Jumat, 30 Maret 2012

BBM Sayang, Nelayan Malang


BBM Sayang, Nelayan Malang
Laode M Aslan, Guru Besar dan Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Universitas Haluoleo (Unhalu), Kendari
SUMBER : SINDO, 30 Maret 2012



Kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), jika benar akan dilakukan oleh pemerintah maka akan merupakan kebijakan yang berimplikasi buruk bagi nelayan.

Mengapa? Karena nelayan memiliki kebergantungan yang sangat tinggi terhadap BBM. Hasil penelitian saya memperlihatkan bahwa kontribusi komponen biaya BBM terhadap keseluruhan biaya operasi penangkapan ikan per trip berkisar antara 50–70% untuk kelompok nelayan skala kecil dan 35–50% untuk kelompok nelayan skala menengah ke atas (Aslan, 2012). Ini artinya perubahan harga BBM dapat berkontribusi positif pada meningkatnya angka kemiskinan atau kesejahteraan bagi nelayan.

Dalam kaitan itu, pemerintah perlu mencermati dengan seksama dan bijak pada enam aspek terkait dengan keberadaan nelayan. Pertama, nilai tukar nelayan (NTN) per tahun semakin menurun. Badan Pusat Statistik (2011) melaporkan bahwa rata-rata NTN nasional per September 2011 tercatat hanya mencapai 103,80 atau menurun jika dibandingkan tahun 2009 yang nilainya mencapai 105,05.NTN yang semakin rendah per tahun mengindikasikan nelayan kita semakin miskin. Kedua,nelayan kecil di Indonesia yang rata-rata menggunakan kapasitas kapal kurang dari 10 gross ton (GT) adalah kelompok nelayan yang paling terkena imbas akibat kenaikan harga BBM.

Berdasarkan data, rata-rata pendapatan nelayan kecil di Indonesia berkisar antara Rp450.000– 500.000 tiap kepala keluarga per bulan. Ketiga, rantai pemasaran yang terlalu panjang dari SPBU hingga pihak nelayan merupakan problem yang masih mengganggu nelayan khususnya yang bermukim di pulau-pulau kecil.

Nelayan juga dihadapkan pada persoalan harga eceran yang jauh di atas harga standar yang ditetapkan pemerintah. Juga sering terjadi penyimpangan di solar pack dealer nelayan (SPDN) dan stasiun pengisian bahan bakar nelayan (SPBN). BBM yang semestinya untuk nelayan, kerap diselewengkan untuk industri perikanan ataupun kapal-kapal besar. Keempat, subsidi BBM untuk nelayan sebagai modal utama mencari ikan sangat kecil.

Kebutuhan jumlah BBM bersubsidi sektor perikanan setiap tahun sekitar 2,6–3,5 juta kiloliter (kl), meliputi sekitar 2 juta kl untuk nelayan dan sekitar 600.000 kl untuk pembudi daya ikan. Tahun 2009, Pertamina hanya mampu menyalurkan sekitar 1,35 juta kl. Bagaimana nelayan akan melaut kalau BBM saja tidak ada atau minim tersedia? Kelima, jumlah pengangguran akibat kenaikan harga BBM bakal semakin meningkat.

Banyak kapal dan perahu yang tidak mampu beroperasi sehingga terpaksa mem- PHK anak buah kapal (ABK)- nya.Padahal,paraABK tersebut dalam beberapa bulan terakhir sejak dua tahun terakhir, juga terpaksa tidak melaut karena cuaca ekstrem dan gelombang lautyangtinggisertajangkauan wilayah penangkapan ikan akan semakin jauh dari perkampungan nelayan. Keenam, harga jual hasil tangkapan tidak paralel naik seiring dengan kenaikan harga BBM.

Selama ini, harga jual ditentukan oleh pasar.Meskipun tangkapan melimpah,para nelayan sering kali tidak dapat menikmati hasil jual secara optimal. Hal ini dipicu permainan pasar dan rantai pasar yang tidak langsung dijual ke pasar atau pedagang besar alias nelayan hanya mampu menjual ke pedagang lokal,sehingga harganya relatif murah.

Secara sederhana akan timbul beragam pertanyaan,bagaimana pemerintah sangat percaya diri bahwa dengan menaikkan harga BBM nelayan akan sejahtera atau tidak miskin. Apalagi, ada rencana pemberian bantuan langsung tunai (BLT) hanya selama sembilan bulan.Apakah kompensasi BBM berupa BLT selama sembilan bulan sudah menjamin nelayan akan sejahtera atau minimal tidak miskin lagi pasca kenaikan harga BBM?

Solusi

Ada dua opsi yang perlu dilakukan dalam kaitannya dengan rencana kenaikan BBM. Opsi pertama, yang sangat rasional adalah menunda kenaikan BBM sampai 2013 atau 2014.Selain itu, pemerintah sudah saatnya harus mempunyai grand designprogram pengembangan dan pembangunan perikanan nasional berbasis nelayan bukan berbasis kepentingan para pemilik modal semata. Opsi kedua, menaikkan harga BBM.

Dalam opsi kedua ini, ada empat catatan penting agar dampak kenaikan BBM dapat diminimalisasi.Pertama, pemerintah harus memperjelas besaran,kontinuitas,dan model penyaluran dana kompensasi bagi nelayan. Nelayan lebih menginginkan BLT dikonversi menjadi kompensasi berdasarkan produktivitas hasil tangkapan yang dicapai oleh nelayan. Misalnya, kenaikan produksi berat tangkapan nelayan dirasionalkan dengan kenaikan harga BBM sebesar Rp1.500 per liter.

Pengalihan subsidi BBM ke subsidi langsung selayaknya diarahkan ke arah program yang bersifat produktif bukan konsumtif,jangka panjang (bukan hanya selama sembilan bulan), berkelanjutan, dan mampu meningkatkan kapasitas sumber daya nelayan. Caranya bisa melalui pendidikan berbasis perikanan,pengembangan kelembagaan nelayan, pengembangan usaha kecil-menengah, termasuk bantuan beasiswa bagi generasi muda nelayan usia sekolah Kedua,

pengembangan infrastruktur yang dapat menjamin ketersediaan pasokan BBM dalam jumlah dan harga sesuai dengan harga resmi pemerintah serta akses yang mudah dijangkau oleh nelayan. Untuk itulah perlu ada kebijakan khusus dari pemerintah bagi ketersediaan BBM bagi nelayan,khusus di pulau-pulau kecil termasuk yang berbatasan langsung dengan negaranegara tetangga, mengingat potensi stok ikan yang masih tinggi banyak terdapat pada pulau-pulau di perbatasan Filipina,

Australia, dan Papua Nugini serta Malaysia. Ketiga, perlu adanya jaminan subsidi BBM khusus untuk nelayan. Pengelolaan SPDN dalam hal ini juga dapat memberikan alat kontrol terhadap penjaminan tersampaikannya BBM bersubsidi untuk nelayan. Dengan begitu, kekhawatiran penyimpangan terhadap pemberian subsidi BBM dapat dihindarkan langsung oleh pengelolaan mandiri oleh organisasi nelayan yang secara langsung mengetahui nelayannelayan yang mana harus mendapatkan harga subsidi BBM dan masyarakat umum yang bukan nelayan.

Keempat, upaya penggunaan teknologi tangkap ramah lingkungan mendesak untuk dikembangkan. Penggunaan alat tangkap hemat BBM seperti alat tangkap yang menetap (set net) secara massal dan tidak menggunakan BBM, dan pemanfaatan biofuel seperti penggalakan pemanfaatan rumput laut sebagai bahan baku pembuatan etanol, serta mengupayakan mengonversi bahan bakar solar ke BBG sebagai alternatif dari kenaikan harga solar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar