Selasa, 27 Maret 2012

Tinggalkan Kebijakan Populis


Diskusi Panel “Ketahanan Energi Pasca-Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” :
Tinggalkan Kebijakan Populis
SUMBER : KOMPAS, 27 Maret 2012



Menjelang keputusan kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi, 1 April 2012, ”Kompas” menggelar diskusi panel bertema ”Ketahanan Energi Pasca-Kenaikan Harga BBM Bersubsidi” di Redaksi ”Kompas”, Jakarta, 20 Maret 2012. Para pembicara adalah Direktur Eksekutif ReforMiner Institute Pri Agung Rakhmanto, Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Slamet Riadhy, mantan analis energi Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan mantan Wakil Kepala Badan Pengatur Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) Abdul Muin, serta anggota Komisi VII DPR dari Fraksi PDI-P, Bambang Wuryanto. Diskusi dipandu ekonom Universitas Katolik Atma Jaya Jakarta, A Prasetyantoko. Hasil diskusi ditulis oleh Pieter P Gero, Subur Tjahjono, Evy Rachmawati, dan Ratna Sri Widyastuti (Litbang ”Kompas”). Tulisan dimuat di halaman 1, 6, dan 7.

Indonesia berencana membangun jembatan Selat Sunda sepanjang 29 kilometer. Dengan biaya sekitar Rp 120 triliun, makin jauh saja kebijakan negeri ini dari pendekatan kebaharian.

Perjalanan lebih dari 3.500 kendaraan setiap hari pergi dan pulang antara Pulau Jawa dan Pulau Sumatera memang hanya perlu waktu setengah jam, tidak lagi empat jam dengan feri seperti sekarang.

Meski demikian, jangan pernah berharap pemerintah di negeri ini bisa membangun jembatan tersebut. Politik anggaran pemerintah dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak memungkinkan anggaran sebesar itu. Membangun jalan tol atau jalan raya bukan tol saja sulit. Panjang jalan tol di Indonesia 760 kilometer sampai tahun 2011, sementara Malaysia sudah punya belasan ribu kilometer.

Bahkan, negeri ini tak punya anggaran untuk merawat infrastruktur jalan dan jembatan. Tak heran, 43 persen dari 446.278 kilometer panjang jalan di negeri ini pada 2010 dalam kondisi rusak ringan dan rusak berat.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2012 mencapai Rp 1.435 triliun. Nilai Rancangan APBN Perubahan (RAPBN-P) 2012 adalah Rp 1.534 triliun. Namun, praktis sebagian besar untuk belanja pemerintah dan gaji pegawai serta lebih dari Rp 255 triliun untuk subsidi bahan bakar minyak dan listrik (realisasi 2011). Dalam RAPBN-P 2012, anggaran subsidi energi dicanangkan Rp 268,17 triliun.

”Anggaran untuk subsidi energi 2005-2010 selalu lebih tinggi daripada anggaran untuk infrastruktur,” ujar Bambang Wuryanto. Realisasi subsidi energi selalu lebih tinggi daripada APBN.

Artinya, tak pernah ada pembangunan infrastruktur dengan anggaran pemerintah. Seperti jembatan Selat Sunda, semua hanya berharap kepada swasta yang tentu menuntut konsesi tidak sedikit. Juga tak ada penambahan panjang jalan, bandar udara, pelabuhan, dan infrastruktur lain. Bandara Soekarno-Hatta yang saat ini sudah dijejali 45 juta penumpang—dari kapasitas 18 juta penumpang per tahun—tidak juga direnovasi.

”Apalagi mengharapkan pemerintah mengembangkan program diversifikasi energi,” ujar Pri Agung Rakhmanto.

Beban Berat

Kalau pemerintah dan DPR kini membahas soal kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, itu karena beban APBN yang semakin berat. Dengan kenaikan harga Rp 1.500 per liter, berarti menjadi Rp 6.000 per liter untuk Premium, akan ada penghematan Rp 53 triliun. Hanya saja anggaran lebih tadi sebaiknya bukan untuk program bantuan langsung untuk sejumlah keluarga. Akan lebih baik jika untuk pembangunan infrastruktur bagi banyak orang.

Akan tetapi, politik anggaran yang dianut lebih ingin populis. Pemerintah dan DPR lebih mau menjaga citra. Membagi hasil penghematan dari kenaikan harga BBM bersubsidi sebenarnya tak ada bedanya dengan tidak menaikkan harga BBM bersubsidi. Apalagi bantuan langsung sebenarnya tidak banyak membantu mengatasi dampak inflasi. Semua hanya untuk populis, untuk citra, demi Pemilihan Umum 2014.

Pemerintah memang tidak pernah serius menangani ketahanan energi. Padahal, kebijakan ketahanan energi harus disiapkan serius sejak sekarang.

Menurut para peserta diskusi, politik anggaran yang berpihak pada pengembangan energi alternatif baru dan terbarukan harus menjadi harga mati. Penerapan subsidi berlebihan atas BBM jelas tidak mendukung pengembangan energi alternatif ini. Malah kebijakan populis ini yang akan membuat masyarakat cenderung semakin boros. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar