Kamis, 29 Maret 2012

Berpolitik secara Bermartabat


Berpolitik secara Bermartabat
Thomas Koten, Direktur Social Development Center
SUMBER : SUARA KARYA, 29 Maret 2012



Penggarongan uang negara oleh para politisi nasional sungguh memperburuk citra politik dan politisi negeri ini. Lebih memiriskan lagi, di antara anggota dewan di Senayan juga ikut dalam sindikat korupsi. Sehingga, pantas jika para seniman beberapa waktu lalu menggelar aksi di depan Gedung DPR dengan menampilkan gambar WC umum. Sebuah gambaran yang tentu sangat memalukan mengingat Gedung DPR merupakan tempat sidang para dewan dan/atau tempat kerjanya para wakil rakyat yang terhormat.

Dhus, kehidupan politik nasional pun semakin jauh dari upaya penciptaan kesejahteraan rakyat dan sarana pencerdasan politik rakyat. Dengan kata lain, keuntungan diri para politisi menjadi prioritas paling utama, sehingga perbaikan nasib rakyat semakin jauh panggang dari api. Keagungan negara dan keterhormatan bangsa pun kian terkubur.

Jika dalam menjalankan tugas-tugas politik atau tugas-tugas kenegaraan, para politisi hanya memikirkan keuntungan diri sendiri dan kelompok, maka politisi kita sesungguhnya telah kehilangan martabat. Politisi yang telah kehilangan martabat, tidak lebih seperti yang dikatakan Dennis Thompson, sebagai politisi yang tidak memiliki tanggung jawab moral politik. Karena bagi Thompson, tanggung jawab moral politik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari diri para politisi. Karena, di dalam setiap kekuasaan atau jabatan politik terkandung secara inheren tanggung jawab moral untuk berbuat sesuai tuntutan jabatan dan untuk kepentingan umum. Dan, betapa mengerikan jika politisi kita sungguh telah kehilangan martabat dan membuat mereka terpuruk wibawanya. Karena, tugas para politisi adalah memberikan pencerahan politik rakyat dan menjaga keagungan negara dan kehormatan bangsa serta menciptakan keluhuran budi masyarakat lewat aktivitas-aktivitas politiknya. Tetapi, tragis di mana dalam realitasnya politik Indonesia belakangan ini sungguh dijalankan oleh para politisi yang telah kehilangan martabat itu. Karena, yang diperjuangkan mereka hanyalah materi dan kenikmatan-kenikmatan badani dan segala sesuatu yang menguntungkan diri dan kelompok.

Politik yang dirasuki semangat egoisme pribadi dan kelompok itulah, yang kemudian berujung pada kian lebarnya jarak antara komitmen politik para politisi dan pilihan tindakan kekuasaan (negara) dalam pengurusan kehidupan publik atau warga negara. Rakyat kian berada dalam situasi terbatas atau tidak berdaya dan menakutkan dengan ketidakpastian perlindungan sosial, politik, ekonomi dan hukum.

Padahal, keberpihakan politik terhadap rakyat yang dijerat kesulitan ekonomi adalah tugas suci dewan dan citra politik agung yang mesti dijalankan oleh para politisi bermartabat dan bernurani. Mengacu pada filsuf Yunani Aristoteles, politisi yang memiliki martabat berjuang mengubah rakyat dari sekadar 'hidup belaka' (bare life) menjadi 'hidup yang baik' (good life). Keagungan politik terpancar dari keberanian, usaha yang keras, komitmen yang tinggi, serta konsistensi dari para politisi bermartabat dalam memperjuangkan nasib rakyat dari hidup tidak layak menjadi hidup layak, bukannya semakin memperparah penderitaan rakyat lewat korupsi alias terus menggarong uang rakyat.

Oleh karena kebobrokan terus terjadi di ruang-ruang politik dan terus dipertontonkan oleh para politisi dalam aktivitas-aktivitas politiknya, maka di ranah masyarakat senantiasa dikatakan bahwa politik itu kotor, dekil dan menjijikkan. Akhirnya, politik yang dikatakan indah dan terhormat sebagaimana adagium Aristoteles dan Plato pun dinilai hanyalah terpahat di dinding kosong.

Dan, tidak heran pula, dalam ranah kehidupan berbangsa dari sisi penghormatan antarwarga negara, para politisilah yang selalu mendapat label di keningnya sebagai sosok yang licik, menyebalkan dan memuakkan. Pertanyaan penting, sampai kapan kebobrokan-kebobrokan ini berakhir dan para politisi yang tidak memiliki martabat berhenti beraksi, dan politisi korup digiring ke meja pengadilan?

Untuk mewujudkan cinta Tanah Air, maka citra politik mesti segera dicerahkan dan keagungan politik secepat mungkin dibangun. Terbangunnya keagungan politik, akan membuka peluang bagi pencerahan kehidupan masyarakat umumnya dan citra politik terangkat ke tingkat yang terhormat.

Namun, semua ini dapat terjadi jika para politisi lebih dulu terbangun kesadaran moral dan tercerah nuraninya. Kesadaran moral dalam bahasa sehari-hari disebut suara hati. Ciri khas suara hati, di antaranya, ia tidak dapat ditawar-tawar atau tergoda oleh bujuk rayu pertimbangan untung rugi secara ekonomi.

Bagi politisi yang bersuara hati, ia akan malu jika melakukan perbuatan yang tidak bermoral. Dan, seorang politisi yang selalu berbuat tidak bermoral, ia dapat dikatakan tidak memiliki suara hati. Tindakan moral hanya dapat terbentuk oleh kebiasaan, etos dan segala tindakan baik dalam berpolitik. Dalam hal ini, para politisi, dan para pengelola negara diharuskan memiliki nurani atau suara hati yang baik sebagai keutamaan moral untuk bisa membangun politik secara bermartabat agar dapat membawa negara ini ke tingkat kemajuan peradabannya yang lebih baik. Tanpa itu, mereka tidak layak menjadi panutan politik dan seorang yang bukan panutan politik tidak pantas disebut politisi.

Untuk itu, jangan heran jika kehidupan bangsa dan negara saat ini semakin terpuruk. Ini tidak lain karena negara saat ini hanya memiliki orang-orang yang tidak pantas menjadi politisi atau hanya memiliki sedikit orang yang layak disebut politisi. Suatu keadaan negara yang memang sangat memprihatinkan. Kita hanya berharap dari zaman kegelapan bangsa yang tidak memiliki politisi-politisi bermartabat itu, segera lahir zaman baru penuh pencerahan dengan munculnya politisi-politisi yang bernurani dan bermartabat. Dari situ, kehidupan rakyat dapat diperbaiki, dan kehormatan bangsa dapat terpatri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar