Kamis, 26 April 2012

Dapur, Sumur, Kasur


Dapur, Sumur, Kasur
Adian Husaeni, Pemerhati perempuan
SUMBER : REPUBLIKA, 25 April 2012


Senin (23/4/2002) malam, di satu TV swasta, seorang bintang tamu, perempuan anggota DPR, berucap, “Dulu kiprah perempuan hanya berkisar pada `dapur', `sumur', dan `kasur'. Sekarang, sudah lebih maju. TV-TV lain pernah juga menampilkan sosok-sosok perempuan yang dianggap sukses, maju, dan perkasa. Mulai anggota DPR, pilot pesawat tempur, penyelam, petinju, sopir truk, tukang ojek, sopir bus, sampai tukang tambal ban.“

Ungkapan yang memandang remeh urusan “dapur“, “sumur“, dan “kasur“ sering kali terdengar. Beberapa profesi bagi perempuan dianggap maju karena kiprahnya tak lagi berkisar seputar dapur, sumur, dan kasur. Suatu saat, dalam sebuah rapat, saya mendengar seorang dosen (perempuan) berucap, “Saya tidak suka, kalau ada buku anak yang masih menulis, `Ayah membaca koran, ibu memasak di dapur!'“

Kita sepakat, perempuan harus maju, pandai, bebas dari penindasan. Masalahnya, yang maju apanya?

Kadang, demi mengejar “kemajuan“, berbagai cara dilakukan! Ada buku berjudul Isu-isu Gender dalam Kurikulum Pendidikan Dasar dan Menengah (Pusat Studi Wanita UIN Yogya, 2004). Buku ini mengkritisi buku ajar di madrasah ibtidaiah, tsanawiah, dan aliyah karena bias gender. Contoh pada buku Pelajaran Fiqh, kelas 4 ibtidaiah, hal 36.

Ada lagi buku berjudul, Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Jender (Pusat Studi Jender, IAIN Walisongo Semarang (2002), yang isinya mengecam diskriminasi gender dalam hal pembedaan batas aurat antara laki-laki dan perempuan). (hal 134-135).
Sebagai solusi, agar tak diskriminatif, dipinjam pendapat Muhammad Syahrur, pemikir liberal asal Suriah: tubuh perempuan yang wajib ditutup hanya daerah antara bawah payudara, bawah ketiak, kemaluan, dan pantat. (hal 141).
 
Soal diskriminasi aurat laki-laki dan perempuan juga pernah dikecam Jurnal Perempuan edisi 47. “RUU-APP secara nyata mendiskriminasi perempuan.
Sebagai contoh, dengan dicantumkannya definisi mengenai bagian tubuh tertentu yang sensual, yaitu `sebagian payudara perempuan'. Sementara, sebagian payudara laki-laki tidak dikatakan sensual.“ (hal 36-37).

Agar perempuan benar-benar “maju“, soal “kepala keluarga“ juga diusik! Contoh, buku berjudul Bias Jender dalam Pemahaman Islam (Pusat Studi Jen der IAIN Walisongo Semarang (2002)), menyimpulkan, kepala rumah tangga tidak harus laki-laki. “Dalam pemahaman ini, kepemimpinan keluarga dapat dipegang oleh siapa saja, suami atau istri, yang memiliki kriteria fadl dan infaq-nya lebih baik.“ (hal 91).

Padahal, menurut pasal 70, draf sementara RUU-Kesetaraan dan Keadilan Gender (RUU-KKG), semua bentuk diskriminasi akan “dipidana dengan pidana penjara paling lama ... (...) tahun dan pidana denda paling banyak Rp ... (...).“

Karena memandang rendah urusan “dapur“, “sumur“, dan “kasur“, ada yang berpikir, menjadi anggota DPR, gubernur, menteri, duta besar, dan presiden dianggap lebih mulia ketimbang menjadi ibu rumah tangga. Perempuan disuruh bangga karena tak lagi hanya mengurus “dapur“, “sumur“, dan “kasur“. Negara pun dipaksa mengikuti pola pikir ini! Negara wajib menyediakan jatah minimal 30 persen anggota DPR untuk perempuan. Meskipun diskriminatif, tapi demi kemajuan perempuan, harus ditetapkan. Katanya, ini indikator kemajuan bangsa! Targetnya, kesetaraan nominal 50:50 di ruang publik antara laki-laki dan perempuan.

Kini, keterwakilan perempuan di DPR RI mencapai 18 persen. Banding kan angka itu dengan negara lain. Di AS keterwakilan perempuan di parlemen 16,8 persen, Jepang 11,3 persen, Korsel 15,6 persen, Malaysia 9,9 persen, Brazil 8,6 persen. Sementara itu, keterwakilan perempuan di parlemen Rwanda mencapai 56,3 persen. (Sumber: Women in Parliament (November 2011), http://www.ipu.org/wmne/classif.htm).  Apa Rwanda lebih maju dari Jepang?

Kini, dalam draf RUU-KKG, tuntutan keterwakilan 30 persen bagi perempuan diperluas untuk seluruh lembaga pemerintah, nonpemerintah, dan organisasi kemasyarakatan. (Pasal 4 ayat 2).

Pola pikir gender equality nominal 50:50 tampaknya lahir akibat memandang remeh urusan “dapur“, “sumur“, dan “kasur“. Padahal, urusan “dapur“ memerlukan ilmu gizi yang tinggi. Bahkan, dari urusan “dapur“, lahirlah restoran-restoran terkenal dengan nama “Ibu“, Mbok“, “Mak“ dan sebagainya.

Urusan “sumur “ tarkait dengan masalah air, yang juga perlu ilmu tinggi dan berkembang menjadi industri raksasa. Urusan “kasur“ pun tak kalah vitalnya. Dari urusan “kasur“ inilah muncul para dokter spesialis dan terapis alternatif yang banyak diburu orang.

Karena itu, dalam Islam, laki-laki dan perempuan--apa pun posisinya-wajib mencari ilmu, dari lahir sampai mati. Tugas dan peran bisa berbeda. Seorang profesor pernah bercerita. Suatu saat, istrinya--yang juga professor-berkata, “Pak, saya lelah, saya mau berhenti bekerja!“ Sang profesor menjawab, “Itu enaknya kamu jadi perempuan! Boleh berkata seperti itu! Kalau saya, tidak boleh berkata begitu. Sebab, itu kewajiban saya!“

Dan memang, setinggi-tingginya perempuan terbang, ia tak kan lepas dari soal “dapur“, “sumur“ dan “kasur“! Tapi bagi Muslimah, posisi apa pun tak masalah. Yang penting untuk ibadah, menggapai bahagia, bersama rida Allah dan rida suami yang saleh. Wallahu a'lam bish shawab.

1 komentar: