Senin, 28 Mei 2012

Grasi Corby dan Pelintiran Persepsi


Grasi Corby dan Pelintiran Persepsi
Bambang Soesatyo ; Anggota Komisi III DPR RI Fraksi Partai Golkar 
SUMBER :  SINDO, 28 Mei 2012


Membungkus inkonsistensi penegakan hukum dengan memelintir persepsi sudah menjadi ciri rezim pemerintahan saat ini. Setiap pelintiran persepsi selalu bermuatan niat berbohong dan membodohi rakyat.

Menolak dibohongi terus, rakyat justru balik mengecam. Kalau tidak bisa membohongi lawan bicara, Anda yang bodoh atau lawan bicara Anda? Grasi untuk terpidana narkoba Schapelle Leigh Corby menghadirkan hujan kecaman yang dialamatkan ke Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Situasi itu memaksa Mahkamah Agung (MA) bersama Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Amir Syamsuddin tampil membela, sekaligus menjelaskan motif kebijakan pemberian grasi selama lima tahun itu.

Mahkamah Agung (MA) mengaku memberi pertimbangan hukum kepada Presiden sebelum Presiden memberi grasi itu. Salah satu pertimbangan MA adalah alasan kemanusiaan. Corby sering sakit-sakitan di penjara. Sedangkan Menteri Amir diplomatis. Dia mengatakan, grasi untuk Corby dapat menjadi diplomasi perlindungan warga negara Indonesia (WNI) yang terlibat kasus hukum di luar negeri.

Artinya, grasi untuk Corby dapat menyelamatkan WNI yang dipenjara di Australia. Masih menurut Amir, beberapa negara tak lagi mengategorikan ganja sebagai narkotika. “Di beberapa negara, (hukuman kepemilikan) ganja diringankan, dan bahkan dihapuskan,” kata Amir. Sampai dengan proses hukum kasus Corby, apakah perlakuan hukum RI terhadap penyelundup dan pengedar ganja sama dengan negara lain yang dimaksud Amir?

Kalau ada pengecualian terhadap penyelundup atau pengedar ganja, mengapa Corby sejak awal didakwa dengan pasal kejahatan narkotika menurut hukum Indonesia yang menyebutkan bahwa narkotika yang diselundupkan Corby tergolong kelas satu yang berbahaya? Dengan argumentasi seperti tadi,Amir tampak mencoba memelintir persepsi publik yang telanjur berpendapat bahwa pemberian grasi untuk Corby bertentangan dengan komitmen nasional memerangi jaringan narkotika internasional dan sel-selnya di dalam negeri.

Sekuat apa komitmen nasional memerangi jaringan narkotika setidaknya sudah tercermin dari eksistensi Badan Narkotika Nasional (BNN). Apalagi kalau grasi Corby itu dihadap-hadapkan langsung pada inisiatif Kemenkumham menerbitkan kebijakan pembatasan remisi bagi terpidana korupsi, teroris, dan terpidana narkoba. Jelas bahwa yang tampak begitu telanjang adalah inkonsistensi penegakan hukum.

Pelintir-memelintir persepsi ini nyaris sudah menjadi kebiasaan beberapa pembantu presiden. Masih segar dalam ingatan khalayak bagaimana Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana merespons kecaman berbagai kalangan atas inisiatif Kemenkumham memberlakukan keputusan Menkumham tentang moratorium remisi—kemudian diubah menjadi pembatasan— bagi terpidana koruptor, teroris, dan terpidana narkotika.

Bukan moratorium atau pembatasan remisinya yang dikecam, melainkan mekanisme keputusannya yang ditentang sebab keputusan Menkumham itu bertentangan dengan undang-undang. Bukannya fokus pada diskusi tentang tata perundangundangan, Denny dan kawankawannya malah memelintir inti persoalan dengan menebar tuduhan. Siapa pun yang mengecam dituduhnya sebagai pembela koruptor.

Secara tak langsung sejumlah anggota DPR yang mengecam keputusan Menkumham itu, plus mantan Menkumham Yusril Ihza Mahendra, pun dituduh demikian. Dalam nada sinis Denny memberi ucapan selamat kepada Yusril Ihza Mahendra yang dinilainya telah membebaskan koruptor. Masih banyak pelintiran lain yang berusaha membodohi rakyat Indonesia.

Inkonsisten

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dalam pidatonya memperingati Hari Antinarkotika Internasional 2011 di Monumen Nasional, menunjukkan komitmen yang kuat terhadap pemberantasan narkotikadanobat- obatan berbahaya (narkoba). “Kita harus lebih agresif dan ambisius lagi dalam memberantas narkoba.

Badan Narkotika Nasional harus lebih aktif, lebih berinisiatif, dan lebih bekerja keras didukung segenap elemen bangsa,” kata Presiden saat itu. Dengan demikian, arus kecaman terhadap kebijakan pemberian grasi untuk Schapelle Leigh Corby lagi-lagi menunjukkan masyarakat Indonesia cerdas-kritis dan menuntut konsistensi.

Keteguhan dan ketegasan penegakan hukum terhadap pelaku kejahatan korupsi,terorisme, dan kejahatan narkotika harus dibuktikan dengan tidak ada toleransi sedikit pun terhadap semua pelaku tiga modus kejahatan itu, baik penjahat lokal maupun WNA penyelundup narkoba. Terpidana Schapelle Corby yang asal Australia itu memang wajib diperlakukan manusiawi saat dia dalam kondisi fisik sehat-bugar maupun ketika wanita berusia 35 tahun itu dalam kondisi fisik tidak prima karena sakit-sakitan.

HAM-nya sebagai manusia berstatus terpidana harus dipenuhi dan dihormati. Jadi, kalau Corby sakit, Ditjen Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM harus memastikan bahwa Corby mendapat dan menerima layanan medis yang layak agar dia bisa sembuh. Sudah barang tentu Corby yang sakit tidak akan sembuh hanya dengan rekomendasi kepada Presiden agar dia mendapatkan grasi.

Apakah penyakit yang diidap Corby akan merenggut nyawanya jika dia tidak mendapatkan grasi dari Presiden RI? Penyakit sinus Angelina Sondakh kambuh begitu dia mulai diinapkan di ruang tahanan KPK. Tapi, KPK tidak otomatis memberi kebebasan kepada Angelina Sondakh. KPK cukup menghadirkan dokter untuk merawat Angelina Sondakh, dan persoalan pun teratasi.

Mengapa Corby tidak diperlakukan demikian? Yakni mendapatkan perawatan medis, baik oleh para dokter Indonesia atau perawatan oleh dokter pribadi yang didatangkan dari Australia. Sudah bukan cerita baru lagi kalau pemerintahan sekarang ini berperilaku aneh dalam mengelola sejumlah kasus hukum. Misalnya, selain mengambangkan kasus Bank Century, publik juga tentu masih ingat bahwa belum lama ini pemerintah kalah lagi di PTUN sehingga kasus pergantian gubernur Jambi definitif harus ditunda.

Aneh, kantor Presiden sering kalah di pengadilan. Tentu saja, bagi masyarakat, grasi untuk Corby juga aneh. Bayangkan, negara sedang all outmemerangi jaringan narkotika internasional yang terus merangsek ke Indonesia,tetapi Presiden justru memberi grasi kepada terpidana WNA dalam kasus narkoba. Pertanyaannya, untuk apa Kemenkumham bersikukuh menerbitkan rencana kebijakan pengetatan remisi bagi terpidana korupsi, terpidana narkoba, dan terpidana terorisme?

Jelas bahwa grasi untuk Corby mencerminkan standar ganda yang dipraktikkan pemerintahan ini dalam mengelola sejumlah kasus hukum. Aspek yang seharusnya menjadi kekhawatiran semua pihak dari kebijakan grasi untuk Corby adalah hilang atau menurunnya efek jera bagi pelaku kejahatan narkoba. Bandar besar narkoba akan menilai bahwa selain oknum aparaturnya gampang disogok, Pemerintah RI juga bisa melunak hanya karena lobi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar