Rabu, 28 Maret 2012

BBM dan Penyelamatan Pendidikan


BBM dan Penyelamatan Pendidikan
Sukemi, Staf Khusus Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
SUMBER : JAWA POS, 28 Maret 2012



BULAN April yang tinggal empat hari lagi akan ditandai dengan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kenaikan ini adalah akibat rencana pengurangan subsidi yang sulit terhindarkan.

Data menunjukkan, 70 persen penerima dan penikmat subsidi BBM adalah golongan menengah-atas. Karena itu, subsidi akan digeser dari kelompok menengah-atas ke masyarakat yang berada dalam kelompok miskin dan hampir miskin, dalam bentuk bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM) sebagai kompensasi kenaikan harga BBM.

Kenaikan BBM ini bukan hanya di Indonesia. Tiongkok yang sejak tahun lalu pertumbuhan ekonominya turun menyikapinya, antara lain, dengan mengoreksi harga BBM. Demikian juga Amerika Serikat. Di AS, kenaikan harga BBM mengakibatkan turunnya dukungan terhadap Barrack Obama, dari 50 persen bulan lalu menjadi 41 persen. Sedangkan yang tidak mendukung justru naik menjadi 47 persen.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tentu menyadari risiko seperti yang dialami Obama itu. Pertanyaannya, hal yang begitu jelas risiko dan efek ikutannya, kenapa pemerintah tetap akan menjalankan? Jawabannya, tentu ada yang lebih fundamental dan penting daripada sekadar mempertaruhakn karir politik dan merosotnya popularitas. Yaitu, kepentingan terhadap masa depan bangsa, kepentingan terhadap kinerja bangsa, yang memang -jika tidak dilakukan dengan cara mengurangi subsidi- bukan saja kepercayaan bangsa ini di mata internasional akan terkikis, tapi juga ketimpangan dan ketidakadilan bagi penerima subsidi akan terjadi, mengingat 70 persen penerima subsidi BBM adalah kelompok masyarakat menengah-atas.

Pendidikan Pro-Poor

Melindungi masyarakat tentu menjadi kewajiban pemerintah. Bukankah pemerintah pun sejak awal menyuarakan program pro-poor, pro-growth, dan pro-jobs? Sesungguhnya atas dasar itu pulalah, subsidi BBM direalokasi dan diredistribusi ke golongan menengah-bawah. Bentuknya seperti BLSM, infrastruktur, dan SSM (subsidi siswa miskin).

Subsidi direalokasikan dari sekadar subsidi BBM yang lebih bersifat konsumtif diperluas dalam bentuk BLSM. Bukan hanya dalam bentuk tunai kepada masyarakat tidak mampu dan subsidi angkutan umum, tapi juga ke sektor lain untuk pembangunan infrastruktur yang sifatnya lebih produktif.

Di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), misalnya, subsidi diwujudkan dalam bentuk SSM, yang tidak hanya menaikkan jumlah sasaran, melainkan juga nilai nominal satuannya.

Itu dilakukan karena -harus diakui-selain berdampak kepada naiknya sejumlah harga kebutuhan pokok, kenaikan harga BBM akan berdampak kepada pergeseran jumlah keluarga hampir miskin (near poor) menjadi miskin (poor) dan peningkatan biaya personal siswa.

Apalagi kita sepakat bahwa aktivitas pendidikan tidak boleh terganggu oleh kondisi apa pun, termasuk kenaikan harga BBM. Karena itulah, cakupan SSM diperluas, baik jumlah sasaran maupun nilai nominalnya.

Di jenjang pendidikan dasar (SD), melalui APBNP, diusulkan untuk menambah jumlah sasaran dari 3,5 juta siswa menjadi 9,8 juta siswa. Sedangkan jumlah satuannya pun ditingkatkan dari Rp 360 ribu per siswa per tahun menjadi Rp 450 ribu. Untuk siswa SMP, dari 1,3 juta siswa menjadi 2,7 juta dengan nilai nominal dari Rp 550 ribu menjadi Rp 750 ribu per siswa per tahun.

Sementara di jenjang pendidikan menengah (SMA dan SMK), dari 1,2 juta siswa menjadi 1,5 juta siswa dengan nilai nominal dari Rp 780 ribu per anak per tahun menjadi Rp 1 juta per anak per tahun. Dari perluasan cakupan itu, Kemendikbud telah meningkatkan jumlah penerima bantuan untuk peserta didik dari keluarga tidak mampu dalam bentuk SSM, baik siswa maupun mahasiswa, dari sebelumnya 6 juta orang menjadi 14 juta, dari nilai sebelumnya Rp 3,8 triliun menjadi Rp 7,6 triliun.

Tentu bukan hanya soal SSM. Beberapa kebijakan dalam bentuk regulasi pun disiapkan Kemendikbud, antara lain, Peraturan Menteri No. 60/2011 terkait dengan larangan melakukan pungutan di jenjang pendidikan dasar (SD dan SMP) negeri untuk biaya operasional dan investasi.

Di lingkungan perguruan tinggi negeri, Dirjen Dikti juga sudah mengeluarkan imbauan kepada para pimpinan perguruan tinggi negeri untuk tidak menaikkan SPP pada tahun akademik 2012-2013 mendatang. Perguruan tinggi diminta memahami beban masyarakat akibat kenaikan harga BBM. Semua kebijakan itu diambil dengan harapan, pengaruh kenaikan harga BBM tetap akan terkendali terkait dengan keberlangsungan peserta didik untuk menerima layanan pendidikan. Semoga!  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar