Selasa, 27 Maret 2012

Penegakan Hukum Pencucian Uang

Penegakan Hukum Pencucian Uang
Natsir Kongah, Pembelajar Masalah-Masalah Tindak Pidana Pencucian Uang
SUMBER : MEDIA INDONESIA, 27 Maret 2012



SENANG bisa bersentuhan secara intelektual dengan Romli Atmasasmita, Guru Besar Emeritus Universitas Padjadjaran. Banyak hikmah dapat kita ambil dari tulisan yang dimuat Media Indonesia (Selasa, 20 Maret 2012) di rubrik Opini dengan judul ‘Misteri Penegakan Hukum Pencucian Uang’. Di sisi lain, banyak pula hal yang luput dari dia sehingga pernyataan yang ada mengandung persepsi dan pandangan yang tidak lurus dengan makna yang kurang pas.

Romli menyebutkan, ‘... mengapa laporan PPATK tidak memuat laporan hasil analisis TKM yang berasal dari rekening korporasi nasional dan asing yang beroperasi di Indonesia. Pun mengapa justru rekening PNS dan aparatur penegak hukum dipandang lebih penting daripada korporasi tersebut. Konteks ini patut dipersoalkan apakah pemberantasan pencucian uang hasil korupsi atau tindak pidana lainnya sengaja dibidikkan kepada penyelenggara negara sehingga mental penyelenggara negara terkesan sangat bobrok jika dibandingkan dengan mental pengusaha korporasi itu sendiri, terutama di hadapan publik dalam dan luar negeri....’

Pada dasarnya, tugas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) sebagai financial intelligence unit (FIU) tidak memandang pelaku itu sebagai birokrat, teknokrat, legislatif, eksekutif, maupun yudikatif, apalagi sampai menilai moral atau mental pihak yang dilaporkan. Pasal 3 UU Nomor 8/2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU) menyebutkan, ‘Setiap orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang’.

PPATK bekerja dengan mekanisme menerima laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM) yang disampaikan penyedia jasa keuangan (PJK) dan penyedia barang dan jasa (PBJ). Setelah itu, laporan tersebut dianalisis PPATK dengan menggunakan berbagai sumber informasi untuk kemudian dianalisis dengan menggunakan berbagai metode yang telah terasah serta teruji yang dilakukan sumber daya manusia yang memiliki sertiļ¬ kasi khusus untuk itu. Hasil analisis (HA) PPATK selanjutnya disampaikan kepada penyidik untuk mengembangkan dan mencari alat bukti yang kemudian disampaikan kepada jaksa penuntut umum untuk diajukan k ke depan majelis hakim.

Sejatinya, dari LTKM perorangan yang berindikasi melakukan tindak pidana pencucian uang itulah akan menjalar dan diketahui pula pihak-pihak lain yang terlibat di dalamnya, baik ia bersifat individu maupun korporasi. Istilah lain, Guy Stessen dalam bukunya, Money Laundering: A New International Law Enforcement Model, menyebutkan secara umum ada tiga alasan mengapa kejahatan pencucian uang perlu diperangi dan dinyatakan sebagai tindak pidana. Pertama, pencucian uang dapat meme ngaruhi sistem keuangan dan ekonomi yang diyakini berdampak negatif bagi perekonomian, misalnya dampak negatif terhadap efektivitas penggunaan sumber daya dan dana. Dengan adanya pencucian uang, sumber daya dan dana kerap digunakan untuk kegiatan tak sah dan merugikan masyarakat. Kedua, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana akan lebih memudahkan penegak hukum menyita hasil tindak pidana. Ketiga, pengkriminalisasian pencucian uang sebagai tindak pidana serta adanya ketentuan dan sistem pelaporan transaksi dalam jumlah tertentu serta transaksi yang mencurigakan akan kian memudahkan penegak hukum menyelidiki kasus tindak pidana sampai tokoh-tokoh yang ada di belakangnya.

Misalnya saja kasus Dhana Widyatmika (DW), oknum pegawai pajak yang menjadi tersangka korupsi dan pencucian uang. Media massa menyebutkan PPATK menyampaikan HA terkait dengan DW yang terindikasi melakukan tindak pidana pencucian uang. Lalu, penyidik dalam hal ini lam hal ini Kejaksaan Agung menggali alat buk ti terkait dengan dugaan tersebut. Dari hasil penelusuran tersebut, ditemukan bukti-bukti yang memadai sehingga menjadikan terlapor sebagai tersangka. Selanjutnya, penyidik menemukan pula bukti keterlibatan tersangka dengan beberapa korporasi, termasuk korporasi asing. Tersangka Dhana Widyatmika memegang beberapa perusahaan wajib pajak, salah satunya sebuah perusahaan asing yang bergerak di bidang transportasi, PT CT. Dhana ternyata juga pernah mengurus pajak perusahaan tersebut hingga maju ke Pengadilan Pajak.

Begitu juga dengan kasus terpidana Gayus Tambunan (GT). Dari HA yang disampaikan PPATK, itu berkembang terus dan sampai kepada pengakuan GT di dalam persidangannya bahwa uang yang ia terima berasal dari korporasi. Investor Daily Indonesia (27/2/2011) menuliskan, ‘... sejumlah fakta sudah terungkap dengan amat jelas. Gayus berkali-kali mengaku bahwa dia hanyalah ikan teri, operator lapangan yang bekerja berdasarkan order. Itu berarti ada aktor utama, si pemberi perintah.’

Dalam kesaksian, Gayus juga menyebutkan menerima uang Rp30 miliar dari beberapa perusahaan sebagai imbalan atas ‘bantuan’ menyelesaikan persoalan pajak oleh perusahaan-perusahaan itu. Terlihat ada kerja sama erat antara penyedia uang dan penerima yang bekerja di lapangan. Ada juga laporan hasil audit investigasi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terhadap enam perusahaan yang diduga memanipulasi pajak senilai triliunan rupiah. Total nilai sengketa pajak yang kini sedang diproses ternyata mencapai puluhan triliun. Itu data Ditjen Pajak. Hasil audit BPK tersebut menemukan banyak penyimpangan dan pelanggaran’.

Fakta yang disampaikan media massa tersebut menunjukkan adanya keterlibatan orang per orang, oknum perusahaan, dan pihak-pihak lainnya. Tindak lanjut atas HA yang disampaikan PPATK tersebut bukan lagi kewenangan PPATK, melainkan penyidik untuk mengembangkan kepada pihak lainnya, termasuk korporasi yang diduga terlibat. Membangun rezim antipencucian uang yang efektif di Indonesia tidaklah dapat disandarkan kepada salah satu institusi semata, tetapi harus dilakukan kerja sama yang kuat di antara instansi terkait.

Kerja sama yang baik antarinstansi terkait dapat kita lihat dari terbongkarnya kasus L/C fiktif yang dilakukan Adrian Herling Waworuntu dan kawan-kawan yang menimbulkan kerugian negara atau perekonomian negara sebesar Rp1,2 triliun lebih. PPATK, Polri, kejaksaan, dan pengadilan bekerja secara optimal sehingga Pengadilan Tinggi Jakarta memutuskan pada 24 Juni 2005 terdakwa Adrian Herling Waworuntu terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana ‘turut serta melakukan tindak pidana korupsi yang dilakukan secara berlanjut’ sebagaimana dalam dakwaan primer; menghukum terdakwa dengan pidana penjara selama seumur hidup; menghukum terdakwa dengan pidana denda sebesar Rp1 miliar subsider 1 (satu) tahun kurungan dan menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp300 miliar; serta menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Dari fakta tersebut, menurut hemat saya, tidak ada lagi hal yang perlu diragukan atas keberadaan dan kemaslahatan yang telah dilakukan PPATK, kepolisian, kejaksaan, dan instansi terkait lainnya, apalagi sampai menimbulkan misteri. Tinggal bagaimana kita secara bersama-sama terus mengawal dan mendorong agar rezim antipencucian uang di Indonesia dapat berjalan secara optimal. Simak pula pertanyaan yang disampaikan Sor Juana Ines de la Cruz, salah seorang penyair terbesar Meksiko pada Abad ke17, “Siapa yang paling bersalah dalam dosa bersama? Si perempuan yang menjual dosa atau si lelaki yang membeli dosa? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar