Rabu, 28 Maret 2012

BBM dan Nasib Buruh

BBM dan Nasib Buruh
Rekson Silaban, Ketua Majelis Penasihat
Organisasi Konfederasi Serikat Buruh Sejahtera Indonesia
SUMBER : KOMPAS, 28 Maret 2012



Gerakan penolakan kenaikan harga BBM sudah digelar buruh. Hampir semua serikat buruh menolak memahami alasan pemerintah menaikkan harga BBM.

Akibat dari merosotnya kepercayaan terhadap pemerintah, kalangan buruh sepakat tindakan mendukung kebijakan pemerintah jadi pilihan yang salah sekalipun dalam beberapa hal alasan pemerintah menaikkan harga BBM masuk akal. Aktivis buruh berpendapat, bagaimana mungkin buruh berempati dengan kesulitan yang dihadapi pemerintah saat pemerintah sering kali tak berempati atas nasib buruh.

Buruh sulit mengerti pengorbanan apa lagi yang diharapkan dari mereka. Upah selalu minimum. Jaminan sosial tidak dapat. Pekerjaan dikontrak selama puluhan tahun. Apabila ada masalah, proses pengadilan perburuhan berlarut-larut sampai buruh menyerah. Alhasil, masa depan buruh cenderung memburuk.

Tanpa kenaikan harga BBM pun hidup buruh sudah menderita. Sistem perlindungan yang tersedia menempatkan buruh sebagai korban yang rapuh.

Jadi, ketika disuruh berkorban menanggung kenaikan harga BBM, mereka bingung memahami kehidupan buruk apa lagi yang dikehendaki untuk membantu program pemerintah. Kalau saja selama ini pemerintah peduli atas nasib mereka, pastilah buruh dengan sukarela berbagi derita. Buruh Indonesia juga pasti bersedia berkorban seperti buruh di Argentina, Brasil, Jerman yang pada saat krisis global tahun lalu bersedia secara sukarela menerima pengurangan upah dan jam kerja untuk menyelamatkan kebangkrutan perusahaan dan ekonomi negara mereka. Itu karena pemerintah mereka sering berempati atas nasib buruh.

Implikasi Terhadap bBuruh

Sudah dapat dipastikan, kenaikan harga BBM akan merugikan buruh dan tentu saja berdampak pada kenaikan harga kebutuhan pokok lainnya. Dari hitungan serikat buruh, harga kebutuhan pokok diperkirakan naik 10-15 persen. Dengan rencana kenaikan tarif dasar listrik 10 persen yang akan diberlakukan beberapa pekan ke depan, ditambah kemungkinan tingkat inflasi nasional tahun ini 6,5 persen, implikasinya akan menguras pendapatan buruh pada kisaran 18-20 persen.

Sementara itu, jika dibandingakan dengan kenaikan upah minimum buruh tahun 2012, kenaikan rata-rata secara nasional hanya 10,27 persen. Artinya, kehidupan buruh akan memburuk akibat menurunnya daya beli sebesar 10 persen.

Namun, karena terbiasa hidup pas-pasan, penurunan daya beli buruh tidak akan membuat buruh mengamuk, yang menjurus lahirnya revolusi buruh. Teori revolusi buruh dalam konteks Indonesia tidak akan terjadi akibat banyaknya serikat buruh dan minimnya buruh yang tergabung dalam wadah serikat buruh. Jika merujuk beberapa revolusi buruh di negara lain, revolusi membutuhkan sebuah serikat buruh yang bersatu dan progresif.

Kendala lain, karena dari 33 juta buruh formal, lima juta di antaranya adalah pegawai pemerintah, enam juta lainnya adalah buruh kelas menengah yang biasanya memiliki ambivalensi terhadap perubahan drastis. Mereka juga biasanya malas turun ke jalan. Jumlah buruh Indonesia yang tergabung ke serikat buruh hanya sekitar delapan juta orang dan sebagian sangat pragmatis. Jadi, dari kelompok buruh sendiri ancaman tersebut tidak terlalu besar.

Namun, hasilnya akan berbeda jika buruh bersatu dengan mahasiswa. Pemerintah pasti kewalahan sebab kedua kelompok inilah yang biasanya memiliki kemampuan menggalang dukungan massa secara cepat, banyak, dan bertahan lama.

Atas dasar itu, menurut penulis, pemerintah hanya perlu menjaga agar tak mengulangi pengalaman Nigeria yang membuat kebijakan salah dengan mengurangi subsidi BBM tanpa skenario mengurangi beban rakyat kecil. Kenaikan harga minyak di negara kaya minyak itu mendatangkan gelombang protes. Pemerintah memang bertahan, mungkin karena baru saja memenangi pemilu, tetapi kerusakan telanjur terjadi: dukungan politik rakyat terhadap partai penguasa turun tajam.

Risiko lain adalah pemerintah tidak menaikkan BBM, tetapi jika harga minyak dunia tetap tinggi, APBN akan jebol. Dana cadangan pemerintah pun tersedot habis, nilai rupiah turun, inflasi meroket, selanjutnya pemerintah akan tumbang juga seperti pengalaman Orde Baru. Kalau toh berpotensi tumbang karena krisis ekonomi, pemerintah lebih baik menaikkan BBM sekarang karena masih bisa selamat asal dengan formula yang tepat.

Namun, yang perlu dipikirkan sekarang adalah bagaimana agar jumlah korban diminimalkan. Sejak dahulu pemerintah sudah mengatakan, subsidi BBM salah sasaran, tetapi skenario untuk menempatkan subsidi tepat sasaran tidak pernah ditindaklanjuti. Sejak 2008, pemerintah sudah menyiapkan sejumlah strategi untuk memangkas anggaran subsidi, mulai dari pembatasan konsumsi BBM subsidi hingga pemakaian kartu pengendali, termasuk juga opsi menaikkan harga. Namun, tak satu pun rencana itu terwujud.

Naikkan Secara Bertahap

Dari kacamata buruh, penulis lebih cenderung mendukung skenario pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi secara bertahap. Langkah awal adalah menaikkan harga Premium untuk mobil pribadi dan industri besar setiap tahun hingga menjadi harga pasar pada 2014. Misalnya, per 1 April 2012 naik jadi Rp 6.000 per liter, kemudian Rp 7.000 per liter (2013), dan Rp 8.000 per liter pada 2014.

Opsi ini juga bisa dilakukan untuk menaikkan tarif dasar listrik yang direncanakan 10 persen. Kalau tarif listrik bisa naik 1 persen per bulan, maka dalam 10 bulan menjadi 10 persen. Supaya risiko politiknya ringan, kenaikan dimulai di Jawa (2012) dan daerah lain dimulai pertengahan 2012 atau awal 2013.

Dengan skenario ini, ada beberapa keuntungan yang diperoleh. Pertama, gejolak politik akan lebih ringan karena reaksi penolakan tidak datang dari semua daerah. Kedua, beban ekonomi rakyat tak terlalu berat karena kenaikan harga BBM hanya untuk mobil pribadi dan industri besar. Subsidi untuk kendaraan umum, usaha rakyat kecil, dan nelayan tetap tersedia. Ini menjaga agar tidak ada PHK.

Terkait kendala pengawasan, pemerintah harus mencari format yang efektif. Jangan berkilah lagi bahwa pengawasan rumit sehingga mengambil jalan pintas sederhana, yakni menaikkan harga BBM sekaligus dalam waktu yang sama di seluruh Indonesia dengan pertimbangan agar beban politik hanya berlangsung sekali. Termasuk dalam hal ini pemberantasan penyeludupan minyak ke negara tetangga yang sejak dulu selalu diutarakan seolah-olah tidak bisa diatasi pemerintah.

Terakhir, pemerintah segera membuka pos pengaduan terhadap industri yang kesulitan menyesuaikan diri atas kenaikan harga BBM. Pemerintah harus memberikan beberapa kemudahan (insentif) ekonomi terhadap industri tersebut dengan imbalan tidak melakukan PHK. Agar berhasil, pendekatan terhadap kebijakan ini harus komprehensif, ada kebijakan yang saling mendukung (policy coherence), tidak hanya urusan satu-dua departemen. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar