Kamis, 26 April 2012

Problema TKI dan Ketenagakerjaan

Problema TKI dan Ketenagakerjaan
Abdul Haris, Alumnus Carnegie Mellon University, AS;
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Sosial, Kota Depok
SUMBER : SUARA KARYA, 25 April 2012


Sangat menarik dan terkadang memprihatinkan tatkala kita berbicara tentang tenaga kerja Indonesia (TKI) yang bekerja di luar negeri. Karena, sebagian dari mereka bisa berhasil dengan pendapatan yang sangat baik dan lebih besar jika dibandingkan dengan hasil kerja di dalam negeri. Tetapi, banyak di antara mereka gagal bahkan mendapatkan penyiksaan dan gaji tidak dibayarkan oleh majikannya.

Para TKI ini tertarik bekerja di luar negeri lebih dikarenakan keterjepitan hidup mereka di dalam negeri. Mereka tidak bisa memenuhi kebutuhan diri sendiri dan keluarganya. Sulit memperoleh pekerjaan untuk kehidupan yang layak.
Hal ini disebabkan oleh keterbatasan lapangan pekerjaan dan kesempatan kerja yang ada di dalam negeri, serta rendahnya keterampilan dan motivasi kerja untuk bekerja dan berusaha sendiri.

Di antara yang tertarik bekerja ke luar negeri, memilih pekerjaan formal atau informal ke berbagai negera tujuan, terbanyak antara lain ke negara Asia Pasifik, atau negara-negara Timur Tengah meski dengan peluang dan tantangan yang tentunya sangat berbeda.

Betapa banyak TKI kita berhasil bekerja di negara-negara Timur Tengah terutama Arab Saudi. Tetapi, tidak sedikit pyla, di antara mereka mengalami kegagalan dengan berbagai macam kasus yang menimpanya.

Dalam penerbangan Taipei - Jakarta, pengalaman saya pulang bersama beberapa TKI dari Taiwan ke Indonesia cukup menarik. Dalam pertemuan dan pembicaraan di pesawat terlihat bahwa mereka bahagia setelah bekerja di sana, karena hasil yang didapatkan cukup memuaskan. Di antaranya, mereka telah bisa mengirimkan uang ke keluarga di Tanah Air, yang bisa digunakan untuk membeli rumah, tanah sawah dan ternak serta untuk ditabung. Di samping itu, saat pulang ke Indonesia, mereka juga bisa membawa uang cash. Padahal, masa kerja mereka baru dua tahun. Suatu hasil yang sangat memuaskan selama bekrrja di luar negeri. Apalagi, jika dibandingkan dengan hasil bekerja di Tanah Air yang dapat dipastikan sangat minim.

Tetapi, kalau kita lihat fenomena lain dari TKI kita yang sudah bekerja di luar negeri, banyak juga yang mengalami hal yang memprihatinkan. Sebut saja, beberapa kasus yang telah menimpa para TKI kita, seperti perlakuan menyakitkan dari majikan, serta gaji dan hak-hak lainnya tidak diberikan. Belum lagi, ketika di antara mereka mengalami aksi-aksi kekerasan yang merugikan mereka, seperti menjadi korban pemukulan secara fisik, mengalami pelecehan seksual dan pemerkosaan. Bahkan, ada yang terpaksa mengorbankan nyawa, pulang hanya tinggal nama.

Melihat kondisi di atas, rasanya perlu dicarikan solusi dan jalan keluar terbaik untuk memperbaiki nasib para pekerja kita. Apakah mereka bekerja di dalam negeri atau di luar negeri, jaminan keselamatan dan kesehatan mereka harus mendapatkan perhatian serius. Sesuai amanat konstitusi kita, UUD 1945 pasal 27 ayat 2 menjamin bahwa tiap-tiap warga negera berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa pekerjaan dan penghidupan yang layah adalah hak setiap warga negara.

Bangsa Mandiri

Mengacu kepada konstitusi tersebut, sudah selayaknya seluruh warga Indonesia barhak mendapatkan pekerjaan dan penghidupan yang layak. Berdasarkan data Sakernas 2010 bahwa dari 237,6 juta lebih penduduk Indonesia, sebanyak 171,02 juta (72 persen) merupakan penduduk usia kerja, sedangkan 66,58 juta (28 persen) penduduk di luar usia kerja.

Dari 171,02 juta penduduk usia kerja tersebut, 115,9 juta (68 persen) merupakan angkatan kerja, dan 54,03 juta (32 persen) bukan angkatan kerja. Di antara angkatan kerja tersebut, yang bekerja 107,4 juta (92,3 persen) dan, yang menganggur sebanyak 8,7 juta orang (7,7 persen). Dari mereka yang bekerja tersebut, sebanyak 33,7 juta lebih (31,persen) bekerja di sektor formal, dan 73,7 juta (68,59 persen) bekerja di sektor informal.

Dari gambaran tersebut, terlihat jelas bahwa angkatan kerja yang bekerja di sektor formal sangat sedikit, yaitu sekitar 31 persen. Sementara, sebagian besar sekitar 69 persen bekerja di bidang informal. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan lapangan kerja formal sangat terbatas.

Pekerja sektor formal tersebut adalah pekerja yang berada dalam hubungan kerja dengan pihak lain seperti kantor pemerintah atau perusahaan swasta. Hubungan kerja tersebut diisi dalam bentuk jabatan kerja seperti staf, kepala bagian, teknisi, supervisor, manajer, dan lain-lain. Sedangkan pekerja sektor informal adalah pekerja yang tidak dalam hubungan kerja tertentu dan tidak dalam jabatan kerja tertentu. Tetapi, yang perlu diupayakan adalah agar pekerja sektor informal tersebut perlu dilakukan pembinaan dan ditingkatkan iklim usahanya. Dengan demikian, usaha mereka tidak bertentangan dengan peraturan dan perundangan yang ada.

Untuk mengupayakan penanggulangan masalah pengangguran bagi 8,7 juta orang lebih yang masih belum memperoleh pekerjaan, maka lapangan kerja baru sangat diperlukan.
Dalam hal ini, maka upaya peningkatan investasi yang mampu menciptakan peluang kerja baru perlu mendapatkan dukungan semua pihak. Demikian pula upaya untuk mendorong peningkatan kewirausahaan bagi penduduk potensial pun perlu terus dilakukan secara maksimal. Ini penting untuk menumbuhkan semangat bekerja secara mandiri, khususnya di kalangan pemuda dan generasi muda. Memang, dengan semangat kemandirian kerja bagi generasi muda, akan mendorong kemajuan bangsa ke depan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar