Kamis, 29 Maret 2012

Sindrom Fukushima


Sindrom Fukushima
Martin Freer, Guru Besar Fisika Nuklir pada University of Birmingham,
Direktur Birmingham Center for Nuclear Education and Research
SUMBER : KORAN TEMPO, 29 Maret 2012



Peristiwa dramatis yang menimpa pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Daiichi di Fukushima setelah terjadinya tsunami tahun lalu dikenal sebagai “bencana Fukushima”. Kita tidak perlu melihat lebih jauh ihwal deskripsi “bencana Fukushima” ini untuk memahami salah pengertian masyarakat sekitar energi nuklir.

Adalah tsunami, yang dipicu oleh gempa bumi paling dahsyat yang pernah melanda Jepang, yang menewaskan lebih dari 16 ribu orang, yang menghancurkan atau merusak sekitar 125 ribu bangunan, dan menyebabkan Jepang menghadapi apa yang dilukiskan perdana menterinya sebagai krisis paling besar negeri itu sejak Perang Dunia II. Namun Fukushima-lah yang selalu diberi label “bencana” itu.

Sebenarnya, walaupun apa yang terjadi memang dahsyat, peristiwa yang berlangsung dalam hitungan hari dan jam setelah gelombang raksasa menjebol dinding pelindung Fukushima itu bisa ditafsirkan sebagai bukti yang muncul dari keterterimaan energi nuklir. Memang dampak lingkungan pada mereka yang tinggal dekat Fukushima mungkin memakan waktu tahunan untuk dihilangkan. Tapi respons di banyak kalangan--paling tidak di Jerman, Swiss, dan negara-negara lainnya yang segera mengutuk dan mundur dalam pemanfaatan energi nuklir--sekali lagi menunjukkan kurangnya pengetahuan mengenai dua pokok persoalan mendasar.

Pertama, keselamatan (safety). Kedua, radiasi. Kita perlu mendorong dialog yang lebih inklusif dan informatif mengenai kedua pokok persoalan ini jika tenaga nuklir hendak dinilai menurut nilai dan keberadaannya, bukan dengan menolaknya berdasarkan ketidaktahuan dan kekerasan hati. Akankah banyak orang yang meminta agar tenaga nuklir dilarang itu juga akan meminta agar angkutan dilarang? Bukankah paralel antara tenaga nuklir dan angkutan udara itu terletak pada persoalan safety?

Kita sering diingatkan bahwa angkutan udara, menurut statistik, memiliki catatan keselamatan yang lebih baik daripada bentuk-bentuk angkutan lainnya. Berbagai alasan yang diberikan untuk ini mungkin bisa diingatkan dengan membandingkan pesawat terbang dengan sepeda.

Kita semua mengakui bahwa pesawat terbang memang kendaraan yang canggih, sedangkan sepeda bukan. Kita juga mengakui bahwa konsekuensi jatuhnya pesawat terbang merupakan bencana yang lebih parah daripada, katakan, jatuhnya seorang pengendara sepeda yang menabrak pembatas jalan ketika pulang dari berbelanja. Begitu juga, merancang dan memproduksi pesawat terbang berkali lipat lebih rumit dan menyeluruh daripada merancang dan merakit sepeda.

Perbandingan yang sama bisa diberikan kepada sekitar 450 reaktor nuklir di dunia. Fakta menunjukkan rekor keselamatan industri nuklir ini tidak ada duanya bila dibandingkan dengan industri-industri lainnya. Seperti pesawat terbang, reaktor nuklir dirancang dan dibangun dengan standar yang bukan main ketatnya.

Dengan segala ketegangan dan kekhawatiran sekitar upaya mencegah meltdown, melelehnya Fukushima, kita tidak boleh lupa bahwa pembangkit tenaga listrik nuklir ini--dan dengan demikian industri energi nuklir--harus menjalani tes yang luar biasa, dalam arti yang seketat-ketatnya. Jika bukan karena beberapa cacat desain yang sekarang tidak akan diulangi lagi, Fukushima mungkin akan keluar dari bencana dalam keadaan utuh--dan sejarah bakal begitu berbeda.

Sesungguhnya energi nuklir sekarang lebih aman daripada sebelumnya. Tapi, bagi banyak orang, gambaran seperti yang menimpa Fukushima itu saja--tanpa melihat apa yang terjadi sebenarnya--sudah cukup untuk menarik kesimpulan sebaliknya. Jika sebuah pesawat 747 jatuh menimpa suatu sarana nuklir, kita tidak akan mendengar seruan agar semua pesawat terbang dilarang. Tapi bisingnya seruan agar setiap reaktor nuklir di muka bumi ini segera dilarang mungkin akan memekakkan telinga.

Ingat juga bahwa Fukushima dibangun pada 1970-an, dan bahwa teknologi yang digunakan sebagai dasar pembangunannya berasal dari teknologi satu dekade sebelumnya. PLTN-PLTN yang dibangun sesudah Fukushima berbeda sama sekali dalam pengoperasiannya, seperti juga kerangka regulasinya, yang menetapkan patokan baru yang lebih ketat bagi perawatan dan mutu yang diperlukan pada setiap tahap proses pembangunan.

Penolakan terhadap energi nuklir berakar pada kekhawatiran mengenai safety pada umumnya dan radiasi pada khususnya. Kecelakaan yang menimpa Fukushima, yang telah memperkuat terlalu banyak opini dan mengubah tidak banyak opini di banyak negara, menunjukkan pentingnya kita mencoba menjelaskan persoalannya--di negara-negara tersebut, termasuk Inggris, di mana adanya kebijakan energi yang berkesinambungan masih belum ditetapkan.

Sementara pada satu sisi kita tahu akibat tingginya tingkat exposure terhadap radiasi, apa yang terjadi di sisi lainnya tidak begitu jelas. Dunia ini penuh dengan radioaktivitas--dinding, beton, bahkan pisang pun mengandung tanda-tanda adanya radioaktivitas. Dan tubuh kita telah beradaptasi dengannya. Di negara-negara seperti Brasil dan India, rakyat hidup dalam lingkungan yang mengandung 20-200 kali lebih banyak radiasi daripada yang umumnya dijumpai di Inggris. Tampaknya, tanpa efek genetika yang negatif, beberapa pakar mengatakan bahwa kita mungkin memerlukan secercah radioaktivitas untuk merangsang sistem kekebalan kita.

Sudah tentu, tetap ada kekhawatiran di sekitar persoalan pembuangan sampah dan proliferasi nuklir. Sekali lagi, diperlukan debat kesepakatan. Tapi itu membutuhkan semacam peta jalan (road map) yang menunjukkan di mana kita berada dan apa yang harus kita lakukan. Kita perlu menciptakan budaya dialog yang diperlukan dalam industri nuklir dan di kalangan akademisi. Dan kita perlu mendorong masyarakat agar berpikir dan merenungkan persoalan ini dengan lebih mendalam. Terutama sekali, kita perlu meningkatkan pemahaman publik akan sektor energi ini secara keseluruhan.

Saat ini, terlalu banyak kalimat “Saya tahu: dan inilah apa yang saya yakini dengan teguh”, yang sering diucapkan orang-orang berpengaruh dalam suatu persoalan di mana tidak ada benar atau salah yang bisa diperdebatkan, termasuk Fukushima salah satunya.
Masih belum terlambat--tidak sepenuhnya--untuk mulai membahas persoalan energi nuklir ini dalam bahasa yang memberikan informasi bukan yang menimbulkan kecemasan dan dengan istilah-istilah yang menumbuhkan penilaian yang berimbang dengan baik, bukan memperkokoh bias yang sudah lama terbentuk. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar