Kamis, 31 Mei 2012

Gubernur Berani Hidup


Gubernur Berani Hidup
SM Doloksaribu ; Dosen dan Ketua Lembaga Penelitian, Pengabdian kepada Masyarakat dan Pengembangan Bisnis Universitas Kristen Indonesia, Jakarta
SUMBER :  KORAN TEMPO, 30 Mei 2012


Sumber daya alam kita, seperti udara, air, makanan, materi, dan energi, sepenuhnya diambil serta digali dari alam, dan kemurahan alam secara umum memenuhi kebutuhan itu dengan baik. Apa yang menjadi soal dalam berkebutuhan itu? Manusia dalam hampir semua hal tidak memiliki prioritas yang baik atas jenjang kebutuhannya. Kita memahami bahwa udara yang absolut harus ada setiap detik, dan kalau tidak ada, kita mati dalam ukuran menit. Tapi, karena udara dianggap tersedia secara cuma-cuma, kita tidak pernah peduli terhadap keadaannya. Karena kita merasa lebih penting berkendara lebih cepat, aman, dan nyaman dibanding udara yang bersih serta sehat, kecenderungannya adalah semua tidak peduli terhadap pencemaran udara.

Kebijakan publik kita lebih memilih menumbuhkan kendaraan pribadi daripada menyediakan angkutan umum yang baik, aman, teratur, dan sedikit nyaman. Jakarta mencoba memulai infrastruktur kendaraan umum yang lebih masif, sayang tidak sepenuh hati. Jaringan bus Transjakarta dengan lajur khusus (busway)-nya sudah memakan badan jalan, tapi tanpa armada yang cukup dan sangat tidak memadai. Pelayanannya bahkan tidak memiliki jadwal, dan lebih sulit lagi, frekuensinya tidak memadai. Kalau bus lewat, apalagi pada jam puncak hariannya, pagi dan sore, bus kelihatan penuh sesak tidak manusiawi. Sementara itu, Pemerintah Provinsi DKI sibuk memikirkan pembangunan jalan layang, yang sesungguhnya bukanlah jalan keluar terbaik untuk mengatasi kemacetan dan pencemaran udara Jakarta.

Di banyak kota besar di dunia, ide membangun jalan layang di dalam kota dianggap semakin tidak bersahabat dan merusak karena dua hal. Pertama, separasi bagian kota, yang sebelumnya masyarakat dapat berkomunikasi dengan jaringan jalan yang ada, menjadi terbelah, karena jalan layang menjadikan masyarakat secara sosial terbagi. Kedua, yang lebih dahsyat, terjadi penyebaran cemaran udara sepanjang jalan dengan jarak sebar yang lebih luas. Sebaran ini akan memperburuk lingkungan kota. Wajah kota yang sudah kusam akan semakin buram dengan kehadiran jalan layang.

Dalam luas yang sama, penambahan ruas jalan ke atas dan ke dalam tanah secara teknis bisa saja dilakukan, tapi dampak sosial dan lingkungannya membuat kota lebih suram. Bahaya pencemaran udara di permukiman kiri-kanan jalan layang semakin nyata. Jika panjang jalan bertambah dengan kehadiran jalan layang, tidak otomatis memperbaiki daya tampung alir jalan secara keseluruhan, karena daya tampung alir memerlukan penataan lain. Kemacetan tidak hanya terjadi karena fungsi panjang jalan, tapi faktor perlambatan dalam mengalirkan kendaraan sepanjang jalan lebih menentukan.

Persimpangan, penyempitan jalan, dan kondisi permukaan jalan yang tidak baik atau rusak menjadi masalah yang sangat nyata di Jakarta. Disiplin pengendara yang buruk sering berujung kecelakaan. Perhatikan lalu lintas di jalan tol lingkar dalam yang sering macet. Kata orang, bebas hambatan, tapi tidak bebas macet. Ini salah hitung jumlah kendaraan, panjang jalan, kecepatan kendaraan, percepatan dan perlambatan, kondisi jalan, persimpangan, penyempitan, serta faktor lain.

Kebijakan menambah ruas jalan, terutama dengan membangun jalan layang baru, jalan terowongan, dan pelebaran jalan, adalah kebijakan publik yang mendorong konsumsi kendaraan lebih jauh atau menambah jumlah kendaraan pribadi. Kebijakan ini tidak menambah daya alir jalan secara nyata. Konsumsi kendaraan pribadi yang lebih banyak akan memberi dampak sosial dan lingkungan yang tidak mendukung kehidupan warga yang lebih baik. Kebijakan ini patut diuji kebenaran serta keakuratannya dalam mengurangi kemacetan, dan tentu saja mengurangi pencemaran udara. Kalau terbukti tidak memecahkan masalah kemacetan dan pencemaran udara, hentikan program mahal ini serta beralihlah ke program yang lebih konsepsional hulu-hilir sistem transportasi Jakarta.

Kebijakan Prokehidupan

Jakarta, yang berstatus kota dengan kondisi udara terburuk nomor 3 di dunia, saatnya berbenah. Dalam kesempatan pemilihan umum kepala daerah sekarang, calon pemimpin Jakarta hingga beberapa periode mendatang diharuskan memiliki kemauan yang jelas dan kuat terkait dengan mutu udara Jakarta. Udara Jakarta tidak mungkin disulap dengan berbagai tindakan yang bersifat tambal sulam. Dibutuhkan rencana yang matang dan baik, yang diikuti dengan regulasi, pelaksanaan, serta aksi yang baik dan konsisten, tidak mudah berubah hanya karena bisnis perizinan. Ini jauh lebih penting daripada pemerintah provinsi sekadar mempunyai banyak uang dari pajak kendaraan bermotor, tapi warga mengalami kesulitan hidup, menghadapi masalah kemacetan, dan menghirup udara kotor.

Entah dia ahli, entah setengah ahli, atau sama sekali tidak memiliki keahlian tentang kota, pastikan pemimpin DKI Jakarta yang akan datang adalah mereka yang berani memulai, secara sederhana memahami jenjang kebutuhan manusia, dan bergeraklah dari situ ke arah penentuan prioritas kebijakan publik yang dibutuhkan untuk kehidupan warga. Aksi dan tindakan berikutnya tentulah mengajak warga memahami kebutuhan dan jenjang kebutuhan itu, hingga mereka ada dalam gerak, aksi, dan tindakan menyehatkan untuk menghidupkan Jakarta. Janji membenahi Jakarta saja tidak memadai.

Sungguh dibutuhkan gubernur yang berani hidup. Gubernur yang mau menata kota dan kawasan, serta distribusi peruntukan permukiman, perdagangan, industri, dan lain-lain, dengan transportasi yang baik dan jelas memiliki sistem, tidak sangat parsial seperti sekarang. Jakarta tidak dapat hidup sendiri dengan kondisi Jabodetabek. Hulu dari semua ini tentulah pembangunan ekonomi yang mengundang pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali. Jika sekitar 2 juta komuter, orang yang lalu-lalang dari kawasan sekitar, dipaksa sistem berkendaraan pribadi mobil atau sepeda motor, ditambah dengan kendaraan pribadi yang sudah ada di Jakarta, segera Jakarta akan menjadi kota mati. Mati karena pencemaran udara yang semakin tinggi, yang tidak memungkinkan lagi orang hidup sehat. Mati karena gerakan warga menjadi terbengkalai dan terbatas serta kelelahan setiap hari didera kemacetan.

Untuk menghindari Jakarta menjadi kota mati, tidak ada pilihan kecuali keberpihakan kepada warga. Warga ditempatkan pada prioritas utama sebagai subyek pembangunan. Sekali lagi, bukan kas daerah yang harus diutamakan menjadi segemuk-gemuknya, melainkan perbaikan kualitas udara Jakarta saat ini dan mendatang, bukan sekadar tambal sulam, dan menata metabolisme Jakarta bersama pemerintah daerah Jabodetabek, serta menata aliran pertukaran manusia, materi, energi, jasa, dan limbah keluar-masuk kawasan. Hanya dengan upaya seperti itu, Jakarta masih mempunyai peluang hidup, dan kurang dari itu, akan mati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar