Kamis, 29 Maret 2012

“Bebek Lumpuh” dan Pemberantasan Korupsi

“Bebek Lumpuh” dan Pemberantasan Korupsi
Victor Silaen, DOSEN FISIP UNIVERSITAS PELITA HARAPAN (UPH)     
SUMBER : SINAR HARAPAN, 28 Maret 2012



Presiden hasil pilihan langsung rakyat Indonesia untuk periode 2004-2009 dan 2009-2014, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sudah lebih dari tujuh tahun memimpin negeri ini.

Dulu, di masa kampanyenya sebagai capres periode pertama, SBY berjanji untuk bekerja siang-malam demi mengatasi multikrisis yang masih melanda Indonesia. Dia juga akan memimpin langsung di garda depan dalam upayanya memerangi korupsi yang sudah bagaikan penyakit akut yang menggerogoti negara ini.
Harus diakui, SBY pandai melontarkan wacana indah nan memesona publik. Awal April 2005, di sela pertemuan para pemimpin dunia usaha Australia dan Asia di Sydney, dia menyatakan perang melawan korupsi dan berjanji meningkatkan reformasi ekonomi Indonesia.

Hal tersebut dianggap penting guna mendorong masuknya investasi asing ke Indonesia (Sinar Harapan, 5/4/2005). Tak lama kemudian, di Jakarta, ia berjanji lagi akan menangkap para koruptor kelas kakap yang buron ke luar negeri (Sinar Harapan, 16/4/2005).

Kemudian di awal periode kedua kepemimpinannya, SBY berjanji untuk memimpin jihad melawan korupsi dan tak akan segan-segan “menghunus pedang” untuk tujuan itu. Hal itu ia tegaskan dalam pidato kenegaraannya di Istana Merdeka, Jakarta, dalam peringatan Hari Antikorupsi Dunia pada 9 Desember 2009.

Hasilnya? SBY kian sering dicibir banyak pihak dan kalangan karena kinerjanya yang buruk dalam memberantas korupsi. Bahkan seorang anggota DPR, Bambang Soesatyo menyebut SBY cuma ”perang-perangan” terhadap korupsi. Menurut dia, efektivitas pemberantasan korupsi selama dua tahun pemerintahan SBY stagnan.

Terbukti banyak kasus besar, seperti skandal Century, yang tidak tertangani secara jelas, disusul dengan kasus pembangunan wisma atlet di Palembang dan proyek Hambalang yang keduanya melibatkan beberapa kader partainya, Demokrat (PD).

PD Membebani

Jelaslah, PD merupakan salah satu faktor penyebab citra SBY kian melorot. Sejumlah kader partai yang didirikan SBY ini diduga kuat terlibat korupsi. Sebutlah Moh Nazaruddin (terdakwa) dan Angelina Sondakh (tersangka). Namun penyikapan terhadap keduanya berbeda.

Jika Nazaruddin langsung dipecat, baik dari DPR maupun PD, Angelina ”hanya” dinonaktifkan dari partai namun masih berstatus anggota DPR. Angelina terkesan begitu “disayang” oleh PD, dia cuma dipindahkan dari Komisi X ke Komisi III (meski kemudian dipindahkan lagi ke Komisi VIII).

Melorotnya citra SBY terkait PD juga karena iklan “Katakan Tidak pada Korupsi” yang dibintangi Angelina Sondakh, sang tersangka koruptor dan Anas Urbaningrum, Ketua Umum PD ini tengah disorot publik lantaran diduga kuat juga terlibat korupsi dalam sejumlah kasus.

Belum lagi sosok Andi Malarangeng, kader PD yang kini menjadi Menpora, dalam dugaan terjadinya kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) tersebut.

SBY bukannya tidak berbuat sama sekali, cuma sebagai pemimpin dia tidak tegas dan berani, termasuk terhadap para pembantunya di eksekutif. Wakil Presiden Boediono, misalnya, mengatakan bahwa Inpres No 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (RA-PPK) tidak ada gaungnya sama sekali.

Artinya, kementerian terkait dan penegak hukum dalam lingkup eksekutif seperti Polri atau Kejaksaan Agung tidak mematuhi instruksi presiden.

Di kabinet, mengapa SBY masih mempertahankan Menakertrans Muhaimin Iskandar pascaperombakan kabinet tahun lalu? Bukankah sebelum perombakan Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa itu juga disorot pers karena diduga terlibat korupsi? Adakah “sesuatu” yang membuat SBY “takut” kepada Muhaimin?

Akhir Februari lalu, terbetik berita bahwa Presiden SBY menjadi sorotan civitas akademi di berbagai lembaga di Amerika Serikat dan dunia internasional karena korupsi yang merajalela dan merusak kredibilitas pemerintah maupun partai politiknya (PD).

Bahkan majalah internasional The Economist, dalam tajuknya memperkirakan Presiden SBY tidak termasuk dalam kelompok orang Indonesia yang sukses mengelola negara dan partainya. Majalah itu terang menyebut SBY kini sudah tampak seperti lame duck alias bebek lumpuh.

Majalah itu juga menyoroti kinerja buruk PD yang dibangun oleh SBY. Pada Pemilu 2009, partai ini mendulang suara sebesar 21 persen, suatu lompatan luar biasa dari perolehan suara dalam pemilu sebelumnya yang hanya 7 persen. Dalam jajak pendapat terakhir, partai itu hanya memiliki popularitas sebesar 13,7 persen.

Negara Terkorup

Sebagai pembanding, survei terbaru World Justice Project yang dirilis 13 Juni 2011 menyebutkan bahwa praktik korupsi di Indonesia menempati posisi ke-47 dari 66 negara yang disurvei di seluruh dunia. Sementara itu, di kawasan Asia Timur dan Pasifik, peringkat ketiadaan korupsi di Indonesia masuk di urutan kedua dari paling buncit sebelum Kamboja.

Menurut hasil survei Persepsi Korupsi 2011 terhadap pelaku bisnis yang dilakukan oleh Political and Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis di Hong Kong, Indonesia merupakan negara paling korup dari 16 negara di kawasan Asia Pasifik.

Wajar kalau publik kian kehilangan respek terhadap SBY karena dia tidak becus mengelola negara ini ke arah yang baik. Maka muncul istilah ”autopilot” sejak awal tahun ini, mengibaratkan negara seolah berjalan sendiri tanpa pemimpin. SBY dianggap kehilangan otoritas, pemimpin yang berusaha menyelesaikan pelbagai masalah hanya dari mimbar atau membentuk satgas-satgas.

Jelaslah tak mungkin berharap kepada the lame duck itu. Kita sendiri harus aktif bergiat dalam gerakan nasional memerangi korupsi. Persepsi harus kita samakan bahwa korupsi adalah sebentuk kejahatan luar biasa dan koruptor ibarat tikus got yang tak ada gunanya.

Sebagai kejahatan, maka hasil dari kejahatan itu pun harus ditolak—sekalipun ada orang-orang di lingkaran koruptor yang menikmati ”manfaat” hasil korupsi itu. Di sisi lain, koruptornya harus dibasmi, tak hirau siapa dia dan ”kebaikan” apa saja yang sudah diperbuatnya. Jadi, janganlah mengiba kepada koruptor.

Kita juga harus terus-menerus mendorong negara untuk melengkapi perangkat hukum terkait korupsi, baik UU tentang pembuktian terbalik, tentang pemiskinan koruptor.
Termasuk peraturan teknis tentang atribut-atribut yang harus dipakai untuk mempermalukan koruptor, dan jenis-jenis kerja sosial yang harus mereka lakukan di ruang-ruang publik, bahkan membuat ”kebun koruptor” seperti yang pernah digagas Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD beberapa waktu lalu.

Upaya lainnya tentu banyak. Salah satunya dengan melaksanakan pendidikan antikorupsi, khususnya di perguruan tinggi. Meski bidang ini lazimnya memerlukan waktu lama untuk menghasilkan perubahan-perubahan positif, namun kita boleh optimistis bahwa para mahasiswa dapat menjadi motor penggerak gerakan antikorupsi.

Hanya saja, demi efek yang serentak dan meluas, mata kuliah ini layak dipertimbangkan untuk dijadikan mata kuliah wajib di setiap perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar