Rabu, 28 Maret 2012

Lantang Memilih Obat Generik

Lantang Memilih Obat Generik
Dian Nurmawati, Apoteker Kimia Farma Gresik, Alumnus Fakultas Farmasi Unair dan Sedang Studi S-2 di Fakultas yang Sama
SUMBER : JAWA POS, 28 Maret 2012



BBM belum benar-benar naik harga, harga obat sudah terkerek. Biaya kesehatan kian mahal, di antaranya 45 persen biaya obat. Biaya obat karyawan yang ditanggung perusahaan di Indonesia mencapai 55-60 persen dari total biaya kesehatan. Padahal, di Malaysia hanya 10 persen. Salah satu penyebab utama kemahalan ini adalah penggunaan obat bermerek.

Dengan alasan itulah pemerintah meluncurkan program obat generik berlogo (OGB) atau obat generik pada 1989 untuk memberikan alternatif obat dengan harga terjangkau, kualitas terjamin, serta tersedia. Ini pilihan paling rasional.

Obat generik memang tak kebal kenaikan harga. Seperti diumumkan Menkes pada 16 Maret lalu, 170 dari 498 item (34 persen) naik harga. Tapi, senaik-naiknya obat generik, haganya masih lebih terjangkau dibanding obat bermerek.

Obat dibagi menjadi tiga kelompok. Pertama, obat generik. Obat dengan nama obat yang sama dengan kandungan zat aktifnya/nama zat kimia internasional yang sudah dibakukan. Misalnya, zat aktifnya amoxicillin, maka namanya juga amoxicillin. Indonesia menyebutnya OGB.

Kedua, obat bermerek, yakni obat dengan nama dagang tertentu sesuai dengan keinginan produsen (branded generic). Katakanlah amoxicillin, tapi mereknya bisa Kimoxyl, Intermoxyl.

Terakhir adalah obat paten, yang sering dirancukan dengan obat bermerek. Obat paten merupakan paten yang diberikan pada zat kimia/obat baru yang sifatnya mirip hak cipta. Hanya industri farmasi yang memiliki hak patenlah yang boleh memproduksinya dengan masa paten 15-20 tahun.

Saat ini belanja obat nasional per tahun mencapai Rp 40 triliun dan didominasi obat bermerek yang mampu beriklan banyak. Penjualan obat generik yang semula menyentuh 12 persen pada 2005 terkikis menjadi 7,7 persen empat tahun kemudian. Jauh di bawah Amerika Serikat yang mencapai 57 persen dan Taiwan 78,2 persen.

Patut ditekankan, sejatinya tidak ada yang membedakan antara obat generik dan obat bermerek. Isi dan khasiatnya sama. Tetapi, mengapa masyarakat masih enggan bersahabat? Penyebabnya adalah pola pikir yang salah.

Ada stigma bahwa obat generik sebagai obat murah bermutu rendah. Contoh obat generik untuk hepatitis B yang diluncurkan Kimia Farma pada 17 Maret 2012 dibanderol dengan harga Rp 150 ribu per dosis per bulan, sedangkan produk bermerek harganya Rp 800 ribu. Padahal, khasiatnya sama. (Obat Lamivudine-Heplam ini dipromosikan Men-BUMN Dahlan Iskan yang wajib minum obat ini rutin. Menurut Dahlan, 20 juta orang Indonesia butuh obat ini agar hepatitis B tak menjadi kanker atau sirosis hati).

Mengapa harga murah OGB? Karena tidak menanggung biaya riset (yang jadi beban obat paten), rendahnya biaya kemasan, biaya promosi, dan distribusi ditanggung pemerintah. Obat ini disubsidi, bahkan ada yang dijual rugi. Yang lebih penting lagi: penetapan harga sepenuhnya di tangan pemerintah.

Kualitas obat generik tidak kalah dengan obat bermerek dan obat paten karena telah melalui quality control yang sangat ketat. Salah satunya uji bioavailabilities (ketersediaan hayati) dan bio ekuivalensi (kesetaraan biologi) yang mutlak diperlukan. Hasil uji ini menjamin keamanan dan keefektifan obat bagi pasien.

Apoteker Boleh Ganti Generik

Pemerintah harus tegas terhadap industri farmasi yang belum 100 persen menerapkan CPOB (cara pembuatan obat yang baik) untuk menghapus citra obat generik sebagai obat bermutu rendah. Bila perlu, pengajuan registrasi untuk obat berikutnya dicekal supaya mereka jera.

Kebijakan tentang penerapan sistem jaminan sosial nasional (SJSN) yang akan dilakukan pemerintah diyakini bisa menaikkan pemakaian obat generik. Jumlahnya bisa mencapai 50 persen dari total pasar farmasi nasional, beralih dari obat bermerek yang mahal.

Sebagai aktor tunggal penulisan resep, sudah saatnya jika Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mengingatkan kembali bahwa salah satu area kompetensi dokter adalah moral, etika, dan medikolegal. Bukan zamannya menganggap penulisan generik tidak bergengsi atau khasiatnya di bawah obat bermerek.

Ujung tombak terakhir dalam urutan pelayanan kesehatan adalah peran apoteker. Di beberapa negara maju, untuk kondisi tertentu profesi apoteker diberi kewenangan menuliskan resep. Bila harga obat generik hanya 25 persen dari obat bermerek, sebenarnya tidak ada alasan bagi apotek untuk tidak menyediakannya dengan alasan tidak ada dokter yang meresepkan.

Terbitnya PP Nomor 51/2009 pasal 24b memperbolehkan apoteker mengganti obat merek dagang dengan obat generik yang sama komponen aktifnya atas persetujuan dokter dan atau pasien. Tidak ada peraturan satu pun yang melarang apoteker di apotek mengganti obat sesuai dengan kemampuan pasien, seperti yang tertuang pada Kepmenkes 1332/Menkes/SK/X/2002.

Pasal 15 ayat 2 menyebutkan bahwa apoteker tidak diizinkan mengganti obat generik yang ditulis di dalam resep dengan obat paten. Artinya, penggantian obat paten dengan obat generik tidak dilarang. Arogansi oknum yang mencantumkan "Tidak boleh diganti tanpa seizin dokter" pada resep menunjukkan ketidakpahaman tentang peraturan.

Sudah saatnya pemerintah menggalakkan lagi sosialisasi dan edukasi mengenai obat generik lewat media massa. Pasien lemah posisinya dalam hal pemilihan obat. Edukasi yang tepat sangatlah membantu pemahaman tentang obat generik walaupun dokter dan apoteker kurang berpihak pada obat generik dan apoteker. Masyarakat harus bisa lantang memilih obat generik sebagai sahabatnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar