Rabu, 25 April 2012

Pengabdian, Bukan Mata Pencaharian


Pengabdian, Bukan Mata Pencaharian
Sukidi, Kandidat PhD di Harvard University, AS 
SUMBER : KOMPAS, 25 April 2012


And so, my fellow Americans:
ask not what your country can do for you,
ask what you can do for your country
John F Kennedy

Kutipan pidato pelantikan John F Kennedy sebagai presiden ke-35 Amerika Serikat pada 20 Januari 1961 yang masih dapat disaksikan di John F Kennedy Presidential Library and Museum di Boston tetap inspiratif dan relevan untuk refleksi kita dalam kehidupan bernegara.

Namun, sasaran utama pidato itu lebih tepat ditujukan kepada pejabat publik kita, terutama mereka yang bekerja di pemerintahan. Sebab, tidak sedikit di antara mereka yang berpikir pragmatis tentang apa yang dapat diperoleh dari negara ketimbang apa yang dapat dilakukan dan diabdikan untuk kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat.

Sumber Pencaharian Hidup

Pola pikir itu berlaku umum di kalangan pejabat publik, yang menjadikan negara tidak lebih sebagai tempat untuk bekerja, mencari nafkah, dan sumber pencaharian hidup secara permanen. Bekerja di institusi negara dimaknai oleh pejabat publik sebagai usaha strategis untuk meningkatkan kesejahteraan diri dan keluarganya.

Tidak heran jika kesejahteraan hidup di kalangan pejabat publik umumnya meningkat drastis ketimbang rakyat. Sementara pejabat publik memiliki akses ke aset-aset negara, rakyat tidak. Malah, rakyat sering kali lebih diingatkan tentang kewajiban-kewajibannya daripada dipenuhi haknya.

Kewajiban yang sering kali diingatkan kepada rakyat adalah soal pajak. Filosofi dasarnya adalah bahwa negara dapat bertahan dan terselenggara jika rakyat taat dalam membayar pajak secara reguler. Ironisnya, uang pajak hanya sedikit sekali digunakan untuk memenuhi hak-hak rakyat dalam memperoleh pekerjaan serta penghidupan yang lebih layak dan sejahtera. Yang justru kita saksikan akhir-akhir ini adalah maraknya fenomena penyalahgunaan uang pajak untuk peningkatan kesejahteraan pejabat dan keluarganya, bukan untuk kesejahteraan rakyat.

Penyalahgunaan itu sesungguhnya hanyalah salah satu di antara sekian banyak fenomena korupsi yang terjadi di hampir semua institusi negara, mulai dari pusat sampai daerah. Sekarang ini, korupsi bukan hanya tersentralisasi di kalangan pejabat publik di Jakarta seperti yang pernah terjadi pada rezim Orde Baru, melainkan juga terdesentralisasi di kalangan pejabat publik di pemerintahan daerah.

Dalam periode 2004-2012, kata Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Reydonnyzar Moenek, terdapat 173 pejabat publik di pemerintahan daerah yang diperiksa ”sebagai saksi, tersangka, dan terdakwa. Dan, 70 persen dari jumlah itu sudah mendapat vonis berkekuatan hukum tetap dan menjadi terpidana” (Kompas, 17/4/2012).

Pengabdian Hidup

Indonesia yang maju dan sejahtera mustahil terwujud jika dinakhodai oleh pejabat publik yang korup dan rakus. Pejabat semacam ini hanya bekerja, mencari nafkah, dan mengambil aset-aset dari negara untuk kesejahteraan diri, keluarga, dan sering kali partainya. Kepada pejabat publik seperti itu, tidak ada pilihan lain kecuali diproses secara hukum.

Indonesia membutuhkan pejabat publik yang mampu menjadikan institusi negara bukan sebagai sumber mata pencaharian, melainkan lebih sebagai tempat pengabdian hidup untuk rakyat. Terinspirasi oleh pidato Kennedy yang dikutip di awal opini ini, kita sangat berharap agar Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan spirit yang kuat kepada pejabat publik tentang apa yang dapat mereka lakukan, berikan, dan abdikan untuk kemajuan negara dan kesejahteraan rakyat.

Dalam mengemban misi pengabdian hidup itu, pejabat publik dapat memulainya dengan keteladanan moral yang jujur dalam penyelenggaraan negara. Keteladanan moral yang jujur tidak cukup dengan berkata ”tidak pada korupsi”. Akan tetapi, harus dipraktikkan dan dibiasakan dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara sehingga menjadi kebiasaan (habit), yang akhirnya tecermin dalam pemerintahan yang bersih dan baik.

Namun, di balik kabar menggembirakan tentang kemajuan pemberantasan korupsi di negara kita, sesungguhnya tersingkap fenomena lain yang lebih membahayakan. Bahwa, praktik korupsi—bukan keteladanan moral yang jujur—kini justru sudah menjadi kebiasaan hidup di kalangan pejabat publik, mulai dari pusat sampai daerah.

Karena itu, dengan sedikit mengubah kata-kata Presiden Amerika Thomas Jefferson pada 1800, ”I have sworn upon the altar of God, eternal hostility against every form of tyranny over the mind of man,” yang terpahat di patungnya di Washington DC, kita, rakyat Indonesia, meminta kepada pejabat publik untuk berjanji atas nama Tuhan dan mewujudkan janjinya itu dalam bentuk permusuhan abadi terhadap segala bentuk korupsi (eternal hostility against every form of corruption). ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar