Jumat, 30 Maret 2012

Harga BBM Tak Perlu Dinaikkan?


Harga BBM Tak Perlu Dinaikkan?
Effnu Subiyanto, Aktivis dan Peneliti, Mahasiswa Doktor Ilmu Ekonomi FEB Unair
SUMBER : SUARA KARYA, 30 Maret 2012



Kalkulasi ekonom Kwik Kian Gie (KKG) ditentang dan dicerca banyak pihak. Di media elektronik seperti blog pribadi tidak kurang yang meragukan kapasitas keilmuan KKG, sumpah serapah pun dilontarkan. Yang lain berkomentar, KKG sangat menyedihkan, saat menjadi komisaris Pertamina diam, namun kini berkoar.

Politisi PDI-P Rieke Diah Pitaloka (RDP) juga kebagian getah dari polemik perhitungan subsidi dalam APBN. Pesan dalam BBM dan tulisan blog pribadi RDP yang sebetulnya mem-forward perhitungan KKG tidak kalah dikritisi para pro-kenaikan BBM. Berita terakhir, rumah kediaman RDP dilempari dengan bangkai anjing (25/3/12) sebagai ungkapan kekesalan kekritisan RDP. Pesan yang kira-kira hendak disampaikan, RDP tidak perlu ikut-ikut menjadi ekonom, jadilah artis saja.

Tidak semua data kalkulasi KKG salah, Wamen ESDM Widjajono Partowidagdo memberikan komentar bahwa ada perhitungan yang belum dimasukkan oleh KKG. Perhitungan itu adalah biaya (DMO fee) 27,4 persen dan bagian kontraktor KKKS (net contractor share) sebesar 15,1 persen. Jadi, uang Rp 98 triliun yang dipersoalkan KKG itu adalah 42,5 persen dari total pembelian Pertamina Rp 224,6 triliun dan kembali ke kontraktor KKKS. Menurut Wamen ESDM, total pendapatan negara dari penjualan minyak pada tahun 2011 adalah 58,3 miliar dolar AS, bagian pemerintah hanya 57,5 persen atau 33,5 miliar dolar AS. Besaran pembagian porsi pemerintah dan kontraktor KKKS dalam kontrak production sharing contract (PSC) sebetulnya 85 : 15 dari hasil bersih (netto) setelah dikurangi dengan cost recovery. Porsi pendapatan pemerintah tahun lalu sebesar 57,5 persen atau melorot dari 85 persen, tentu disebabkan karena meningkatnya cost recovery atau disebabkan oleh biaya carry over tahun sebelumnya yang belum diselesaikan pemerintah.

Komentar Wamen ESDM ini tidak membuat terang masalah namun sebaliknya malah membingungkan masyarakat. Jika total revenue 2011 disebutkan mencapai 58,3 miliar dolar AS maka sama dengan pendapatan 159,7 juta dolar AS per hari untuk jumlah hari operasi 365 hari per tahun. Dengan demikian maka angka lifting per hari sebetulnya 1,5 juta barel per hari untuk harga minyak 107 dolar AS per barel. Data BP Migas menyebutkan bahwa lifting 2011 dilaporkan 902 ribu barel per hari. Ini adalah pertama keganjilan soal minyak.

Hal yang tidak pernah diungkapkan BP Migas dan juga elemen pemerintah lainnya, apakah data lifting yang dilaporkan setiap tahun itu jumlah bruto dari total produksi kontraktor KKKS atau benar-benar netto bagian pemerintah?

Kalau mengacu dari statemen Wamen ESDM bahwa pemerintah mendapatkan total pendapatan bersih 33,5 miliar dolar AS, maka seharusnya jumlah lifting 902 ribu bph itu adalah netto dengan asumsi harga 100 dolar AS per barel. Benar-benar murni bagian pemerintah setelah dikurangi dengan kewajiban-kewajiban termasuk cost recovery, membayar domestic market obligation (DMO) fee sebesar 25 persen kepada KKKS dan juga net contractor share.

Ada yang menguatkan tesis bahwa pemerintah sudah tidak perlu lagi mengeluarkan ongkos tambahan kepada KKKS, yakni pernyataan Direktur Pengendalian Produksi BP Migas Rudi Rubiandini. Menurutnya, sisa Rp 98 triliun itu bukan kembali kepada kontraktor KKKS namun sebagai bentuk sumbangan sektor industri minyak untuk membayar gaji guru, PNS, infrastruktur dan untuk biaya operasional pemerintah. Jadi, uang Rp 98 triliun itu bukan bagian kontraktor KKKS.

Dua komentar dari otoritas paling berkompeten negeri ini soal haru biru industri minyak sudah sangat bertolak belakang, entah bagaimana pihak-pihak lain menyikapi hal ini. Tampaknya transparansi industri minyak tetap misteri, sama misterinya dengan kandungannya di dalam perut bumi. Terlebih lagi, akan super misteri jika dibor di tengah laut. Tidak ada saksi yang melihat, tidak ada kamera yang mengawasi kecuali untuk keperluan kontraktornya sendiri. Selebihnya, soal lifting, tidak ada yang tahu.

Menyikapi rencana penaikan harga BBM per April ini, rakyat sebetulnya akan menerima dengan sosialisasi yang intensif termasuk bagaimana mengelola anggaran dengan benar dan bertanggung-jawab terutama di sektor minyak. Demonstrasi yang digelar, ungkapan ketidak-setujuan adalah ekspresi ada data yang disembunyikan entah untuk tujuan apa. Namun, mengingat konstelasi politik sudah cukup runcing mendekati 2014, pat gulipat data dan dana minyak sepertinya akan menjadi modal utama politik yang sangat menentukan.

Pemerintah harus berfikir fokus dan bertanggung jawab dengan statemen yang dilontarkan sendiri seperti anggaran yang 'jebol' jika BBM tidak dinaikkan. Direktur Pengendalian Produksi BP Migas sudah mengakui bahwa ada sisa Rp 98 triliun dari sektor ini, artinya memang benar ada surplus anggaran. Jadi, akan 'jebol'-nya APBN bukan karena BBM tidak dinaikkan namun ada persoalan lain yang ditutup-tutupi. Inilah yang ditunggu-tunggu rakyat. Buka soal ini dengan gamblang dan transparan, jangan terus isunya dialihkan ke subjek lain!

Ungkapan 'jebol' seharusnya berkorelasi dengan subjek yang dipersoalkan. Jika BBM yang dipermasalahkan maka harus dibuktikan bahwa operasional BBM seperti aktivitas jual dan beli menyebabkan defisit. Data yang dikalkulasi oleh KKG dan di-relay oleh RDP hanya sekedar menunjukkan bahwa tidak ditemukan hubungan 'jebol' karena BBM, malah yang terjadi sebaliknya.

Gambaran lebih tepat dari polemik subsidi BBM ini adalah ada uang yang masuk kantong kanan pemerintah, namun keluar lagi di kantong kiri untuk membiayai sektor lain. Jika tidak ada yang 'jebol' karena transaksi BBM, mengapa bersikukuh dinaikkan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar