Selasa, 27 Maret 2012

BBM Tanpa 2014


BBM Tanpa 2014
Denny Indrayana, Wakil Menteri Hukum dan HAM,
Guru Besar Hukum Tata Negara UGM
SUMBER : SINDO, 27 Maret 2012



Persoalan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) kembali menjadi isu yang memanas akhir-akhir ini.Termasuk hari ini,Selasa 27 Maret yang diberitakan akan marak dengan berbagai unjuk rasa di banyak wilayah. Sejarah kembali berulang.

Setiap ada rencana kenaikan harga BBM, kita terlibat perdebatan publik yang hangat. Kehangatan itu makin terasa utamanya pascareformasi, di saat sistem pengawasan kepada pemerintah semakin tinggi. Sebelum reformasi 1998, kenaikan harga BBM relatif lebih sepi perdebatan, satu dan lain hal karena eksekutif masih sangat kuat, dan fungsi kontrol masih belum berjalan.

Pascareformasi, DPR lebih berdaya, partai politik lebih bebas menyampaikan pandangannya, media massa lebih bebas memberitakan, masyarakat juga lebih bebas menyampaikan pandangannya. Iklim politik yang lebih menjamin kebebasan berpendapat tersebut tentu membuat ruang publik lebih dinamis,termasuk dalam hal kenaikan harga BBM. Jika di zaman Orde Baru, Presiden relatif lebih bebas menaikkan harga BBM, pascareformasi kewenangan tersebut sudah lebih terbatas.

Kontrol hadir dari lembaga legislatif, bahkan juga yudikatif. Dari parlemen, contoh paling mutakhir adalah dalam Undang-Undang APBN 2011, yang dalam Pasal 7 ayat (6) mengatur,“Harga jual eceran BBM bersubsidi tidak mengalami kenaikan”. Aturan larangan kenaikan harga BBM bersubsidi tersebut adalah batasan baru bagi pemerintah, yang sebelumnya tidak ada dalam UU APBN, apalagi di era sebelum reformasi.

Sedangkan kontrol dari lembaga peradilan, hadir lewat Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55 Tahun 2005, yang pada dasarnya membatalkan ketentuan Pasal 28 ayat 2 dan 3 UU Nomor 22 Tahun 2011 tentang Minyak dan Gas Bumi. Pada dasarnya,MK membatalkan ketentuan yang menyerahkan ketentuan harga BBM pada mekanisme pasar. Dalam pertimbangannya, MK mengatakan,“ Pemerintah dapat mempertimbangkan banyak hal dalam menetapkan kebijakan harga tersebut,termasuk harga yang ditawarkan oleh mekanisme pasar”.

Lebih jauh MK memberikan pertimbangan, harga BBM “ditetapkan oleh pemerintah dengan memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu dan mempertimbang kan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar”. Dengan pembatasan UU oleh DPR, maupun pembatasan dengan putusan MK, sangat jelas bahwa kewenangan eksekutif untuk mengatur harga BBM sudah sedemikian terbatas.

Itulah sebabnya, ketika ada rencana menaikkan harga BBM, pemerintah harus lebih dahulu mengubah UU APBN 2011, dan karenanya membutuhkan persetujuan DPR. Sebagaimana diatur dalam UUD 1945,pembuatan UU memerlukan persetujuan bersama antara pemerintah dan DPR. Artinya, persetujuan DPR juga diperlukan untuk perubahan UU APBN 2011 tersebut.

Itulah jawaban yuridis mengapa pemerintah mempunyai tenggat waktu yang cukup lama, sejak rencana kenaikan diumumkan, hingga kenaikan benar-benar dilakukan. Beberapa masukan yang saya terima,melalui SMS ataupun obrolan santai, menyarankan agar pemerintah segera saja menaikkan harga BBM. Ketika saya menjelaskan pemerintah tidak bisa otomatis melakukan penaikan harga BBM bersubsidi, rata-rata merasa heran.

Saya katakan UU APBN 2011 melarang harga BBM dinaikkan. Mereka tidak tahu, dan semakin heran. Maka saya melanjutkan menjelaskan, “Karena harus melakukan perubahan UU APBN 2011 itulah, ada tenggat waktu antara pengumuman rencana kenaikan dengan realisasi kenaikan tersebut. Sesuatu yang tidak pernah terjadi di masa sebelumnya.”  Pertimbangan sekarang, pemerintah berusaha melaksanakan batasan dalam putusan MK.

Kondisi aktual, sekarang harga minyak dunia sudah menyentuh sekitar USD120, jauh di atas asumsi harga minyak USD90 berdasarkan UU APBN 2011. Namun, sesuai putusan MK, pemerintah tidak hanya mendasarkan kenaikan harga minyak dunia itu semata, namun justru melihat kepentingan masyarakat yang lebih luas. Banyak kajian, penelitian, survei yang menyimpulkan subsidi BBM salah sasaran dan justru dinikmati oleh kalangan kaya raya.

Naiknya harga BBM, bukan hanya meningkatkan subsidi BBM yang salah sasaran dan dinikmati kelompok kaya, tetapi sekaligus juga mengurangi uang APBN yang sebenarnya dialokasikan untuk masyarakat, untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Demikian pula kebijakan bantuan langsung tunai, yang dikaji ulang menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat, adalah cara pemerintah untuk melaksanakan keputusan MK yang memutuskan bahwa, kenaikan harga BBM harus memperhatikan kepentingan golongan masyarakat tertentu.

Menyadari kenaikan harga BBM bersubsidi akan berdampak langsung kepada masyarakat tertentu, maka untuk melaksanakan amanat putusan MK di atas, pemerintah kembali mengambil kebijakan bantuan langsung tunai—tentu dengan perbaikan agar distribusinya lebih tepat sasaran. Namun, di era demokrasi yang riuh rendah seperti saat ini, persoalan kenaikan harga BBM pasti memunculkan dinamika politik.

Jika saja Presiden hanya memikirkan “pencitraan politik” semata, sebagaimana sering dikritikkan kepada Presiden SBY, logikanya beliau tidak akan menaikkan harga BBM. Fakta bahwa Presiden tetap akan menaikkan harga subsidi BBM justru membuktikan sebaliknya, bahwa Presiden justru tidak mempertimbangkan faktor pencitraan tersebut. Saya dalam beberapa waktu terakhir sering mendengar argumen dari beberapa kalangan, sebenarnya logika kenaikan harga BBM sudah sangat kuat dan tidak terbantahkan.

Namun karena kepentingan politik, hal yang sudah sangat jelas tersebut menjadi kabur. Bahkan, ada pimpinan politik yang Januari—dua bulan yang lalu—menyerukan BBM dinaikkan pemerintah, seruannya justru berubah 180 derajat, begitu pemerintah mengikuti sarannya tersebut. Pertanyaannya, siapa sebenarnya yang sedang melakukan politik pencitraan? Menjadi presiden di era reformasi memang punya tantangan yang berbeda. Presiden di era demokratis akan mempunyai kewenangan yang tidak lagi terpusat,kewenangan yang lebih terbatas,dan kontrol yang hadir dari segala penjuru.

Hal tersebut terasa di banyak kasus, termasuk dalam soal menaikkan harga BBM. Kebijakan menaikkan harga BBM bersubsidi di era demokratis justru menunjukkan seorang Presiden harus merelakan persoalan citranya. Karena menaikkan harga BBM sangat mudah diserang sebagai kebijakan yang tidak populis, dan sebaliknya, menolak kenaikan harga BBM adalah peluang pencitraan politik yang sangat menggiurkan, utamanya menjelang Pemilu 2014.

Jadi sangat jelas, menaikkan harga BBM di era demokratis justru adalah suatu perjuangan yang tidak mudah bagi seorang presiden, termasuk dengan harus mengubah UU APBN, dan karenanya wajib mendapatkan persetujuan DPR. Logika sederhananya, jika yang dipikirkan adalah diri sendiri, dengan teriakan terang para demonstran “BBM Naik, SBY Turun”, maka pilihan aman bagi presiden sebenarnya adalah tidak menentang aspirasi deras tersebut.Tetapi presiden agaknya memilih menolak BBM sebagai pencitraan. Presiden menolak BBM untuk 2014. Keep on fighting for the better Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar