Kamis, 29 Maret 2012

Inkonsistensi Kebijakan Energi


Inkonsistensi Kebijakan Energi
Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia,
Anggota Kelompok Kerja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat (2010-2014)     
SUMBER : KORAN TEMPO, 28 Maret 2012



Sebuah kebijakan dibuat sering kali didorong oleh dua hal: faktor internal dan eksternal. Menggabungkan dua pendorong menjadi ramuan yang tepat merupakan seni membuat kebijakan. Dalam bidang energi, tekanan eksternal tampaknya lebih kuat dalam mengubah kebijakan energi kita ketimbang dorongan internal. Ini terlihat dari kepanikan yang selalu berulang saat harga minyak mentah melonjak tinggi. Sebagai respons, serta-merta dibuat kebijakan ad hoc: mengutak-atik harga bahan bakar minyak.

Pada 2005, saat harga minyak mentah naik tinggi, pemerintah dua kali menaikkan harga BBM dengan total kenaikan 87 persen. Kebijakan serupa diulang pada 2008 ketika harga BBM sempat mencapai titik tertinggi: US$ 147 per barel. Selain itu, mulai 2006 pemerintah menggulirkan kebijakan massalisasi briket batu bara. Pembuatan kompor briket batu bara sempat dilakukan. Bahkan sejumlah usaha kecil-menengah dilibatkan. Di tengah jalan, kebijakan briket batu bara diubah. Di tengah redupnya program massalisasi briket batu bara, pemerintah tiba-tiba menggulirkan program elpiji atau gas dalam tabung (liquefied petroleum gas/LPG) sebagai pengganti minyak tanah.

Kini, ketika harga minyak mentah melampaui US$ 110 per barel, pemerintah (kembali) panik dan serta-merta membuat kebijakan baru. Semula pemerintah hendak menempuh dua cara: mengendalikan BBM bersubsidi dengan membatasi konsumsi, serta mengkonversi Premium dan solar ke bahan bakar gas. Menurut pemerintah, ini dilakukan agar Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tidak berdarah-darah karena banyak tersedot buat subsidi BBM. Dua program ini dibatalkan setelah menuai kritik publik. Sebagai gantinya, per 1 April, pemerintah akan menaikkan harga BBM bersubsidi: dari Rp 4.500 menjadi Rp 6.000 per liter (33,3 persen).

Kata kunci dari kebijakan (substitusi) energi yang gampang berubah adalah panik dan inkonsistensi. Dihadapkan pada anggaran pembangunan sosial yang cekak karena tergerogoti pembayaran (pokok dan cicilan) utang, ruang bermanuver pemerintah menjadi sempit. Cara termudah mengeliminasi agar anggaran tidak berdarah-darah akibat kenaikan harga BBM adalah menurunkan subsidi BBM untuk rakyat. Maka dicarilah alternatif yang mungkin, seperti briket batu bara, elpiji, atau menaikkan harga. Meskipun baru rencana, berbagai alternatif itu dilempar ke ranah publik seolah-olah sudah menjadi kebijakan (matang). Ketika dikritik, pemerintah mungsret dan serta-merta beralih ke alternatif yang lain. Maka terjadilah inkonsistensi di sana-sini.

Tapi inkonsistensi ini bukan hal baru. Pada 1980-an, kita pernah menggelar secara intensif dan ekstensif program bahan bakar alternatif. Proyek gasohol, bensin dengan campuran 10 persen etanol, telah tuntas dikaji dan diuji bersama dengan produsen kendaraan bermotor. Lembaga penelitian dan pilot plant pembuatan etanol, khususnya dari pati singkong di Lampung, telah selesai dan beroperasi. Tapi program ini juga tidak berkembang. Rendahnya harga BBM saat itu membuat pressure program gasohol berkurang. Ironisnya, dokumennya ternyata hilang entah ke mana (Ramelan, 2005). Pada 2005, saat harga minyak mentah kembali melonjak, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional serta Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Bahan Bakar Nabati (Biofuel) sebagai Bahan Bakar Lain.

Pada 1987, pilot project pemakaian compressed natural gas (CNG)--populer dengan sebutan bahan bakar gas (BBG)--untuk kendaraan bermotor juga diluncurkan. Gubernur DKI Jakarta telah menetapkan konversi mesin 300 unit taksi, 40 minibus, dan 40 bus. Pertamina menunjuk 16 buah stasiun pengisian bahan bakar umum di Jabotabek untuk mendistribusikan CNG. Perusahaan produsen bus diharuskan mengembangkan bus, khususnya bus kota, dengan menggunakan mesin yang memakai CNG. Sayang, pada 1995 Menteri Pertambangan saat itu mengizinkan pemanfaatan LPG. Proyek menjadi tidak jelas. Desakan produsen mobil yang memakai mesin solar menyebabkan Gubernur DKI kemudian mengizinkan juga taksi memakai mesin solar--yang mesinnya tidak bisa dikonversi untuk memakai CNG.

Setelah sekian tahun, perkembangan CNG tidak hanya stagnan, tapi juga negatif. Tidak sebanding dengan investasi dan waktu yang ditanam. Data terakhir menyebutkan (Soerawidjaja, 2005), hanya 16 dari 28 buah stasiun pengisian gas yang beroperasi dengan kapasitas 403.020 LSP per hari, yang tersebar di Jakarta, Cirebon, Cikampek, Surabaya, Medan, dan Palembang. Hasan (2003) mencatat distribusi CNG untuk sektor transportasi pada 2000 menurun sampai 32 persen dan pada 2002 turun lagi 8 persen dari tahun sebelumnya. Penyebabnya, pertama, berkurangnya jumlah pemakai kendaraan CNG, dari 6.633 unit (2000) menjadi 2.500 unit (2002); kedua, jaringan pipa gas yang terbatas; ketiga, stasiun pengisian yang minim dan biaya pembangunan stasiun pengisian yang tinggi; keempat, conversion kit yang mahal; dan kelima, terbatasnya bengkel pemasang conversion kit.

Kini, setelah sekian tahun tidak pernah dievaluasi, pemerintah mulai lagi dengan program CNG. Demikian pula program biofuel, yang sempat ingar-bingar pada rentang 2005-2006, kini nyaris tak terdengar. Seandainya konsisten sejak dulu, dan diberlakukan luas di seluruh Indonesia, mungkin krisis BBM dan polusi udara di kota-kota besar bisa diatasi dengan lebih baik. Kebijakan energi nasional juga tidak selalu didera kepanikan lantaran instabilitas harga minyak mentah yang memang di luar kendali pemerintah. Haruslah disadari peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak dicapai secara instan, tapi merupakan hasil kumulatif dari berbagai kegiatan sebelumnya. Jadi, kalau terjadi disruptive technological development seperti yang kita alami saat ini, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi akan terhambat. Kita harus memulai dari nol lagi. Itulah yang terjadi pada pengembangan energi Indonesia. Tampaknya kita lebih dungu daripada keledai.

Brasil, misalnya, bisa lepas dari kerentanan dan instabilitas harga BBM karena kebijakan energi yang konsisten. Pemakaian biofuel di Brasil dimulai pada 1973, saat terjadi krisis BBM. Saat itu 80 persen kebutuhan BBM diimpor. Tak ingin tergantung, pemerintah Brasil menetapkan Program Nasional Alkohol dan mewajibkan pemakaian bahan bakar alternatif dengan memberikan potongan pajak kepada produsen dan pengguna mobil etanol. Didukung oleh kelembagaan yang solid, optimalisasi pasar domestik, dukungan finansial, dan lembaga riset, kini Brasil menjadi produsen biofuel dari tebu nomor wahid dan terefisien di dunia. Biofuel juga menjadi strategi Brasil keluar dari jerat pasar gula dunia yang distortif. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar