya yang diberikan secara konsistensi atas pengorbanannya. Akan tetapi, dalam hal pengorbanan dirinya tidak ada yang tertinggal. Dalam pemaknaannya kita bisa melihat bahwa ia secara total dirugikan oleh keadaannya.

Hal tersebut merupakan contoh kasus yang sempurna dari komunikasi Lacanian. Makna dari seorang ibu yang menggugat keadaannya, meskipun keadaannya yang begitu sulit, terakhiri dengan pernyataan bahwa semua pengorbanannya yang telah diberikannya adalah bentuk dari sesuatu yang ia berikan untuk memberikan makna bagi kehidupannya atas identitasnya. Jadi, dalam hal ini, makna sebenarnya adalah pesan yang ia sampaikan.

Kata makna yang tersirat yang diberikannya dari sikap diam dan jawaban tidak itu adalah: ”ia siap untuk berkorban, mengorbankan semuanya, dan semuanya adalah pengorbanan itu sendiri”. Sebuah kasus yang menyedihkan bahwa ia mengorbankan pengorbanannya sendiri untuk menentukan persetujuannya atas apa yang terjadi pada dirinya, yang menjadikannya seperti budak dan mengeksploitasinya sebagai korban.

Kesalahannya adalah tidak semudah menyebutkan bahwa ”ketidakaktifannya” dalam mengabaikan eksploitasi diam-diam yang dilakukan oleh anggota keluarganya, tetapi pada kepasrahannya dalam memperpanjang dan membiarkan hal ini terjadi. Dan hal itu terjadi dalam simbolik sosial, dalam hubungan keluarga yang di dalamnya ia memiliki peranan. Di sini kita bisa juga memaknai dari kejelasan antara ”konstitusi” dan identitas yang ”terkonstitusikan” antara ideal ego dan ego ideal.

Dalam tingkatan ego ideal yang dibayangkan, beautiful soul melihat peranannya sebagai seseorang yang rapuh, korban pasif. Ia mengidentikkan dirinya dengan perannya; dalam hal ini menjadi seperti peranan yang harus ia lakukan. Ia menunjukkan bahwa peran yang diberikan kepadanya adalah kenikmatan narsistik yang bisa dibanggakan.

Namun, dalam hal sebenarnya, ia masuk ke dalam struktur formal dari intersubyektivitas yang membolehkan asumsinya terhadap peranannya itu. Dengan kata lain, strukturisasi dalam ruang intersubyek (hubungan keluarga) adalah simbol identitasnya, poin dari yang ia temui sebagai dirinya, sehingga ia muncul sebagai peran yang ia harapkan dan dibayangkan sendiri.

Peran Seorang Ibu

Jiwa yang lembut memiliki struktur dalam realitasnya yang kita asumsikan sebagai korban pasif, yang dibutakan dengan isi yang menggiurkan, semacam beauty of the role of ”suffering victim”.

Dalam hal ini ia memperlihatkan bahwa ia terbuai dengan bentuk formal yang dibuat oleh masyarakat tentang peran seorang ibu sebagai penanggung jawab, tetapi tidak memperhatikan kualitas isi yang akan ia dapatkan tanpa pernah terpikirkan konsekuensinya.

Pada akhirnya, dalam bahasa yang biasa kita ucapkan sehari-hari, subyek yang ’’diam” (bungkam), ia hanya mengasumsikan kewajibannya sebagai keadaan yang sudah diberikan kepadanya sehingga ia tidak menyadari apa yang sebenarnya terjadi. Namun, ia setuju atas hal itu dan menerimanya sebagai ”hasil kerjanya” yang dilihat sebagai tindakan formal yang benar.

Ditipu Diri Sendiri

Benar bahwa sebuah pengakuan akan membuka mata kita atas apa yang terjadi pada kita dalam kehidupan sehari-hari. Membuka apa yang tersembunyi dari sesuatu yang tidak terlihat secara awam, yang hanya bisa dirasakan dengan perasaan yang kuat untuk bisa menentukan hal tersebut, adalah sesuatu yang asli atau hanya kepura-puraan yang tidak kita sadari.

Hal ini sangat penting untuk kita. Contohnya, dalam membedakan status bentuk dan isi yang ada dalam pada setiap peran manusia, kita mungkin merasa secara formal memiliki bentuk peranan yang baik meskipun pada dasarnya kita—tanpa disadari—terjebak dalam peranan yang merugikan kita. Kita bisa saja menikmati setiap hal positif yang kita rasakan meskipun di balik itu tersirat sebuah tindakan yang bisa ”membunuh” kita secara pelan-pelan. Mengapa? Karena, diamnya kita yang tidak menyadari apa yang sedang terjadi pada diri kita.

Bisa jadi kita benar-benar tertipu dengan kejadian-kejadian yang menerpa kita. Ketika sebuah tanggung jawab moral kita yang kita lakukan—berdasarkan kepedulian, welas asih, ketulusan, dan murni untuk bisa memberi—secara diam-diam kita bisa dimanfaatkan dengan cara yang tidak elegan di dunia nyata ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar