Jumat, 30 Maret 2012

The Death of Economics


The Death of Economics
Mukhaer Pakkanna, Rektor STIE Ahmad Dahlan Jakarta; Peneliti CIDES
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 30 Maret 2012



SUDAH menjadi kegaliban, jelang penaikan harga bahan bakar minyak (BBM), kontroversi kerap menyeruak. Hangatnya kontroversi itu dilatari karena BBM merupakan komoditas publik sehingga semua orang merasa terlibat. Nyaris, semua gerak-gerik kegiatan ekonomi, sekecil apa pun aktivitasnya, langsung atau tidak, berkaitan dengan BBM. Kegiatan produksi, distribusi, dan konsumsi berkaitan dengan BBM. Maka itu, tatkala harga BBM digenjot naik, publik terutama masyarakat ekonomi subsisten dan rentan miskin protes dengan nyaring.

Memang selama ini kalkulasi penaikan harga BBM bukan tanpa argumentasi. Dengan pendekatan ekonometrik, sebagai instrumen lazim dalam ortodoksi ilmu ekonomi mainstream, itu telah melahirkan simulasi. Setidaknya, pertama, pemerintah tidak memiliki pilihan simulatif, kecuali menaikkan harga BBM akibat melambungnya harga minyak mentah dunia.

Kedua, simulasi bahwa inflasi akibat kenaikan harga BBM tidak akan menimbulkan gejolak asalkan kurs rupiah tetap pada kisaran Rp8.500Rp9.000 per dolar AS. Selain itu, tingkat konsumsi masyarakat tetap tinggi. Dalam waktu pendek, inflasi hanya naik pada kisaran 6,8%-7,1%, sesuai dengan penaikan harga BBM. Jika harga BBM bersubsidi naik Rp1.500, inflasi sebesar 6,8%.

Ketiga, simulasi kenaikan harga BBM senilai Rp1.500 per liter dari harga sekarang akan menghemat anggaran subsidi Rp26 triliun dengan inflasi tinggi. Guna menekan inflasi, pelarangan penggunaan konsumsi BBM bersubsidi, khususnya mobil pribadi, dinilai lebih kecil risiko inflasinya jika dibandingkan dengan kenaikan harga BBM untuk semua kendaraan.

Ortodoksi Ekonomi

Argumentasi simulatif dari kalkulasi ekonometrik atas penaikan harga BBM tersebut menandakan watak dasar ortodoksi ilmu ekonomi mainstream, yakni simplifikasi setiap masalah. Paradigma cateris paribus, yang melihat variabel lain diasumsikan given, menjadikan ilmu ekonomi kerap gagap dan buta dalam menyelesaikan setiap persoalan. Kasus kenaikan harga BBM semata menggunakan paradigma cateris paribus sehingga implikasi second round effect-nya menjadi kurang diperhitungkan. Sudut pandang, one shock, kenaikan inflasinya menjadi dasar bahwa setelah dua-tiga bulan berikutnya inflasi kembali tertekan.

Simplifikasi itu buta dalam melihat variabel psikologis, ideologis, sosiologis, dan antropologi ekonomi. Konsekuensinya, ilmu ekonomi gagal menyelesaikan persoalan riil. Daya beli masyarakat subsisten semakin tergerus, ujungnya tingkat kemiskinan kian bergelimpangan. Watak ilmu ekonomi tampaknya tidak bertanggung jawab dan `cuci tangan' ketika melihat problem kesengsaraan itu.

Bayangkan, sebulan menjelang penaikan harga BBM, harga kebutuhan pokok telah merangkak naik hingga 25%50%. Pada saat harga BBM diumumkan pada 1 April 2012, otomatis harga secara resmi kembali terdongkrak. Maka, variabel psikologis ekonomi rakyat lupa dilirik para ekonom ortodoks.

Demikian juga variabel ideologis, yang hanya melihat sudut pragmatisme ekonomi demi mengamankan APBN. BBM yang dieksplorasi dan diproduksi dari rahim bumi Indonesia dikuasai 92% oleh asing. Itu pun hanya enam korporasi global. Tentu, merekalah yang menentukan hitam-putihnya kegiatan hulu produksi minyak dalam negeri. Di tingkat hilir pun SPBU asing kian bergentayangan, siap memangsa surplus penaikan harga BBM.
Begitu pula penentuan harga BBM pun ditentukan pasar The New York Exchange Mercantile (Nymex) sehingga kedaulatan bangsa dalam menentukan harga menjadi mandul. Tatkala harga internasional naik di Nymex, masyarakat kembali ribut menyoal. Ihwal itu ter kait dengan kesalahan fatal pada hadirnya Perpres No 55 Tahun 2005 juncto Perpres No 9/2006. Perpres itu telah cacat karena jika memaksa rakyat beralih dari BBM bersubsidi ke pertamax dan melepas fluktuasi harga sesuai dengan harga pasar, pemerintah telah melanggar keputusan MK. MK telah membatalkan Pasal 28 ayat 2 UU Migas soal pelepasan harga minyak dan gas bumi yang mengi kuti mekanisme harga pasar.

Akhirnya , amanat Pasal 33 UUD 1945 menyatakan, `Cabang produksi penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang ba nyak dikuasai oleh negara, untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat'. Ayat `Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besar kemakmuran rakyat' telah dilanggar. BBM seharusnya dapat dinikmati rakyat dengan harga terjangkau dan merata, bukan dengan harga tinggi. Pertimbangan ideologis dan konstitusional dikubur oleh pengambil kebijakan.

Demikian juga dalam konteks variabel sosiologis dan antropologi ekonomi, kenaikan harga BBM dengan simulasi ortodoksi ekonometrik tidak mempertimbangkan efek sosial-budaya dalam denyut kehidupan masyarakat. Di tengah naiknya jumlah kelas menengah-bawah, yang ditandai meningkatnya konsumsi domestik dengan naiknya harga BBM, mereka tentu kembali masuk kantong kemiskinan. Bisa jadi tingkat kriminalitas dan patologi sosial meningkat, setali tiga uang dengan minimnya fasilitas sarana dan prasarana pelayanan masyarakat, termasuk sarana transportasi dan infrastruktur publik yang rusak parah.

Kegagalan

Butanya ilmu ekonomi dalam melihat realitas menjadikan ilmu ekonomi dan para ekonom dianggap bertanggung jawab terhadap kegagalan pembangunan ekonomi di Tanah Air. Maka, pendekatan ortodoksi ekonometrik yang rigid mulai dikritisi. Ortodoksi ilmu ekonomi itu bahkan telah berdampak pada matinya ilmu ekonomi (the death of economics).

Kata Paul Omerod dalam masterpiece-nya The Death of Economics (1994) menandaskan ilmu ekonomi terjebak pada ideologi pasar yang mekanistis sehingga gagal menyelesaikan persoalan dasar kesejahteraan rakyat.
The death of economics ini menceritakan kegagalan para ekonom menyusun sebuah kerangka teoretis yang cenderung melihat persoalan dengan `kacamata kuda' dan variabel linear. Para ekonom ortodoks dianggap `puber' menyusun ramalan kebijakan kendati nyaris selalu terbukti ramalannya meleset, tapi tetap saja virus ilmu ekonomi 
ortodoks ditularkan kepada mahasiswa ekonomi tanpa reserve.

Untuk menyelamatkan ilmu ekonomi, tidak ada pilihan lain, ia harus kembali ke habitatnya, rumpun ilmu sosial. Tercerabutnya ilmu ekonomi dari habitatnya jelas membawa malapetaka. Tidak mengherankan jika Muhammad Yunus--pemenang hadiah Nobel Perdamaian 2006-sadar untuk segera melepas mantel gelar PhD-nya. 
Kata Yunus, “Saya ingin melepaskan diri dari kesombongan yang menyertai seorang PhD: kecenderungan melihat situasi dengan sudut pandang mata burung. Saya mencoba mendapatkan sudut pandang cacing, berfokus pada satu persoalan kecil dan mencoba berada di atasnya-sebuah strategi yang lebih efektif karena beranjak dari kenyataan lapangan.“

Tidak ada komentar:

Posting Komentar