Rabu, 28 Maret 2012

Laskar Pelangi di Langit Indonesia


Laskar Pelangi di Langit Indonesia
A Faisal, Ketua Tim Program Konversi Minyak Tanah ke LPG,
PT Pertamina, 2006-2010
SUMBER : KOMPAS, 28 Maret 2012



Usai sudah perdebatan wacana apa yang akan ditempuh pemerintah untuk mengurangi subsidi bahan bakar minyak. Pemerintah akhirnya menyatakan bakal menaikkan harga BBM bersubsidi mulai 1 April mendatang.

Memang belum ada kata sepakat tentang besaran kenaikan. Wacana yang berkembang Rp 500-Rp 1.500 per liter. Pertimbangan ini tentu mengacu pada kekhawatiran akan inflasi yang bakal terjadi.

Menurut hemat saya, inflasi adalah sebuah keniscayaan yang selalu terjadi dalam hidup bernegara. Hanya saja, yang perlu jadi pertimbangan adalah seberapa jauh pemerintah menakar kesiapan publik untuk menghadapi inflasi tersebut.

Bisa saja besaran kenaikan yang dilakukan bertahap hingga secara perlahan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mampu menipiskan disparitas harganya dengan BBM nonsubsidi. Katakanlah kenaikan itu dipatok Rp 1.500, pemerintah dapat menawarkan kenaikan setiap triwulan Rp 500. Sosialisasi dilakukan sejak awal sehingga publik pun siap menghadapi tahapan kenaikan tersebut.

Lalu, apakah keputusan menaikkan harga BBM bersubsidi ini lantas menuntaskan persoalan energi bangsa ini? Untuk jangka waktu tertentu mungkin saja ”ya”. Namun, apabila kita bicara dalam konteks energi, berapa pun besaran kenaikan itu sifatnya adalah sesaat.

Tercatat sepanjang 2011 konsumsi premium 25 juta kiloliter. Dengan tingkat laju pertumbuhan premium 6,5 persen per tahun, pada 2020 konsumsi premium bakal melejit hingga 58 juta kiloliter.

Harus dipahami, cadangan minyak di Indonesia semakin menipis. Tingkat produksi kita saat ini 900.000 barrel per hari, dengan impor minyak mentah mencapai 400.000 barrel per hari dan impor produk 350.000 barrel per hari.

Dalam 10-20 tahun lagi cadangan tersebut akan menyisakan tidak lebih dari 400.000 barrel per hari. Sementara impor minyak mentah akan melejit lebih dari 1,5 juta barrel per hari. Melihat tren harga minyak dunia yang terus melambung, sulit dibayangkan berapa anggaran belanja pemerintah yang harus dikeluarkan demi ketersediaan BBM di Tanah Air.

Isu Lingkungan

Itu baru hitungan angka. Dari segi lingkungan, 25 juta kiloliter premium dan 15 juta kiloliter solar yang setiap tahun terbakar niscaya membuat langit negeri ini tidak akan biru lagi. Kandungan SO2, CO, CO2, NO yang terbakar setiap hari menjadikan udara kita tercemar. Dampak dari pencemaran itu timbul beragam penyakit. Reaksi pembakaran SO2 dengan H2O (air) yang menjadi H2SO4 adalah pangkal terjadinya disfungsi otak. Reaksi CO dengan H2O juga terbukti menyebabkan peradangan tenggorokan. Sementara partikel material yang dikeluarkan solar dan gas NO dari pembakaran premium menyerang lever manusia.

Bagaimana nanti ketika konsumsi BBM kita melonjak jadi 60 juta kiloliter dan solar 34 juta kiloliter pada 2020? Selain belanja energi BBM yang membengkak, kita akan terbebani biaya kesehatan yang tidak sedikit. Itulah harga yang harus dibayar jika kita membiarkan konsumsi BBM mengalir tiada batas.

Kondisi ini seharusnya menyadarkan kita akan pentingnya diversifikasi energi. Gas dan batubara adalah sumber kekayaan alam kita yang masih berlimpah dan bisa dimanfaatkan. Harapan itu muncul kala pemerintah memunculkan opsi mengonversi BBM bersubsidi ke bahan bakar gas (BBG).

Upaya ini harus kita dukung. Sudah saatnya kita mengubah pola pikir dalam konteks energi. Tugas pemerintah menjabarkan kepada publik betapa energi non-BBM patut jadi pilihan. Harga gas memang relatif lebih murah ketimbang minyak. Cadangannya pun terbilang tinggi, yaitu 154 triliun cubic feet (TCF). Jumlah itu cukup untuk konsumsi selama 40-60 tahun ke depan.

Sementara batubara kita pun sangat berlimpah. Diprediksi cukup untuk 140 tahun ke depan. Dari batubara ini bisa dilakukan gasifikasi menjadi dimethyl ether (DME) yang harganya jauh lebih murah daripada gas.

Terkait program konversi BBM ke BBG, untuk tahap awal sebaiknya LPG (gas minyak bumi yang dicairkan) jadi pilihan. LPG lebih mudah dibawa (dalam mobil) sehingga jauh lebih fleksibel ketimbang sumber gas lain, seperti CNG (gas alam terkompresi) dan LNG (gas alam cair). LPG juga bertekanan lebih rendah (15 bar). Karakter ini tak bisa kita jumpai pada CNG yang bertekanan lebih tinggi (200 bar) sehingga butuh media yang lebih besar dalam sebuah kendaraan.

Sekalipun harganya lebih murah ketimbang LPG, proses angkut CNG terbilang tidak sederhana lantaran tidak tersedia di semua wilayah di Indonesia. Sementara LNG, sekalipun berlimpah, kita belum memiliki infrastruktur yang memadai, terutama di Pulau Jawa yang menjadi barometer kesiapan energi kita. Lalu, DME harus diakui kita sama sekali belum siap.

Hendaknya kita bisa belajar dari negara-negara maju dalam pemanfaatan gas sebagai bahan bakar. Korea Selatan merupakan negara dengan tingkat penggunaan LPG sebagai bahan bakar kendaraan bermotor tertinggi di dunia, yaitu 4 juta ton LPG untuk 2,3 juta kendaraan. Juga Turki yang sudah menggunakan BBG sebanyak 2,5 juta ton LPG untuk 2,1 juta kendaraan. Sementara Italia, Polandia, Swedia, dan negara Eropa lainnya juga menggunakan LPG sebagai bahan bakar karena alasan lingkungan.

Kesuksesan program konversi BBM ke BBG di negara-negara itu tidak lepas dari kebijakan pemerintah setempat. Untuk kendaraan/transportasi umum, peralihan ke BBG bersifat mandatori. Untuk masyarakat umum, pemerintah memberikan insentif atau kompensasi pajak dengan membebaskan fiskal, mengurangi pajak kendaraan bermotor, atau menerapkan PPN yang lebih murah. Publik pun mulai beralih ke BBG lantaran harganya lebih rendah 50 persen dibandingkan dengan premium atau solar.

Peta Jalan

Pemerintah harus segera membuat peta jalan program konversi BBM ke BBG. Dengan mengacu pada keberhasilan program tersebut di sejumlah negara tadi, kebijakan harga bisa ditetapkan demi menjaga harga BBG jauh lebih murah.

Guna mendorong ketertarikan publik, pemerintah bisa memberi diskon pembelian alat konverter yang selama ini dianggap jadi kendala. Pengawasan kualitas konverter harus dilakukan secara ketat demi menghilangkan kekhawatiran konsumen, yakni dengan menunjuk BUMN tertentu sebagai penanggung jawab.

Tahap awal, pemerintah harus mewajibkan semua kendaraan dinas pemerintah, TNI, Polri, dan PNS beralih ke BBG. Swasta juga harus didorong ikut menyukseskan konversi ini dengan mempermudah peluang usaha membuka stasiun pengisian BBG.

Jika ini dilakukan, beban pemerintah atas impor BBM yang terus membengkak bakal tertanggulangi. Toh, itu bukan pengalaman baru. Sekalipun berbeda, suksesnya program konversi minyak tanah ke LPG di Indonesia adalah bukti. Jika ada kemauan kuat, semua bisa dilakukan.

Pemerintah jangan terkesan ragu. Jadilah Laskar Pelangi yang tanpa pamrih siap membirukan langit Indonesia dengan udara nan bebas polusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar