Jumat, 30 Maret 2012

Tantangan OJK


Tantangan OJK
Anggito Abimanyu, Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Yogyakarta
SUMBER : KOMPAS, 30 Maret 2012



Sektor jasa keuangan di Indonesia tergolong masih dangkal dan rentan pada krisis keuangan global.

Sektor jasa keuangan juga masih terkonsentrasi pada perbankan. Bank menghadapi masalah struktural lemahnya permodalan, rendahnya variasi pendanaan, dan risiko UMKM sehingga mengakibatkan masih tingginya biaya dana dan suku bunga perbankan. Ke depan, sektor jasa keuangan akan diatur dan diawasi Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Penggabungan dua institusi keuangan, Bapepam-LK dan BI, dalam OJK merupakan tantangan terbesar efektivitas dan kredibilitas OJK.

Tantangan Pendalaman

Tahun 2011, rasio total aset sektor jasa keuangan di Indonesia 66 persen dari produk domestik bruto (PDB) dan diperkirakan akan mencapai 90 persen pada 2020. Sementara kapitalisasi pasar modal 36 persen dan diperkirakan 64 persen pada 2020. Ditinjau dari aset sektor jasa keuangan dan kapitalisasi pasar modal, kita tertinggal dibandingkan dengan negara berkembang lain.

Perlu pendalaman sektor jasa keuangan melalui diversifikasi pendanaan, pengembangan produk baru, seperti syariah dan derivatif, dan membuka akses bagi yang belum punya kecukupan finansial.

Pasal 4 UU No 21/2011 mengenai OJK mengamanatkan bahwa pembentukan OJK bertujuan agar keseluruhan kegiatan di dalam sektor jasa keuangan dapat diintegrasikan. Penyatuan semua lembaga yang mengatur dan mengawasi lembaga keuangan dalam OJK diharapkan dapat memberikan perlakuan yang sama bagi seluruh sektor jasa keuangan, sekaligus meningkatkan efisiensi dan memudahkan koordinasi. Tantangan utama yang dihadapi di sektor keuangan di Indonesia adalah konsekuensi dari pendalaman sektor keuangan, kerentanan pada risiko global, dan kredibilitas OJK.

Sektor keuangan merupakan ”pusat” dari sistem dalam sebuah perekonomian. Kegagalan sektor keuangan dapat melemahkan kinerja seluruh sistem dalam perekonomian (Joseph Stiglitz, 1994). Salah satu kunci utama pendalaman keuangan adalah akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui ekspansi akses untuk pihak-pihak yang tak memiliki kecukupan finansial. Tak kalah penting adalah kekuatan struktur permodalan, infrastruktur, dan inovasi produk jasa keuangan.

Masalahnya, permodalan beberapa bank besar di Indonesia masih berada di bawah bank-bank sejenis di Asia. Modal Bank Mandiri dan BRI lebih rendah daripada bank-bank di negara tetangga, seperti Bangkok Bank (Thailand), Maybank (Malaysia), ataupun Kookmin (Korea Selatan). Profil serupa terlihat pada infrastruktur level of service bank-bank di Indonesia, seperti jumlah cabang, ATM, dan jumlah penabung.

Struktur aset jasa keuangan di Indonesia masih terkonsentrasi di bank (80 persen), sementara asuransi hanya 10 persen, dana pensiun 2,5 persen, pembiayaan 5,5 persen, belum memadai untuk mendorong pertumbuhan ekonomi secara merata. Sektor perbankan Indonesia memiliki potensi pasar yang sangat besar. Namun, kesempatan itu belum dioptimalkan sepenuhnya bagi pengembangan produk perbankan. Pengelolaan dana perbankan secara konvensional seperti sekarang juga mengakibatkan masih tingginya biaya dana (cost of fund) dan suku bunga kredit.

Inovasi jasa keuangan sering menimbulkan risiko. Majalah The Economist edisi 25 Februari 2012 menyebutkan inovasi jasa keuangan sebagai bermain dengan api, penuh risiko, dan berbahaya. Pertumbuhan produk derivatif sangat cepat dan pada umumnya (80 persen) produk derivatif berupa over the counter (OTC) dalam bentuk forex options dan future, credit default swap (CDS), dan OTC lainnya.

Produk derivatif adalah suatu cara untuk membuat para pemegang dana memiliki rasa aman, tetapi eksesnya tidak dapat diperkirakan dan biasanya regulasi baru dapat diterapkan setelah terjadi masalah, misalnya penipuan, kejahatan, dan penyalahgunaan (fraud).

Kerentanan Terhadap Krisis Global

Sektor jasa keuangan di Indonesia masih sangat rentan pada gejolak eksternal. Krisis keuangan dapat terjadi sebagai akibat dari efek ketularan, baik dari negara tetangga, lingkup regional, maupun global. Dampak krisis moneter 1998 terhadap perekonomian Indonesia sangat besar, dengan biaya pemulihan krisis mencapai 60 persen dari PDB. Sektor perbankan Indonesia praktis kolaps jika pemerintah tidak merekapitalisasi perbankan.

Krisis 1998 memberikan pelajaran mengenai pentingnya kehati-hatian dan pengelolaan serta pengawasan perbankan yang profesional. Keberadaan produk-produk hibrida keuangan, dalam bentuk produk derivatif, yang tak diikuti regulasi yang mengaturnya, menyulut krisis kredit perumahan (subprime mortgage) 2007.

Pada April 2010, G-20 mengadopsi ketentuan Basel III. OJK harus mengantisipasi ketentuan baru mengenai kecukupan permodalan dan transaksi derivatif dalam Basel III meskipun pelaksanaannya dimulai tahun 2019 sebagai kelanjutan dari Basel II. Pengawasan perbankan berbasis risiko dalam Basel II merupakan tantangan yang belum tuntas karena kompleksitas pelaksanaan.

Kepercayaan Terhadap OJK

Indonesia menggunakan pendekatan terintegrasi (integrated approach) di mana OJK mengawasi seluruh lembaga keuangan, seperti halnya Financial Services Authority (FSA) di Inggris, Australia, dan Korsel. Tantangan ke depan OJK adalah agar masalah yang terjadi di Inggris dan Korsel tak berulang di Indonesia. Sejarah menunjukkan gagalnya koordinasi dengan Bank of England dalam penanganan Northern Rock. Di Korsel, FSA saat ini sedang dalam tekanan politik yang hebat agar pengawasan dikembalikan ke bank sentral akibat maraknya kasus korupsi.

OJK adalah lembaga otoritas yang dibentuk dari integrasi dua lembaga besar, yaitu Direktorat Pengatur dan Pengawas Perbankan BI dan Bapepam-LK Kementerian Keuangan. Selain kendala kelambanan waktu, efektivitas lembaga, dan cakupan wilayah kerja, OJK menghadapi permasalahan dalam mencapai model integrasi yang optimal karena peran dan kepentingan masing-masing cenderung berbeda, yakni antara prinsip prudensial pada perbankan dan lembaga keuangan serta keterbukaan pada pasar modal.

Dalam hal koordinasi makro, penambahan lembaga baru ini akan menambah jumlah anggota dalam forum pengambil kebijakan, khususnya di saat krisis. Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dan Komite Koordinasi (KK) yang merupakan forum pengambilan keputusan di saat krisis yang sebelumnya hanya terdiri dari BI, Kementerian Keuangan, dan Lembaga Penjamin Simpanan nantinya akan bertambah dengan masuknya OJK hingga menjadi Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK). Penambahan anggota forum ini berkonsekuensi alotnya koordinasi di saat genting, saat krisis. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar