Jumat, 30 Maret 2012

Sanksi Sosial pada Koruptor


Sanksi Sosial pada Koruptor
Biyanto, Dosen IAIN Sunan Ampel,
Ketua Majelis Dikdasmen PW Muhammadiyah Jatim 
SUMBER : SINDO, 30 Maret 2012



Desakan agar hukuman terhadap koruptor diperberat terus bergulir. Di samping dihukum berdasarkan perundang-undangan, koruptor juga harus diberi sanksi sosial.

Itu perlu dilakukan untuk memberikan efek jera pada siapa pun yang berniat korupsi. Beberapa tokoh yang pernah mengutarakan gagasan ini adalah Din Syamsuddin (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah), Said Aqil Siraj (Ketua PBNU), Mahfud MD (Ketua Mahkamah Konstitusi), dan Todung Mulya Lubis (praktisi hukum).

Wacana mengenai pentingnya sanksi sosial ini sekaligus menjadi sindiran bagi aparat penegak hukum. Pasalnya,aparat penegak hukum sepertinya tidak berdaya jika berhadapan dengan koruptor, terutama koruptor kelas kakap.Sebaliknya pada koruptor kelas teri, aparat hukum kelihatan sangat tegas. Akibatnya muncul persepsi di masyarakat bahwa hukum itu jika ke bawah sangat tajam, tetapi jika ke atas tumpul sekali.

Jika mengacu pada fikih (hukum Islam),memang belum ditemukan padanan kata yang tepat untuk korupsi. Hal ini disebabkan korupsi muncul dalam budaya masyarakat modern. Sementara itu,khazanah yang berkembang dalam fikih masih banyak yang merujuk pada era klasik.Tetapi karena substansi korupsi adalah perbuatan melanggar hukum dan norma agama, maka dapat dianalogikan dengan perbuatan yang dikenal dalam khazanah fikih.

Beberapa istilah dalam hukum Islam yang dapat dianalogikan perbuatan korupsi adalah ghulul (mengambil harta secara tersembunyi), risywah (suap-menyuap), saraqah ( pencurian), ghasab (mengambil dengan cara paksaan), dan hirabah (perbuatan yang merusak tatanan masyarakat). Berdasarkan pengertian korupsi dalam hukum positif dan konsep kejahatan terhadap harta benda, dalam hukum Islam dapat ditemukan beberapa kesamaan.

Pertama, adanya tasharruf yaitu perbuatan yang berarti menerima, memberi, dan mengambil. Kedua, adanya pengkhianatan terhadap amanat kekuasaan. Ketiga, adanya kerugian yang ditanggung masyarakat. Berdasarkan hal itu maka tidak berlebihan jika dalam perspektif fikih dikatakan bahwa korupsi adalah tindakan menyalahi hukum dan bentuk pengkhianatan atas amanah yang dapat menimbulkan kerugian publik. Salah satu ekspresi perbuatan korupsi adalah suap.

Contoh perbuatan yang masuk kategori suap dalam konteks kekinian adalah pemberian uang yang dilakukan para calon saat pemilihan kepala daerah (pilkada). Demikian juga dengan sumbangan pimpinan partai politik atau pejabat negara pada lembaga sosial seperti masjid, madrasah, panti asuhan, dan pesantren. Berbagai bentuk sumbangan ini dapat dikategorikan suap, jika pemberinya memiliki agenda terselubung untuk memperoleh posisi strategis di legislatif dan eksekutif.

Apalagi jika sumbangan itu ternyata bukan berasal dari uang pribadi, melainkan dari uang rakyat yang masuk dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara/ Daerah (APBN/D). Karena dampak yang ditimbulkan begitu berbahaya, korupsi dapat dikategorikan sebagai tindakan fasad (merusak). Tindakan korupsi juga dapat mengancam harta sekaligus jiwa banyak orang. Karena itu, tidak berlebihan jika dikatakan bahwa korupsi dapat mengakibatkan kesengsaraan warga seperti kelaparan, kebodohan,tidak tegaknya hukum, dan buruknya pelayanan publik.

Hal ini terjadi karena anggaran yang semestinya digunakan untuk pemenuhan kebutuhan publik telah dikorupsi. Begitu dahsyatnya akibat perbuatan korupsi, sehingga tidak mengherankan jika tokoh agama dan praktisi hukum mendorong agar hukuman koruptor diperberat. Tambahan hukuman itu dapat berupa sanksi sosial. Termasuk kategori sanksi sosial dalam konteks politik adalah tidak memilih pelaku korupsi sebagai pejabat publik, baik untuk jabatan di legislatif maupun eksekutif.

Karena korupsi juga termasuk dalam kategori berkhianat terhadap amanat rakyat, kesaksian mereka dapat ditolak dalam proses pembuktian hukum di pengadilan. Dalam hal ini, ajaran Islam telah memberikan petunjuk yang jelas bahwa kesaksian pengkhianat itu tidak dapat diterima. Bentuk lain sanksi sosial adalah agar koruptor muslim tidak disalati saat meninggal dunia. Pandangan ini mendapatkan justifikasi ajaran Islam. Sebuah riwayat mengisahkan bahwa ada seorang sahabat wafat dalam Perang Khaibar.

Para sahabat pun memberi tahu kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian beliau bersabda: “Salatilah teman kalian!” Maka berubahlah wajah para sahabat karena Rasul ternyata enggan untuk menyalatinya. Selanjutnya, Nabi bersabda: “Sesungguhnya teman kalian telah menggelapkan harta rampasan perang. Para sahabat pun menggeledah barang-barangnya dan menemukan perhiasan dari orang Yahudi yang nilainya tidak sampai dua dirham (HR. Abu Daud).”

Riwayat ini dapat menjadi rujukan untuk tidak menyalati jenazah koruptor, terutama bagi tokoh agama. Para koruptor sesungguhnya sadar bahwa perbuatan yang dilakukan telah merugikan masyarakat. Karena itu, guna mengurangi beban mereka,terkadang menggunakan harta hasil korupsi untuk kepentingan ibadah. Tentu saja cara ini tidak akan mengubah status hukum perbuatan dan harta hasil korupsi.

Dikatakan dalam sebuah kaidah ushul fiqih bahwa sesuatu yang haram mengambilnya maka haram pula memberikannya. Ajaran ini perlu dikemukakan agar tidak muncul pemahaman parsial, bahwa dosa korupsi dapat terhapus melalui perbuatan menyedekahkan sebagian harta korupsi.

Untuk memberikan efek jera pada koruptor maka pimpinan organisasi sosial keagamaan, tokoh masyarakat, serta pengelola pendidikan dan pelayanan sosial harus berkomitmen untuk menolak sumbangan yang bersumber dari harta hasil korupsi. Sikap tegas ini penting untuk memberikan pelajaran pada pelaku korupsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar